Tidur Yang Membatalkan Wudhu

>> Kamis, 14 Agustus 2008

Pendahuluan
Segala puji bagi Allah  yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kehadirat nabi Muhammad  dan seluruh sahabat beliau.
Salah satu ajaran yang paling pokok dalam Islam adalah masalah shalat. Ia merupakan salah satu dari rukun Islam, tiangnya agama. Bahkan shalat menjadi tolok ukur bagus tidaknya amalan seorang muslim. Dan merupakan amalan manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat kelak.
Oleh karena itu, mengingat pentingnya masalah shalat ini, hendaknya seorang muslim mengetahui hal-hal yang berkaitan denganya. Baik hal-hal yang menjadikan shalat itu baik dan benar atau pun hal-hal yang bisa merusak shalat itu sendiri.
Satu hal yang paling urgen dalam masalah ini adalah keadaan seseorang yang menentukan sah tidaknya shalat itu sendiri. Di antaranya adalah masalah thaharah. Karena orang yang tidak suci ketika shalat maka shalatnya tidak sah. Untuk itu perlu kita ketahui sesuatu yang bisa membatalkan thaharah itu sendiri.
Ada banyak hal yang bisa membatalkan thaharah. namun dalam makalah ini kami hanya akan membahas tidur, apakah membatalkan thaharah atau tidak. Mengingat banyaknya perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqih, maka kami perlu membahas masalah ini.
Dalam tulisan ini akan kami paparkan dalil-dalil yang berhubungan dengan tidur, baik yang menunjukkan batalnya wudhu dan juga yang menunjukkan tidak batalnya wudhu karena tidur itu sendiri. Juga kami paparkan perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih dalam masalah ini, dan kami akhiri dengan kesimpulan.
Kami menyadari banyaknya kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini. Untuk itu kami meminta ustadz yang terkait untuk bisa mengoreksi dan memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Dan kami senantiasa memohon ampun kepada Allah  atas kesalahan, baik disengaja ataupun tidak.

Pengertian
Tidur adalah keadaan dimana seseorang hilang kesadarannya.
Sedangkan orang yang batal wudhunya berarti ia tidak dalam keadaan suci lagi atau terkena hadats, maka ia harus berwudhu agar kembali suci.

Dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah ini
Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa tidur tidak membatalkan wudhu.
1. Hadits anas bin malik , ia berkata, “saat itu sudah dikumandangkan iqamat untuk shalat, tetapi Nabi  memanggil seseorang dan beliau terus memanggilnya sampai para sahabat yang lain tertidur, kemudian nabi  datang dan shalat bersama mereka.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُاكَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِي وَاللَّهِ

Dari qatadah dia berkata, “aku mendengar anas berkata, “dahulu shahabat-shahabat Rasulullah  tidur kemudian shalat dengan tidak berwudhu lagi’, ada yang berkata, “aku bertanya, ‘engkau mendengarnya dari anas?”, dia menjawab, “ya, demi Allah.”
3. Hadits ibnu abbas , ia berkata, “aku bermalam di rumah bibiku maimunah, Rasulullah  bangun dan aku berdiri di samping kirinya, maka beliau memegang tanganku dan menjadikanku di sebelah kanannya, maka apabila aku tertidur, beliau memegang daun telingaku.” Ibnu abbas mengatakan beliau shalat sebelas rekaat.
4. Hadits yang diriwayatkan dari ibnu abbas  ia berkata:
بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ قَالَ خَطِيطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

“Aku bermalam di rumah bibiku Maimunah, maka Rasulullah  shalat isya’, kemudian beliau  datang dan shalat empat rekaat kemudian tidur kemudian bangun, maka aku berdiri di samping kiri beliau , maka rasulullah  menjadikanku di sebelah kanannya kemudian shalat lima rekaat dan dua rekaat kemudian beliau tidur sampai aku mendengar dengkuran beliau kemudian beliau keluar untuk shalat.
Secara dhahir dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa tidur tidak membatalkan wudhu. dan semua hadits-hadits di atas shahih.
Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa tidur membatalkan wudhu.
1. Hadits safwan bin assal, dia berkata, “Rasulullah  memerintahkan kami mengusap sepatu-sepatu kami tatkala kami bepergian jauh dan tidak dilepas selama tiga hari, baik karena buang air besar, kencing, atau tidur, kecuali mengalami janabat.” . hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah  menyamakan semua jenis tidur, tidak mengkhususkan lama atau sebentar, satu keadaan dengan keadaan yang lain, dan disamakan antara tidur dengan perkara buang air besar atau kecil.
2. Dari Ali bin Abi Thalib , dari nabi ,
“kedua mata adalah tali (penutup) dubur, barang siapa yang tidur, hendaklah dia berwudhu.”
3. Ulama yang menyatakan bahwa tidur membatalkan wudhu mengatakan para ulama bersepakat mewajibkan wudhu bagi seorang yang hilang akalnya karena gila atau pingsan, bagaimana pun kondisinya, demikian juga halnya dengan tidur.

Perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqih
dalam hal ini para ulama terbagi menjadi tiga kelompok pendapat:
Pertama: tidur itu membatalkan wudhu (hadats). Karenanya orang yang berpendapat demikian mewajibkan wudhu bagi orang yang tidur, baik sedikit atau banyak.
Kedua: tidur bukan merupakan hadats. Karenanya, tidak wajib wudju lantaran tidur. Kecuali jika ketika tidur itu yakin mengeluarkan hadats. Ini menurut fuqaha’ yang tidak menganggap pengaruh ragu-ragu, kecuali jika orang yang tidur itu merasa ragu. Menurut fuqaha’ yang berpendapat bahwa syak itu terdapat pengaruh, maka sebagian ulama salaf—jika tidur—mereka minta kepada orang lain untuk menilai keadaannya, apakah mengeluarkan hadats atau tidak.
Ketiga: membedakan antara tidur sedikit dengan tidur banyak. Mereka mewajibkan wudhu untuk tidur banyak, sedang tidur sedikit tidak mewajibkan wudhu.

Pendapat dari empat Mazhab:
Hanafiah: Pada hakekatnya tidur itu sendiri tidak membatalkan wudhu, kecuali dalam tiga keadaan. Pertama: tidur dengan posisi miring, kedua: tidur denga posisi berbaring atau terlentang. Ketiga: tidur bertumpu pada salah satu pangkal paha.
Tidur dengan tiga posisi di atas menyebabkan longgarnya persendian, sehingga seseorang tidak tahu keadaan dirinya. Sedangkan posisi tidur dengan duduk tenang di atas tanah atau yang lainnya maka tidak membatalkan wudhu, sesuai dengan pendapat yang paling benar.
Syafi’iyyah: Orang yang tidur batal wudhunya kecuali antara pantat dan tempat duduknya rapat dan tidak ada celah, seperti dengan duduk atau menunggang kendaraan. Sedangkan kalau ada celah antara keduanya maka wudhunya batal. Sedangkan ngantuk tidak membatalkan wudhu, walaupun keadaannya sangat ngantuk, karena ia masih bisa mendengar suara orang yang berbicara di dekatnya walaupun tidak memahaminya.
Hanabilah: Tidur membatalkan wudhu bagaimana pun keadaanya. Kecuali tidur yang ringan dalam posisi duduk atau berdiri.
Dalam kitab Al-Mugni disebutkan, tidur terbagi menjadi tiga: pertama, tidur terlentang. Tidur yang seperti ini membatalkan wudhu, baik sebentar atau lama (menurut pendapat yang mengatakan tidur membatalkan wudhu). Kedua, tidur dengan duduk. Jika tidurnya sebentar tidak membatalkan wudhu, namun jika lama maka membatalkan wudhu. Ketiga, selain dua keadaan di atas. Yaitu tidur dengan posisi berdiri, ruku atau sujud. Ada yang mengatakan batal wudhunya, namun ada yang mengatakan tidak batal wudhunya dengan catatan tidurnya tidak lama.
Malikiyah: Tidur yang nyenyak membatalkan wudhu baik sedikit atau banyak, dengan posisi berdiri, duduk ataupun sujud. Sedangkan tidur yang ringan tidak membatalkan wudhu, baik sebentar maupun lama dengan posisi apa pun.

Munaqasah
Karena dalil-dalil yang ada saling bertentangan, maka dalam mensikapi hal ini para ulama menggunakan dua metode, tarjih dan thoriqotul jam’i.
Ulama yang mengikuti cara tarjih, kadang berpendapat ingin menghapuskan kewajiban wudhu lantaran tidur sama sekali, berdasarkan hadits-hadits yang menghapuskannya. Kadang, mereka mewajibkan wudhu karena tidur—sedikit atau banyak—berdasarkan hadits-hadits yang mewajibkan wudhu. Jadi hadits yang terkuat tidak tampak jelas, apakah hadits yang mewajibkan wudhu atau yang menghapuskannya.
Kelompok yang berpendapat dengan metode thoriqotul jam’i menginterpretasikan hadits-hadits yang mewajibkan wudhu karena tidur dengan pengertian tidur yang banyak. Sedang hadits yang tidak mewajibkan wudhu karena tidur diartikan sebagai tidur yang sedikit. Penjamakan ini, adalah pendapat jumhur ulama’.
Sedangkan menurut ulama ushul, cara thoriqotul jam’i lebih bisa dipandang lebih baik dibandingkan cara tarjih, selama masih bisa dilakukan penjamakan.
Imam syafi’i, ketika mengecualikan tidur dengan duduk dari kewajiban wudhu mengajukan argumentasi bahwa masalah itu sudah diriwayatkan secara shahih dari para sahabat. Bahwa mereka tidur sambil duduk, lalu mengerjakan shalat tanpa wudhu terlebih dahulu.
Imam Abu Hanifah menyatakan wajibnya wudhu dikarenakan tidur dengan berbaring. Beliau menyandarkan pendapatnya ini dengan hadits marfu’ yang diriwayatkan dari ibnu umar  :
إنما الوضوء على من نام مضطجعا
“Sesungguhnya wudhu itu hanya (wajib) atas siapa saja yang tidur berbaring.”
Sedangkan imam malik berpendapat bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang pada dasarnya mendatangkan hadats. Sehingga dalam hal ini, imam malik dalam hal ini mempertimbangkan tiga segi: kenyenyakan, lamanya dan cara tidur. Namun imam malik tidak mengemukakan syarat lamanya atau cara tidurnya disamping segi nyenyaknya yang pada dasarnya hadats itu keluar. Sedang cara tidur yang pada prinsipnya tidak mendatangkan hadats, beliu mensyaratkan lama dan nyenyaknya tidur.

Pendapat yang rajih.
Dari semua dalil dan perbedaan pendapat di antara ulama fiqih yang ada bisa ditarik kesimpulan bahwa tidur yang pulas yang menyebabkan hilangnya kesadaran, tidak mampu mendengar suara, tidak merasakan jika sesuatu jatuh dari tangannya atau jika ada air liur keluar dari mulutnya dan lain-lain, adalah tidur yang membatalkan wudhu. Sebab tidur semacam ini menandai terjadinya hadats, sama saja apakah dalam posisi berdiri, duduk, berbaring, ruku’, sujud, tidak ada bedanya semua posisi itu.
Tetapi jika tidur ringan berupa rasa kantuk yang sangat sehingga orang tersebut masih merasakan hal-hal yang kami sebutkan di atas, maka bagaimana pun kondisinya, tidur seperti itu tidak membatalkan wudhu. Sesuai dengan hadits yang menyebutkan tertidurnya para shahabat sampai kepala mereka tertunduk, dan hadits Ibnu Abbas ketika shalat bersama nabi . Dengan demikian terkumpullah seluruh dalil-dalil yang tersebut di dalam bab ini. Wallahu a’lam bish-shawab

Referensi
1. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul-Maqashid, Ibnu Rusyd, Darul-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon
2. “Shahih Fiqih Sunnah Lengkap Berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan para imam yang termasyhur“, Abdul Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, pustaka azzam, jakarta, cetakan ke I tahun 2006.
3. Al-Mugni, Ibnu Qudamah, hajar, kairo, cetakan ke II tahun 1412 H/1992 M.
4. Al-Fiqhul Al-Islamy Wa Adillatihi, Dr. Wahbah Az-Zahily, Darul-Fikri, Damsyiq, cetakan ke III tahun 1409 H/1989 M.
5. Maktabah Syamilah

Read More..

BAKHIL

Pendahuluan
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad , yang telah diutus oleh Allah  untuk menyempurnakan akhlak umat manusia.


Allah menciptakan manusia dalam sebaik-baik ciptakan. Menundukkan apa yang ada di langit dan yang ada di bumi untuk manusia. Menjadikan manusia khalifah di muka bumi untuk melestarikan serta menjaganya.
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Mereka membutuhkan kehadiran orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak bisa dipungkiri. Jika pun ada manusia yang menyangka dirinya tidak membutuhkan orang lain tentu itu mustahil baginya. Karena tidak mungkin seseorang mampu memenuhi segala kebutuhannya, baik rohani maupun jasmani. dari kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan yang lain.
Untuk itu Islam mengatur hubungan antar sesama manusia. Mengajarkan bagaimana bergaul dengan orang lain. Islam juga mengajarkan kepada umatnya akhlak-akhlak yang mulia. Serta mengingatkan umatnya untuk menjauhi dan meninggalkan akhlak yang tercela.
Salah satu akhlak tercela yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan seseorang adalah sifat bakhil atau kikir. Mengingat besarnya pengaruh yang akan muncul dari sifat ini, tentunya kita harus mengetahui hakikat bakhil serta batasan di mana seseorang disebut bakhil atau kikir. Serta bagaimana cara mengobati sifat bakhil tersebut.
Kami juga menghadirkan dalil-dalil syar’I yang berkaitan dengan bakhil. Baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah dan juga perkataan dari ulama’ salaf yang berkaitan dengan masalah ini.
Kami menyadari semua yang kami paparkan dalam tulisan ini tentunya tidak bisa mewakili pembahasan ulama tentang sifat bakhil dan kikir secara menyeluruh. Namun kami tetap berharap makalah yang singkat ini mampu membuka hati kita untuk menghiasi diri kita dengan akhlak yang mulia serta meninggalkan seluruh akhlak yang tercela.
إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلَاقًا
“sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling bagus akhlaknya”

Tentunya, dengan keterbatasan ilmu yang kami miliki, banyak terdapat kesalahan. Untuk itu kami memohon ampunan kepada Allah atas kesalahan baik yang disengaja ataupun tidak. Tak lupa pula kami mengharapkan kesediaan asatidzah dan ikhwan sekalian untuk mengoreksi tulisan kami ini. Wallahu Musta’an

II. Pengertian kikir
Sebagaimana yang telah kami paparkan dalam mukaddimah. Dalam pembahasan ini ada dua kata dalam bahasa arab yang maknanya hampir sama yaitu kata (البخل ) dan (الشح ).
Al-buhlu atau bakhil adalah menahan sesuatu yang wajib. Sedangkan asy-syuh atau kikir adalah menahan sesuatu yang wajib dan tamak atau rakus terhadap apa yang menjadi milik orang lain. Jadi asy-syuh lebih buruk dan tercela dari pada al-Bukhl.
Dua sikap ini sama tercelanya. Sehingga tidak pantas dalam diri seorang muslim terdapat sifat bakhil dan kikir. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah riwayat:
“Dua hal yang tidak akan terhimpun pada diri seorang mukmin: bakhil dan ahlak yang buruk.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi)
“kikir dan iman sama sekali tidak akan terhimpun di dalam diri seorang hamba.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi, Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Al-Baghawi)

III. Dalil-dalil yang berkaitan dengan bakhil.
Sifat bakhil dan kikir ini sangatlah dicela dalam Islam. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa nash syar’I, baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah. Kesemua dalil tersebut menunjukkan betapa jeleknya akibat dari keduanya.
Dari Al Qur’an
Kata bakhil beberapa kali disebutkan dalam Al Qur’an. dan semua ayat tersebut mengandung celaan terhadap sifat bakhil ini, di antaranya :
وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى (8) وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى (9) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (10) وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى (11)

“dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah). Serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka akan kami permudahkan jalannya menuju kesukaran (kesengsaraan). Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa (mati). (Qs. Al-Lail : 8-11)
هَاأَنتُمْ هَؤُلاَء تُدْعَوْنَ لِتُنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللهِ فَمِنكُم مَّن يَبْخَلُ وَمَن يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَن نَّفْسِهِ وَاللهُ الْغَنِيُّ وَأَنتُمُ الْفُقَرَاء .
“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang maha kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya). (Qs. Muhammad :38)

الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا
“yaitu orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.” (Qs. An-Nisa’ : 37)
Allah mencela orang-orang yang tidak mau menginfakkan hartanya di jalan yang telah diperintahkan Allah, seperti untuk berbuat baik kepada orang tua, kerabat karib, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, ibnu sabil dan hamba sahaya. Mereka pun tidak mengeluarkan hak Allah yang terdapat dalam harta mereka, bahkan menyuruh orang lain berbuat bakhil. Rasulullah bersabda,
“Adakah penyakit yang lebih ganas dari pada bakhil?“
Firman Allah, “dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan kepada mereka.“ Orang bakhil adalah orang yang mengingkari nikmat Allah. Nikmat Allah itu tidak tampak dalam pakaian, makanan atau pemberiannya. Oleh karena itu Allah mangancam dengan firmanNya, “dan kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang menghinakan.“
Dalam sebuah hadits dinyatakan,
“Sesungguhnya jika Allah menganugerahkan suatu nikmat kepada hamba-Nya, maka Dia suka jika kenikmatan itu tampak berdampak pada dirinya.“
Konteks ayat ini adalah bakhil dalam hal harta. Namun bakhil terhadap ilmu pengetahuan tentu lebih tercakup lagi ke dalaml ayat itu sebab konteknya mengenai infak kepada kerabat dekat dan orang-orang lemah.
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“sekali-kali janganlah orang yang bakhil dengan hartan yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka , bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelah di lehernya pada hari kiamat.” (Qs. Ali Imron :180)
Firman Allah ta’ala, “dan jangan sekali-kali mengira bahwa kekikiran orang-orang atas karunia yang telah Allah berikan kepadanya adalah baik bagi mereka. Bukan baik tetapi buruk bagi mereka.” Maksudnya, jangan sekali-kali orang kikir menduga bahwa harta yang dikumpulkan itu berguna baginya, justru akan memberikan madharat bagi mereka dalam agamanya, walaupun kadang mendatangkan manfaat baginya di dunia.”
Kemudian Allah memberitahukan ihwal kesudahan hartanya pada hari kiamat. Allah berfirman, “apa yang mereka kikirkan itu kelak akan dikalungkan kepada mereka pada hari kiamat.”
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah  bersabda, “ barang siapa yang diberi harta kekayaan oleh Allah namun tidak dizakatinya, maka hartanya itu akan menjelma menjadi seekor ular yang mempunyai dua titik hitam pada sebelah atas kedua matanya. Kemudian ular itu akan dikalungkan kepadanya pada hari kiamat lalu menggigit kedua pipinya. Ular itu berkata, ‘aku adalah hartamu dan gudang kekayaanmu.’ Kemudian Nabi  membaca ayat di atas.”
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “ayat ini diturunkan berkaitan dengan ahli kitab yang tidak mau menjelaskan isi kitab yang diturunkan kepada mereka.” Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir. Pendapat yang shahih ialah yang sebelumnya, walaupun pendapat ini termasuk ke dalam pengertian bakhil juga.
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“dan barang siapa dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Al-Hasr : 9)
Ada seorang laki-laki mendatangi Abdullah dan berkata : "wahai Abu Abdirrahman aku khawatir aku akan celaka." Maka beliau bertanya, "Apa yang menimpamu?" laki-laki itu menjawab, "Aku mendengar Firman Allah, "“dan barang siapa dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Al-Hasr : 9), sedangkan aku adalah orang yang sangat kikir, hampir-hampir tidak pernah aku mengeluarkan sesuatu pun dari kedua tanganku ini." Maka beliau berkata, "Bukan kikir ini yang dimaksud dalam firman Allah tersebut, sesungguhnya kikir adalah engkau memakan harta saudaramu secara dzalim, tetapi yang menimpamu adalah kebakhilan, dan sejelek-jeleknya sesuatu adalah kebakhilan."

Dari As-Sunnah
Dari nabi  beliau pernah berdo’a:
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari lemah hati dan bakhil (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)

Jabir  meriwayatkan, Nabi  pernah bertanya kepada banu salamah, "siapakah pemimpin kalian?“ mereka menjawab, "jadd bin Qais. Hanya saja kami menganggapnya orang yang bakhil.“ Beliau bersabda, "Lalu penyakit apakah yang lebih parah dari pada bakhil? Pemimpin kalian adalah Bisyr bin Barra’ bin Ma’rur“ (Riwayatkan Al-Bukhari di dalam Al-Adabul Mufrad)

Dari Anas beliau berkata, Rasulullah  bersabda :
ثَلَاثٌ مُهْللِكَاتٌ شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتْبَعٌ وَإِعْجَابُ المَرْءِ بِنَفْسِهِ
"Tiga perkara yang merusak, yaitu kikir yang dituruti, nafsu yang diikuti, dan ketaajuban seseorang terhadap diri sendiri .“ (Riwayatkan Al-Bazzar dan Abu Nu’aim)
Dari Abu Hurairah  beliau berkata, Rasulullah  bersabda : “Tidaklah para hamba menjumpai waktu subuh kecuali akan turun dua malaikat. Yang satu berkata, “ya Allah berilah orang-orang yang berinfak ganti atas hartanya.“ Dan yang lain berkata, “ya Allah berikanlah kepada orang yang bakhil kerugian.“ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Perkataan ulama salaf dan orang bijak
Para ulama salaf dan orang yang berilmu mereka sangat mencela sifat bakhil dan kikir. Mereka sendiri tidak mau dirinya terjerumus dalam sifat ini. karena sifat ini hanya akan mendatangkan kerugian bagi pelakunya. baik di dunia maupun di akhirat, serta mendatangkan kesengsaraan bagi orang lain ketika di dunia.
Al-Khaththabi berkata, "kikir yang membuat seseorang tidak mau memberi, lebih parah dari pada bakhil.“
Salman alfarisy berkata, "jika orang dermaawan meninggal dunia, maka bumi para malaikat penjaganya berkata, 'ya rabbi, lepaskanlah urusan dunia dari hamba-Mu karena kedermawannya’. Jika orang bakhil meninggal dunia, maka bumi berkata, 'ya rabbi, halangilah orang ini dari surga, sebagaimana hamba-Mu ini menghalangi apa yang ada di tangannya dari keduniaan’.“
Di antara orang bijak ada yang berkata, "siapa yang bakhil, maka musuhnyalah yang akan mewarisi hartanya.“
Seorang A’rabi mensifati orang lain dengan berkata, "dia menjadi hina dalam pandanganku karena kebesaran dunia dalam pandangannya.“
Seorang A’rabi mencela suatu kaum dengan berkata, "mereka berpuasa dari yang ma’ruf dan melahap kekejian.“
Abu Bakar Ash-Shiddiq  berkata :
"Orang yang bakhil atau kikir tidak bisa terlepas dari salah satu tujuh perkara berikut :
1. Ketika ia mati, hartanya akan diwarisi oleh orang yang akan menghabiskan dan membelanjakannya untuk sesuatu yang tidak diperintahkan Allah;
2. Allah akan membangkitkan penguasa zhalim yang akan merenggut seluruh hartanya setelah menyiksanya terlebih dahulu.
3. Allah menggerakkan dirinya untuk menghabiskan harta bendanya.
4. Muncul ide pada dirinya untuk mendirikan bangunan di tempat yang rawan bencana, sehingga bangunan tersebut semua harta yang disimpan di dalamnya lalu ludes.
5. Dia ditimpa musibah yang dapat menghabiskan hartanya, seperti tenggelam, terbakar, mengalami pencurian, dan sebagainya.
6. Dia ditimpa penyakit kronis sehingga hartanya habis untuk berobat.
7. Dia menyimpan hartanya di sebuah tempat, kemudian ia lupa tempat itu, sehingga hartanya hilang."

IV. Batasan bakhil
Banyak orang yang berbicara masalah bakhil dan kedermawanan. Di antara mereka ada yang membatasi bakhil dengan menahan yang wajib. Sedangkan orang yang berbuat sesuai dengan apa yang diwajibkan kepadanya, maka dia tidak disebut orang bakhil. Memang pengertian ini bisa dikata cukup. Orang yang tidak menyerahkan kepada keluarganya kecuali menurut ukuran yang ditetapkan seorang hakim, kemudian dia membuat mereka menderita karena tidak mau menambah bagian untuk keluarganya sekalipun hanya satu suapan atau sebuah korma saja, maka dia termasuk orang bakhil.
Yang benar, orang yang terbebas dari bakhil ialah yang melaksanakan yang wajib menurut syari’at dan hal-hal yang lazim, dengan cara yang terhormat dan disertai kerelaan hati tatkala mengeluarkannya.
Yang wajib menurut ketentuan syariat ialah mengelurkan zakat dan memberikan nafkah kepada keluarga. Sedangkan yang lazim dengan cara yang terhormat ialah dengan tidak merasa sayang terhadap apa yang dikeluarkannya dan menghindari hal-hal yang hina. Gambarannya berbeda-beda menurut perbedaan kondisi dan individu. Sesuatu yang dipandang buruk pada diri orang yang kaya belum tentu dipandang buruk pada diri orang yang miskin. Apa yang dipandang buruk pada diri seseorang karena menyusahkan keluarga, kerabat dan tetangganya dalam urusan makanan, belum tentu dianggap buruk pada diri orang asing. Orang bakhil ialah yang menahan apa yang mestinya dia tidak boleh menahannya, entah atas dasar ketentuan syariat entah atas dasar menjaga kehormatan. Siapa yang melaksanakan ketentuan syariat dan kelaziman kekesatriaan, berarti dia terlepas dari sifat bakhil. Tetapi dia tidak memiliki sifat kedermawanan selagi tidak mau mengeluarkan lebih dari itu.
Bakhil tidak hanya terbatas kaitannya dengan harta semata. Bakhil juga termasuk dalam ilmu dan jabatan. Orang yang tidak mau mengajarkan ilmu yang telah didapatkan kepada orang lain pun disebut bakhil. Begitu juga orang yang tidak mau mengorbankan jabatannya baik untuk kepentingan agama ataupun untuk kepentingan masyarakat maka dia termasuk bakhil.
Bahkan rasulullah  menyatakan orang bakhil adalah orang yang tidak mau membaca shalawat kepada beliau jika nama beliau disebut. Rasulullah  bersabda :
الْبَخِيلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Orang bakhil adalah siapa yang mendengar namaku disebut dia tidak mau bershalawat kepadaku.“ (riwayat At-Tirmidzi)

V. Akibat bakhil
Bakhil tidak hanya mendatangkan kerugian di dunia semata, namun di akhirat pun orang bakhil akan mendapat azab karena kebakhilannyan tersebut. Di antara akibat yang ditimbulkan oleh bakhil adalah :
1. Akan sulit mendapatkan kebahagiaan.
2. Hina di hadapan orang lain.
3. Orang yang bakhil akan tersiksa jiwanya, karena selalu memikirkan bagaimana cara agar hartanya bertambah.
4. Hartanya tidak bermanfaat karena hanya ditumpuk saja. Bahkan orang yang sangat bakhil tidak mau hartanya berkurang sedikitpun, walau sekedar memenuhi kebutuhannya sendiri.
5. Pada hari kiamat kelak, harta yang ditumpuknya akan dikalungkan di lehernya sebagai balasan atas kebakhilannya.
6. Harta yang ditumpuknya tidak bermanfaat sama sekali dihadapan allah, melainkan hanya akan mendatangkan kerugian baginya.
7. Kehancuran yang disebabkan peperangan sesama manusia, sebagai mana yang telah menimpa umat-umat terdahulu.

VI. Cara Mengobati bakhil
Semua penyakit pasti ada obatnya. Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali juga menciptakan obatnya. Sebagaimana penyakit yang menimpa jasad manusia yang pasti ada obatnya, penyakit hati pun demikian.
Hal pertama untuk mengobati bakhil adalah dengan mengetahui kebaikan-kebaikan yang akan didapat dari sifat dermawan (suka memberi) serta mengetahui kejelekan-kejelekan yang akan didapat dari sifat bakhil.
Juga perlu diketahui bahwasannya sifat bakhil itu mempunyai sebab-sebab dan motif-motif yang mendorong seseorang bersikap demikian. dan motif yang paling kuat dalam hal ini adalah takut miskin. Maka islam telah menerangkan hal itu dalam banyak ayat dengan ungkapan yang sangat indah dan bijaksana.
Sedangkan sebab yang lain adalah kecintaan terhadap harta. Sedangkan cinta terhadap harta itu ada dua sebab:
1. Cinta kepada nafsu, yang tidak bisa dicapai kecuali dengan memiliki harta dan harapan yang muluk-muluk. Sekalipun dia tidak mempunyai harapan yang muluk-muluk untuk dirinya sendiri, tetapi dia mempunyai anak, maka dia juga termasuk orang yang mempunyai harapan yang muluk-muluk.
2. Cinta hanya semata kepada harta itu. Di antara manusia ada yang mempunyai harta melimpah, cukup untuk kebutuhannya sepanjang hidupl andaikan dia membatasi kebutuhannya yang lazim seperti biasanya, agar hartanya masih banyak atau bertambah banyak, sementara dia pun tidak mempunyai anak dan sudah tua, lalu dia tidak mau membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhannya, termasuk pula untuk sadaqah, maka ini termasuk penyakit bakhil yang sulit diobati. Perumpamaan orang ini ialah seperti orang yang mencintai orang lain. Ketika utusan orang yang dicintainya datang, dia justru mencintai utusan tersebut dan malalaikan orang yang tadinya dicintai. Dunia ini adalah utusan yang menghantarkan kepada apa yang dibutuhkan. Dia mencintai uang dan lupa kebutuhannya. Tentu saja ini merupakan kesesatan.

VII. Penutup
Sifat bakhil adalah pokok dari semua kehinaan. Menandakan sedikitnya akal dan jeleknya pembinaan. Mengajak manusia kepada kebiasaan-kebiasan yang tercela. Tidak bisa bersatu dengan keimanan dalam hati manusia.
Karena pada hakikatnya kebakhilan akan menyebabkan kehancuran dan rusaknya akhlak manusia. Sebagaimana ia merupakan tanda berburuk sangka kepada Allah. Maka kebakhilan akan menyebabkan seseorang terpisah dengan sahabat-sahabatnya dan jauh dari akhlak para nabi dan orang-orang sholeh.
Maka orang yang bakhil tidak diterima keberadaannya di dunia dan di akhirat akan disiksa. mereka adalah orang yang dibenci oleh Allah dan manusia. Dari sinilah muncul perkataan :
“Kedermawanan seseorang menjadikan musuh-musuhnya cinta kepadanya, sedangkan kebakhilannya menyebabkan anaknya sendiri benci kepadanya.”
Ada juga yang mengatakan, “Bakhil menghilangkan sifat kemanusiaan dan memunculkan kebiasaan hewani.”
Oleh karena itu marilah kita senantiasa berusaha menjauhkan diri kita dari sifat bakhil. Karena ia hanya akan menjauhkan manusia dari kasih sayang Allah dan akan menjadikan orang lain benci terhadap kita. Bahkan seorang anak akan membenci ayahnya sendiri disebabkan oleh kebakhilan yang menyelimuti hati.
Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari sifat bakhil dan memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Wallahu a’lam

Referensi
1. Al-Qur’an Terjemah
2. Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Al-Ashriyah, Beirut, Cetakan III Tahun 2000 M.
3. Syarh Riyadhus-Shalihin, Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin, Darul Ulum, Mesir, Cetakan I Tahun 2002 M.
4. Kitab Al-Adab Al-Mufrad, Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Maktabah Ma’arif, Riyadh, Cetakan I Tahun 1998 M.
5. Minhajul Qosidhin jalan orang-orang yang mendapat petunjuk, Ibnu Qudamah, Pustakan Al-Kautsar, Jakarta, Cetakan I Tahun 1997 M.
6. http:\www. Islamweb.net



Read More..

QISHASH PEMBUNUHAN

I. Muqaddimah
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dan alam semesta. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad , kelurga dan shahabat beliau serta umatnya yang senantiasa mengikutinya dengan baik sampai hari kiamat kelak.

Salah satu keistimewaan dienul Islam adalah ajarannya yang mencakup semua aspek kehidupan. Islam tidak hanya mengatur hubungan seorang manusia dengan Rabbnya saja, namun Islam juga mengatur hubungan antara sesama manusia. Bahkan Islam juga mengatur hubungan antara manusia dengan mahluk lainnya.
Dalam hal ini Islam sangat menghormati dan menjaga hak asasi manusia. Lebih-lebih hak seseorang untuk hidup yang merupakan hak asasi yang paling asasi. Sebagai perwujudan penghormatan dan penjagaan dalam hal ini Islam mensyari’atkan adanya qishas. Sebagai mana firman Allah ,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bagi kalian di dalam qishash itu ada kehidupan wahai orang-orang yang mempunyai akal pikiran.” (Qs. Al-Baqoroh : 179)
Imam Abu Aliyah mengomentari ayat ini, “Betapa banyak orang yang mengurungkan niatnya melakukan pembunuhan karena takut dibunuh (diqishash).” (Tafsir ibnu katsir jilid I).
Itulah salah satu bukti bahwa islam adalah agama yang menyeluruh dan sesuai dengan fitrah manusia.
Mengingat pentingnya masalah ini, maka kami merasa perlunya pembahasan tentang qishash yang kami khususkan dalam pembunuhan. Pembahasan ini mencakup tentang pengertian dan jenis-jenis pembunuhan; pelaksanaan qishash itu sendiri, baik yang berkaitan dengan syarat, mawani’ (penghalang-penghalang), dan hal-hal yang menggugurkan qishash dan juga teknik pelaksaan qishash; serta bagaimana prakteknya pada saat ini.
Tentu, tulisan kami dalam pembahasan ini tidak bisa mewakili tulisan-tulisan yang terdapat dalam kitab-kitab rujukan (turats) yang ditulis oleh para ulama salaf. Dan kami menyadari betul banyaknya kekurangan dan kesalahan di sana-sini dalam tulisan ini, dikarenakan ilmu kami yang masih sangat sedikit. Namun demikian kami berharap tulisan ini membuka kesadaran kita untuk lebih giat dalam mempelajari dan mendalami ilmu dien yang sangat luas cakupannya.
Oleh karena itu kami meminta kerelaan para asatidzah dan ikhwan sekalian membantu kami dalam mengoreksi dan memperbaiki serta membenarkan kesalahan-kesalahan yang ada. Sebagai hamba Allah yang lemah dan bodoh, kami selalu beristighfar kepada Allah dan meminta pertolongannya agar memudahkan kami memahami semua syariat-Nya  .


Sukoharjo, 2 Jumadil ‘ula 1429 H
30 Mei 2008 M






II. Definisi
a. Qishash
Secara bahasa : qishos berasal dari kata qashasha yang berarti memotong atau mengikuti jejak dalam pengejaran. Oleh karena itu orang yang terkena hukum qishos dihukum sesuai dengan apa yang menimpa si korban.
Sedangkan menurut istilah syar’I : qishos adalah balasan setimpal yang dikenakan kepada orang yang melakukan tindak pidana (pembunuhan atau non pembunuhan).
Qishos dikenakan untuk setiap tindak pidana dengan sengaja. Baik terencana ataupun tidak.
b. Pembunuhan
pembunuhan adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
Islam melarang umatnya melakukan suatu pembunuhan tanpa alasan yang dibenarkan. Karena pembunuhan termasuk dosa besar yang pelakunya diancam oleh Allah  dengan neraka. Berikut ini dalil-dalil yang menunjukkan larangan membunuh tanpa alasan yang dibenarkan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا . وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
“...dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS An-Nisaa’: 29-30)
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS An-Nisaa’: 93)
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS Al-Maaidah: 32)
Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah  bersabda: “Hendaklah kalian menjauhi tujuh perkara yang membinasakan.” Ada yang bertanya, “Ya Rasulullah, apa saja itu?” Jawab Beliau , “(Pertama) menyekutukan Allah, (kedua) perbuatan sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah Allah haramkan (membunuhnya) kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan harta benda anak yatim, (kelima) makan riba, (keenam) berpaling pada waktu menyerang musuh (desersi), dan (ketujuh) menuduh (berzina) perempuan-perempuan mukmin yang tidak tahu menahu (tentang itu).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ’Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).
Dari Abdullah bin Umar bin Khatthab  bahwa Rasulullah  bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

“Bagi Allah lenyapnya dunia jauh lebih ringan daripada hilangnya nyawa seorang muslim.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5077, Tirmidzi II: 426 no: 1414 dan Nasa’i VII: 82).
Dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah , dari Rasulullah  Beliau bersabda, “Andaikata segenap penghuni langit dan penghuni bumi bersekongkol menumpahkan darah seorang mukmin, maka niscaya Allah akan menjebloskan mereka ke dalam api neraka.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5247 dan Tirmidzi II: 427 no: 1419).
Dari Abdullah bin Mas’ud  bahwa Nabi  bersabda, “Perkara yang pertama kali diputuskan di antara manusia (oleh Allah kelak) ialah kasus pembunuhan.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 187 no: 8664, Muslim III: 1304 no: 1418 dan Nasa’i VII: 83)
Dari Abdullah bin Mas’ud  bahwa Rasulullah  bersabda, “Ada seorang laki-laki datang dengan memegang tangan laki-laki lain, lalu berkata, ‘Wahai Rabbku, orang ini telah berusaha membunuhku.’ Kemudian Allah bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau berusaha membunuhnya?’ Maka orang yang telah berusaha membunuhnya itu menjawab, 'Aku membunuhnya supaya kemuliaan menjadi milik-Mu semata.' Kemudian Allah menjawab, 'Maka (kalau begitu), itu untuk-Ku semata.' Kemudian datang (lagi) seorang laki-laki (lain) sambil memegang tangan laki-laki juga, lalu ia berkata, '(Wahai Rabbku), orang ini telah membunuhku.' Lalu tanya Allah kepadanya, ‘Mengapa engkau membunuhnya?’ Jawabnya, ‘Supaya kemuliaan ini menjadi milik si fulan.’ Maka firman Allah, 'Sesungguhnya kemuliaan bukanlah milik si fulan.' Maka laki-laki yang berusaha itu pulang dengan membawa dosanya.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 3732 dan Nasa’i VII: 84).
Klasifikasi Pembunuhan
Menurut mayoritas ulama Pembunuhan terbagi tiga:
1. Pembunuhan dengan sengaja (qotlul ‘amdi), Yang dimaksud pembunuhan Sengaja ialah seorang mukallaf secara sengaja membunuh orang yang terlindungi darahnya (tak bersalah), dengan menggunakan senjata yang lazimnya bisa membunuh.
2. Pembunuhan semi sengaja, Adapun yang dimakasud syibhul ’amdi (pembunuhan yang mirip dengan sengaja) ialah pemukulan secara semena-mena dan tanpa alasan yang benar dengan menggunakan alat yang secara umum tidak mematikan, misalnya tongkat kecil dan cambuk, namun ternyata manyebabkan kematian korban padahal si pelaku tidak bermaksud membunuhnya, melainkan hanya memberi pelajaran dan sejenisnya.
3. Pembunuhan karena keliru (qotlul khoto’), Sedangkan yang dimaksud pembunuhan karena keliru ialah seorang mukallaf melakukan perbuatan yang mubah baginya, seperti memanah binatang buruan atau semisalnya, ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia.
Namun Mazhab Hanafi membagi pembunuhan menjadi 5 yaitu : qotlul ‘amdi (pembunuhan sengaja), syibhul ‘amdi (seperti sengaja), khotho’ (keliru atau tidak sengaja), ma ajro majri al-khotho’ (seperti pembunuhan keliru), dan tasabbub (tidak langsung namun menjadi penyebab). Sedangkan menurut Mazhab Maliki pembunuhan hanya ada dua; amdi dan khotho’.
c. Qishash pembunuhan
Qishash pembunuhan adalah balasan setimpal yang dikenakan kepada orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.

III. Dalil-Dalil Tentang Qishash
Al-qur’an :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan perempuan dengan perempuan.” (Qs. Al-Baqoroh : 178)
Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yahudi dari kalangan Bani Nadhir dan Bani Quraidhah. Apabila orang Nadhir membunuh orang Quraizhah, maka orang Nadhir tidak dibunuh karenanya, namun hanya diharuskan menebus dengan seratus wasaq kurma. Sedangkan bila orang Quraizhah membunuh orang Nadhir, maka orang Quraizhah harus diqishas dengan cara dibunuh. Jika orang Quraidhah mau menebusnya, maka mereka harus membayar sebanyak 200 wasak kurma, yang berarti dua kali lipat dari jumlah diyat untuk menebus orang Nadhir. Oleh karena itu Allah menyuruh berlaku adil dalam qishos dan tidak boleh mengubah hukum-hukum Allah dikarenakan kafir dan durhaka.(Tafsir Ibnu Katsir jilid I)
“Dan dalam qishos itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. Al-Baqoroh : 179)
Imam Abu ‘Aliyah mengomentari ayat ini : “Allah menjadikan di dalam qishos kehidupan betapa banyak orang yang ingin membunuh mengurungkan niatnya karena takut akan di bunuh (qishos).”
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishosnya.” (Qs. Al Maidah : 45)
As-sunnah
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu di antara tiga hal: orang yang pernah menikah berzina, qishos jiwa dengan jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya dan menyempal dari jama’ah.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7641).
“Barang siapa yang walinya dibunuh, maka ia bisa memilih antara dua opsi (bagi pembunuhnya) : dikenakan diyat atau dibunuh (qishos). (HR. bukhori muslim)
Dari Abu Hurairah  dari Nabi  , Beliau bersabda, “Barang siapa yang dibunuh dan ia mempunyai keluarga, maka (pihak keluarganya) memiliki dua alternatif: boleh menuntut diat, boleh menuntut qhisash.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari XII; 205 dan Muslim II: 988 no: 1355).
Diat wajib ini sebagai ganti dari qishash. Oleh sebab itu, pihak keluarga terbunuh boleh berdamai dengan si pembunuh dengan jalan menuntut selain diat, walaupun nilainya lebih besar daripada diat. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi  :
"Barangsiapa yang membunuh (orang tak bersalah) secara sengaja (dan terencana), maka urusannya kepada pihak keluarga si terbunuh. Jika mereka mau, menuntut hukum balas membunuh; dan jika mau, mereka menuntut diat, yaitu (membayar) tiga puluh hiqqah (onta betina berusia tiga tahun yang masuk tahun keempat) dan tiga puluh jadza’ah (onta yang masuk tahun kelima) serta empat puluh khalifah (onta yang sedang bunting) dan, apa saja yang mereka tuntut kepada si pembunuh sebagai imbalan perdamaian, maka ia (imbalan itu) untuk mereka, dan yang demikian itu untuk penekanan pada diat." (Hasan: Shahih Tirmidzi no: 1121 dan Tirmidzi II: 423 no: 1406 dan Ibnu Majah II: 887 no: 2626).

IV. Ahkamul Qishash
a. Syarat-syarat qishos
Untuk menjatuhkan hukuman qishos, diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Adanya Unsur Kesengajaan
yaitu kesengajaan pelaku untuk membunuh korban dengan menggunakan sesuatu yang bisa menghilangkan nyawa. Baik berupa benda tajam ataupun benda lain yang secara umum bisa digunakan untuk membunuh.
2. Pelaku Pembunuhan Telah Mukallaf (Akil Baligh)
Tidak ada perbedaan di kalangan ahli ilmu bahwa qishos tidak bisa dikenakan pada pembunuh yang masih anak-anak maupun gila. Begitu juga orang yang kehilangan akalnya karena suatu sebab yang dibenarkan. Dalil-dalil tentang hal ini sudah sering dijelaskan.
Sedangkan bagi orang yang mabuk, maka ia tetap dikenai qishash. Sebagaimana ia juga dikenai had karena meminum khamr. Seandainya tidak dikenai qishash maka akan muncul kerusakan yang luar biasa disebabkan oleh orang-orang yang mabuk. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.
3. Adanya Kehendak Sendiri Dan Tanpa Paksaan.
Syarat ini masih diperselisihkan. Abu Hanifah dan muridnya Muhammad, juga syafi’I dalam salah satu versi pendapatnya, menyatakan bahwa orang yang dipaksa untuk membunuh tidak berhak untuk diqishos, merujuk pada hadits:
“sesungguhnya Allah memaafkan perbuatan umatku (yang dilakukan) karena : kekeliruan atau tidak disengaja, lupa, dan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka (pemaksaan).” (HR. Ibnu Majah no. 2045)
Mereka mengatakan: Orang yang dipaksa sama halnya dengan alat di tangan orang yang memaksanya, dan ini bisa dikategorikan sebagai paksaan yang tidak bisa dihindari (Ikrah Almujli). Dengan demikian kondisinya sama seperti ketika si pemaksa melempar alat tersebut hingga mengenai korban dan membunuhnya.
Sementara di sisi lain, Imam Malik, Ahmad, Syafi’i dalam versi pendapat keduanya, dan Ja’far dari kalangan murid Abu Hanifah, menyatakan bahwa orang yang dipaksa membunuh tetap wajib dikenakan qishos. Alasan mereka, orang yang dipaksa membunuh korbannya dengan sengaja dan secara dzalim, sewenang-wenang, tanpa alasan yang benar demi keselamatan dirinya (dari ancaman orang yang memaksanya), sehingga statusnya serupa dengan ketika ia membunuhnya karena kelaparan agar ia dapat memakannya, atau orang yang memilih membunuh orang lain dari pada orang tersebut akan membunuhnya.
Terkait dengan pendapat kalangan pertama yang mengkategorikan pembunuhan sengaja di bawah paksaan orang sebagai “paksaan yang tidak bisa dihindari”, kelompok kedua menyatakan bahwa ini tidak bisa dibenarkan, karena ia masih mungkin untuk menentang atau menolak, dan ia juga memiliki pilihan antara membunuh dirinya sendiri (dibunuh orang yang memaksa) atau membunuh orang lain, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa ia tidak memiliki pilihan sama sekali.
Kesimpulan :
Pendapat terakhir ini lebih jelas dan lebih tepat. karena keterpaksaan bisa ditolelir jika berupa ucapan dan bukan pada tindakan. Pendapat ini juga dikuatkan oleh hadits Sa’d bin Abi Waqqash  terkait dengan fitnah (huru-hara yang menewaskan) Utsman bin Affan  , ia berkata: aku bersaksi bahwa Rasulullah  telah bersabda,
“Sesungguhnya akan terjadi fitnah (huru-hara) di mana orang yang duduk lebih baik dari pada yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada orang yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik dari pada yang berlari.” Utsman bertanya, “Menurut anda, bagaimana jika ada orang yang memasuki rumahku dan mengacungkan tangannya kepadaku untuk membunuhku?” beliau menjawab, “bersikaplah seperti anak adam (habil). [Hadits Shahih Riwayat At-Tirmidzi (2194), Abu Dawud (4257), Ahmad (1/185)]
Dalam hadits ini, Nabi  melarangnya utsman  balik merentangkan tangan pada orang yang ingin membunuhnya. Dengan demikian, mencegah membunuh orang lain—yang tidak mengusiknya—jika ia dipaksa untuk membunuh, tentu lebih dilarang.
Wasiat senada dipesankan Nabi  kepada abu dzar, agar ia mengasingkan diri apabila manusia telah saling bunuh dan hendaknya tidak ikut mengangkat senjata, hingga beliau bersabda :
“Namun jika kamu takut akan kilatan pedang, maka tutupkanlah ujung jubahmu ke wajahmu, niscaya dia akan menanggung dosanya dan dosamu.” [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud (4261), Ibnu Majah (3958), Ahmad (5/149), Ibnu Hibban (5960)]
4. Korban pembunuhan adalah ma’shum yaitu orang yang nyawanya terlindungi (seorang muslim)
Jika korban adalah kafir harbi, atau pelaku zina muhshan atau seorang murtad, maka tidak ada tanggungan bagi pembunuhnya, baik itu qishos ataupun diyat. Nabi  bersabda :
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu di antara tiga hal: orang yang pernah menikah berzina, qishos jiwa dengan jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya dan menyempal dari jama’ah.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 201 no: 201 no: 6878, Muslim III: 1302 no: 1676, ‘Aunul Ma’bud XII: 5 no: 4330, Tirmidzi II: 429 no: 1423, Nasa’i VII: 90 dan Ibnu Majah II: 847 no: 2534).
5. Pelaku bukan dari kalangan garis keturunan ke atas dari korban (Ayah, Kakek dan seterusnya ke atas).
Jika seseorang membunuh anaknya atau cucunya (anak dari anaknya yang laki-laki maupun perempuan), maka ia tidak dikenai hukuman qishos atas tindakannya tersebut. Hal ini sesuai yang difatwakan oleh mayoritas ulama, di antaranya Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq, juga yang dinukil dari Umar bin Khaththab, serta dianut oleh Robi’ah, Ats-Tsauri dan Al-Auzai. Mereka berargumen dengan dalil-dalil sebagai berikut:
a. Hadits Ibnu Abbas, bahwa rasulullah  bersabda, “seorang ayah tidak dihukum qishos karena (membunuh) anaknya.” [HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah (2661) dan ulama lainnya.]
b. Hadits Abdullah bin Amr bin Ash , ujarnya: seorang laki-laki dari Bani Mudlij memiliki seorang budak wanita, lalu ia menyetubuhinya hingga melahirkan anak, namun tidak mengawininya dan terus mempekerjakannya. Ketika si anak sudah tumbuh dewasa, suatu hari ia pun memanggilnya bersama ibunya. Laki-laki itu berkata kepada budak perempuan tersebut, “lakukan begini dan begini!” anak itu langsung menukas, “ia tidak datang kepadamu (memenuhi perintahmu), sampai kapan kau akan pekerjakan ibuku?” ayahnya pun marah, lalu mengayunkan pedangnya ke arah anak itu dan mengenai kakinya atau bagian lain hingga putus. Anak itu bersimbah darah dan meninggal dunia. Laki-laki itu bertolak bersama kaumnya untuk menghadap Umar bin Khaththab. Umar berkata, “hai orang yang memusuhi dirinya sendiri, kaukah yang membunuh anakmu? Kalau saja aku tidak pernah mendengar rasulullah  bersabda, “Seorang ayah tidak dikenai qishos karena anaknya.” Niscaya aku sudah melaksanakan hukum mati terhadapmu. Ayo keluarkanlah diyatnya !” Orang itu pun menyerahkan seratus dua puluh atau tiga puluh ekor unta kepada Umar . Umar lalu memilih seratus unta dan menyerahkannya kepada ahli waris korban kemudian melepaskan ayahnya.[Ad-Daruquthni (3/140) dan Baihaqi (8/38)]
c. karena ayah adalah sebab atau perantara dari kehidupan (keberadaan) anaknya, maka anak tidak boleh menjadi sebab bagi kematian ayahnya. Dalam masalah ini orang yang kekuatan hukumnya selevel dengan orang tua adalah garis keturunan ke atas, baik laki-laki maupun perempuan meskipun jauh. Termasuk di dalamnya, ibu dan nenek, baik dari jalur ayah maupun ibu, meskipun sudah jauh. Karena memang lafadz “orang tua” mencakup mereka semua.
Ketentuan ini berlaku pada orang tua secara nasab. Adapun jika yang melakukan permbunuhan terhadap anak adalah orangtua persusuan, maka ulama mazhab hambali menyatakan bahwa orang tua persusuan boleh dikenakan qishos jika terbukti membunuh anak susuannya. Karena tidak adanya keterkaitan gen secara hakiki di antara mereka.
6. Ada Kesetaraan Status (Takafu’)Antara Pelaku Dan Korban, Baik Dalam Agama Dan Status Merdeka Atau Budak.
Jumhur ulama (selain Abu Hanifah) mensyaratkan orang yang dibunuh harus setara dengan orang yang membunuh dalam masalah dien dan status merdekanya. Maka seorang muslim tidak dibunuh (qishash) karena membunuh orang kafir dan orang merdeka tidak dibunuh (qishas) karena membunuh budak.
Hal ini berdasarkan hadits-hadits dari Rasulullah  :
“seorang muslim tidak dibunuh (qishas) karena (membunuh) orang kafir. [HR. Ahmad, Ibnu Majah, At-Turmudzi, Abu Daud dari hadits Umar bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya. Dan juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari]
“orang-orang muslim setara dalam darahnya, …., dan seorang muslim tidak dibunuh (qishash) karena membunuh orang kafir. [HR. Ahmad, An-Nasa’I dan Abu Daud dari hadits Ali ]
“orang merdeka tidak dibunuh (qishash) karena membunuh budak” [HR. Ad-Daruquthni dan Baihaqi dari ibnu Abbas  secara secara marfu’]
Dan perkataan Ali  : “Termasuk dari sunnah adalah tidak dibunuhnya seorang yang merdeka karena membunuh budak.” [diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari Ali . Dan juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi]
Sedangkan madzhab hanafi tidak mensyaratkan adanya kesetaraan dalam dien maupun status merdeka atau budak. Karena, menurut mereka, kesetaraan itu dalam kemanusiaan. Mereka berdalil dengan keumuman hadits, “diwajibkan atas kalian qishash dalam hal orang-orang yang dibunuh.”
Ulama telah bersepakat bahwa tidak termasuk syarat bagi orang yang terbunuh kesetaraan dalam hal jenis kelamin, akal, usia, kemuliaan, keutamaan, kesempurnaan fisik dan kesehatan badan.
7. kesepakatan ahli waris (wali) korban untuk menuntut qishos
Dalam hal ini para ulama tidak membedakan antara ahli waris ashabah dengan ash-habul-furudh, juga laki-laki dan perempuan dan besar kecil, berdasarkan pada hadits Amru bin syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia menceritakan: “Rasulullah  memutuskan agar ‘ashabah si wanita (korban pembunuhan) menerima diyat pembunuhannya, siapapun mereka adanya. Namun setelah dihitung-hitung, mereka ternyata tidak mendapatkan apa-apa darinya kecuali sisa jatah ahli warisnya (yang tergolong ash-habul-furudh), padahal jika ia membunuh, denda aqilahnya dibebankan pada seluruh ahli warisnya. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk membunuh orang yang membunuh wanita tersebut.” [hadits hasan riwayat Abu Daud (1564), An-Nasa’I (8/43), dan ibnu Majah (2647)]
Dalam hal ini jika salah satu ahli waris mencabut tuntutan qishasnya maka gugurlah qishash tersebut.

b. Mawani’ ul-qishash
1. orang yang membunuh adalah orang tua korban atau keturunan garis ke atas, baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan hubungan pernikahan tidak menghalangi untuk diberlakukannya qishash.
2. perbedaan status (dalam agama dan kebebasan) antara orang yang dibunuh dengan pembunuhnya. Sedangkan jika pembunuhan terjadi di kalangan orang-orang kafir, maka qishash tetap diberlakukan tanpa melihat apakah ia seorang kafir harbi, dzimmi, mu’ahid ataupun musta’min.
3. orang yang hanya bersekutu dan menyetujui kesepakatan pembunuhan tanpa ikut langsung dalam praktek pembunuhan tersebut. Maka keadaan seperti ini menurut jumhur ulama ia tidak diqishas hanya dikenai hukuman ta’zir dari penguasa.
Berbeda dengan mazhab maliki yang mengatakan, orang yang membantu dalam pembunuhan tetap diqishash walaupun tidak secara lansung ikut membunuh korban. Baik sebagai pengintai, penjaga pintu atau penghambat jalan.
Namun semua mazhab yang ada bersepakat, jika sekelompok orang bersepakat melakukan pembunuhan dan secara langsung ikut dalam pembunuhan itu maka mereka semua dikenai hokum qishash.
Mazhab hanafi menambahi beberapa poin dalam hal ini,
4. Merupakan pembunuhan dengan sebab.
5. Wali korban tidak diketahui.
6. Pembunuhan terjadi di negeri kafir

c. Hal-hal yang menggugurkan qishash
1. Kematian pelaku pembunuhan
Jika pelaku pembunuhan meninggal sebelum diqishas, maka gugurlah qishas atas dirinya. Baik kematian itu dengan sendirinya maupun dibunuh dengan alasan yang dibenarkan, misalnya hukum hadd. Akan tetapi dia masih berkewajiban membayar diyat yang diambilkan dari harta peninggalannya.
Namun jika pelaku dibunuh secara sengaja dan semena-mena, maka gugurlah hukum qishas dan kewajiban membayar diyat. sementara qishos dikenakan kepada pelaku kedua, dan hak qishas tetap dipegang oleh wali korban pertama.
2. Pemberian maaf ahli waris (wali) korban.
Jika ahli waris (wali) korban memaafkan si pembunuh, maka, berdasarkan kesepakatan para ulama, gugurlah hukum qishash. Karena ahli waris mempunyai dua hak atas orang yang membunuh saudaranya yaitu diyat atau qishash. Sebagaimana sabda nabi  :
“Barang siapa yang angota keluarganya menjadi korban pembunuhan, maka ia memiliki dua pilihan : diyat atau qishash.” [HR. Bukhari dan Muslim 1355]
Inilah perbedaan syariat yang berlaku pada kaum muslimin dengan Bani israil. Ibnu Abbas  menceritakan : Qishash diwajibkan atas bani israil, namun tidak berlaku ketentuan diyat (denda). Oleh karena itu Allah  menurunkan ayat :
“Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa mendapat suatu pemaafan dari saudaranya” (maaf berarti menerima diyat dalam kasus pembunuhan dengan sengaja) hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” Ia harus mengikuti cara yang baik dan melakukan pembayaran diyat dengan cara yang baik pula. “Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat” dari ketetapan yang berlaku pada umat sebelum kalian. “Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah : 178) dalam artian ia membunuh si pelaku pembunuhan setelah menerima diyat yang dibayarkan. [HR. Al-Bukhari 4498]
Jika wali korban lebih dari satu. Sebagian wali korban menuntut qishash sedangkan yang lainnya memaafkan maka gugurlah hukum qishas dan pembunuh hanya diwajibkan membayar diyat.
3. Perdamaian atas qishas
Para ahli fiqih sepakat atas bolehnya kesepakatan damai antara pelaku pembunuhan dengan ahli waris (wali) korban. Kemudian si pelaku membayar kompensasi yang telah disepakati oleh keduanya. Dan itu tidak dibebankan atas Aqilah (keluarga besar pelaku), melainkan atas pelaku sendiri.
Besar kompensasi tergantung kesepakatan antara wali korban dan si pelaku. Boleh dibayar kontan atau berangsur. Karena perdamaian berstatus ganti rugi.

d. Yang berhak menuntut qishash
Orang yang berhak menuntut qishash adalah semua ahli waris, baik dari ashabah atau ashhabul furudh, baik laki-laki maupun perempuan. Ini pendapat madzhab Hanafi, Syafi’i dan juga Hambali.
Sedangkan menurut madzhab Maliki yang berhak terhadap qishash adalah ahli waris dari ashabah yang laki-laki saja. Maka anak, saudara perempuan, istri dan suami tidak berhak dalam qishash.

e. Pelaksanaan qishash
waktu pelaksanaan.
jika vonis qishash telah ditetapkan dan semua syarat-syaratnya terpenuhi, maka ahli waris (wali) korban boleh segera melaksanakan eksekusi qishash tanpa menunda-nunda waktu. Karena qishash adalah hak mereka.
Namun jika pelaku adalah seorang perempuan yang sedang hamil, maka pelaksanaan ditunda sampai ia melahirkan. Bahkan pelaksanaannya harus ditunda sampai habis masa menyusui jika tidak ada orang lain yang menyusui bayinya.

Tempat pelaksanaan
Tidak ada tempat khusus dalam melaksanakan eksekusi qishash. Namun jika pelaku bersembunyi di tanah haram, maka para ulama berselisih dalam hal ini.
Para Imam Madzhab Hanafi dan Hambali menyatakan bahwa pelaku tidak perlu dikeluarkan dari tanah haram, namun juga tidak melaksanakan eksekusi di dalamnya. Jalan keluarnya yaitu dengan membiarkan mereka, tidak memberi mereka makan dan minum sehingga ia keluar darinya baru kemudian melakukan eksekusi qishash.
Sedangkan para imam madzhab maliki dan syafi’I serta Abu yusuf dari kalangan hanafi menyatakan bahwa ia harus dikeluarkan dari tanah haram untuk kemudian diqishash.
Izin penguasa dalam eksekusi qishash
Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa tidak boleh melaksanakan qishash tanpa adanya izin dari penguasa. karena pentingnya masalah eksekusi qishash ini. Dan karena pelaksanaan qishash juga membutuhkan ijtihad tersendiri, mengingat perbedaan manusia mengenai syarat-syarat wajib qishash dan eksekusi pelaksanaannya.
Musafir (pakar tafsir) kenamaan, al-Qurthubi mengatakan, “Tiada khilaf di kalangan ulama’ bahwa yang berwenang melaksanakan hukum qishash, khususnya balas bunuh, adalah pihak penguasa. Mereka inilah yang berwenang melaksanakan hukum qishash dan hukum had dan yang semisalnya, karena Allah  menuntut segenap kaum Mukminin untuk melaksanakan qishash, kemudian ternyata mereka semua tidak sanggup untuk berkumpul melaskanakan hukum qishash maka mereka mengangkat penguasa (hakim) sebagai wali dari mereka dalam melaksanakan hukum qishash dan lain-lainnya yang termasuk hukum had.” (Al-Jami’ Li-ahkamil Qur-an II: 245 – 246).
Sebab yang demikian itu disebutkan oleh Ash-Shawi dalam Hasyiyahnya atas Tafsir Al-Jalalain. Dia menulis sebagai berikut, "Manakala telah tetap bahwasanya pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja sebagai sebuah permusuhan, maka wajib atas hakim syar’i untuk memberi wewenang untuk wali si terbunuh terhadap si pembunuh. Lalu pihak hakim melaksanakan kebijakan yang dituntut oleh wali (keluarga) si terbunuh terhadap si pembunuh, yaitu balas bunuh, atau memaafkan, atau menuntut diat. Dan wali (keluarga) si terbunuh tidak boleh bertindak terhadap si pembunuh sebelum mendapat izin resmi dari hakim. Karena dalam hal ini terdapat kerusakan dan pengrusakan terhadap wewenang hakim. Oleh sebab itu, manakala pihak wali (keluarga) si terbunuh membunuh si pembunuh sebelum mendapat izin dari penguasa, maka pelakunya harus dijatuhi hukuman ta'zir (hukuman yang berdasar kebijakan hakim'." (Fiqhus Sunnah II: 453).
Sedangkan menurut kalangan madzhab syafi’I, kehadiran imam di tempat pelaksanaan hanyalah sunnah.
Sementara menurut kalangan ulama madzhab hambali, qishash tidak dilaksanakan kecuali di hadapan imam atau wakilnya. Jika ahli waris melaksanakan sendiri maka ia harus dihukum ta’zir walaupun tindakannya dibolehkan.

Tata cara pelaksanaan qishash
Dalam hal ini ada dua pendapat yang muncul di kalangan para ulama.
Pertama, pelaku pembunuhan harus dibunuh sesuai dengan alat yang digunakan untuk membunuh korban. Selama cara-cara tersebut tidak diharamkan oleh syar’i. misalnya, membunuh dengan meminumkan khamer terus-menerus, mensodomi, membakar hidup-hidup dan yang lainnya. Ini adalah pendapat Malik, syafi’I dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dan juga disetujui oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat ini berhujjah dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Firman Allah :
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
”dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.”(An-nahl :126)
2. Firman Allah :
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
“oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu.”(Al-Baqarah : 194)
3. Hadits Anas  bahwasannya ada seorang yahudi yang memukul kepala seorang budak wanita di antara dua batu, lalu ditanyakan kepadanya (si budak): “siapa yang melakukan ini kepadamu?” fulan atau fulan, sampai penanya menyebut nama seorang yahudi, dan perempuan itu langsung membenarkannya dengan mengangguk. Kemudian si yahudi didatangkan dan ia mengakui perbuatannya. Maka rasulullah  pun memerintahkan untuk mengqishashnya, kemudian dijepitlah kepalanya di antara dua batu. (HR. Bukhari 6879, Muslim 1672)
kedua, qishash tidak boleh dikerjakan kecuali dengan pedang atau alat lain semisalnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat yang lain. Mereka berargumen dengan dalil-dalil berikut.
1. Hadits: “Tidak ada hukuman balasan (qishash) kecuali dengan pedang.” (HR. Ibnu Majah 2667, dan diriwayatkan dari berbagai sanad namun semuanya dhaif.)
Namun hadits ini dhaif dan tidak bias dijadikan dalil.
2. Hadits : “jika kamu membunuh (qishash) maka gunakanlah cara yang baik dalam pembunuhannya, dan jika kamu menyembelih, maka gunakanlah cara yang baik dalam menyembelih.” (HR. Muslim 1955, Abu daud 2815, An-Nasa’i 22(7/7), At-Tirmidzi 1409, Ibnu Majah 3170)
Kebaikan cara pembunuhan justru ketika qishash tersebut dilakukan sesuai tuntutan syara’ dan nash telah menjelaskan hal itu. Jadi pendapat pertama lebih kuat dan mendekati kebenaran.

f. Bagaimana pelaksanaan qishash pada saat ini.
Pelaksanaan qishash dan juga hudud yang lain merupakan wewenang penguasa (pemerintahan islam tentunya). Walaupun dalam qishash pihak yang paling berhak menuntut ditegakkannya qishash adalah wali korban (ahli waris), namun penguasa mempunyai andil yang sangat besar dalam pelaksanaanya.
Jika pelaksanaan qishas dilakukan oleh perorangan tanpa pengawasan dari penguasa maka akan timbul kerusakan yang besar. Seperti timbulnya pertumpahan darah antara keluarga korban dan pelaku pembunuhan yang disebabkan dendam di antara keduanya. Tentu ini akan merusak tujuan yang mendasari diadakannya qishash itu sendiri yaitu kehidupan.
“Dan dalam qishos itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. Al-Baqoroh : 179)
Oleh karena itu pelaksanaan qishash tidak bisa diberlakukan selama belum adanya pemerintahan Islam yang sah. Melihat dari madharat yang akan muncul akan jauh lebih besar dari pada maslahat yang didapat.
Namun jika penduduk dalam sebuah wilayah di satu Negara mereka bersepakat menerapkan syariat Islam, pemberlakuan qishash misalnya, dan disetujui oleh Negara di mana mereka tinggal, maka qishash boleh dilaksanakan di wilayah tersebut. sebagaimana kaidah usul yang mengatakan:
ما لا يدرك كله لا يترك جله
“Sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan secara keseluruhan maka tidak ditinggalkan seluruhnya.”
Wallahu a’lam

Kesimpulan
1. Pembunuhan dengan sengaja termasuk dosa besar.
2. Qishash adalah hukuman yang dikenakan kepada orang yang membunuh dengan sengaja. Dan tidak bisa ditegakkan kecuali setelah terpenuhi syarat-syaratnya dan lenyapnya mawani’ serta terbebas dari hal-hal yang menggugurkan qishash.
3. Takafu’ atau kesetaraan itu hanya dalam masalah dien dan status kemerdekaan. Tidak termasuk di dalamnya jenis kelamin, kemampuan akal, usia, kemuliaan, keutamaan, kesempurnaan fisik dan kesehatan badan.
4. Harus adanya hakim atau qadhi dalam pelaksanaan qishash.
5. Cara yang paling sesuai dalam eksekusi qishash adalah sesuai dengan cara yang digunakan dalam pembunuhan korban selama itu tidak dilarang oleh syar’i. wallahu a’lam bish-shawab


V. Penutup
Semoga tulisan yang sedikit ini menjadi pemicu bagi kita untuk mendalami pembahasan tentang pembunuhan yang merupakan bukti kesempurnaan syariat islam. Kami memohon ampunan kepada Allah  atas kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam tulisan ini. Dan semoga Allah  senantiasa membimbing kita menuju jalan-Nya yang lurus. Wallahu mustaan


Maraji’ :
1. Al Qur’an Al Karim
2. Lisanul Arab, Al-Imam Al-Alamah Abi Fadhl Jamaluddin bin Muhammad bin Mukrim bin Mandhur Al Ifriqy Al Mishri, Darul Fikr, Beirut Libanon
3. Shahih Fiqih Sunnah Lengkap Berdasarkan Dalil-Dalil Dan Penjelasan Para Imam Termasyhur, Abu Malik Kamal Bin As Sayid Salim, Cetakan I Juli 2006, Pustaka Azzam, Jakarta.
4. Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu, Dr. Wahbah az zuhail, cetakan ke III, darul fikri, damsyiq.
5. Al majmu Syarhul-Muhaddab, Al Imam Abu Zakariya Muhyiddin Bin Syarf An Nawawi, Cetakan Ke I, Darul Fikri, Beirut-Lebanon.
6. Tafsir Al Qur’anul ‘Adhim, Al Imam Al Hafidh Abul Fidak Isma’il Bin Katsir Al Qurasiy Al Dimsyaqi, Cetakan Ke III, Al Maktabah Al ‘Ashriyah, Beirut.
7. At Tasyri’ Al Jana’i Al Islami, Abdul Qodir ‘Audah, Muassasah Ar Risalah, Beirut.


Read More..

“Ahlu Quran” Pesona Cinta Ilahi

>> Senin, 11 Agustus 2008

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam yang telah melimpahkan segala nikmat-Nya kepada semua hamba-Nya, yang menurunkan islam sebagai syariat yang lengkap dan sempurna hingga tak perlu lagi bagi umat-Nya untuk menambah ataupun mengurangi. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Sallallahu 'Alaihi Wasallam, sebagai pembawa bendera tauhid yang membebaskan manusia dari hinanya penyembah berhala .

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang sangat mulia. Akal yang sehat merupakan nikmat terbesar yang diberikan-Nya kepada manusia. Hal itu sebagai tanda dari kemuliaan manusia dibandingkan dengan makhluk yang lainnya.
Akal yang dijalankan oleh kemurnian naluri melalui hati yang senantiasa tunduk dan taat kepada Allah SWT, akan membuahkan rasa cinta yang sangat mendalam. Sehingga ikatan ubudiyah seorang hamba dengan Rabb-Nya akan semakin bertambah.
Cinta yang sejati ialah cinta kepada Allah swt. Yaitu cinta yang hanya ditujukan kepada-Nya sebagai Rabb pencipta dan pemberi nikmat kepada semua makhluk-Nya. Sehingga cinta dalam hal ini menafikan kesyirikan secara keseluruhan, baik secara lahir maupun bathin. Allah SWT telah berfirman :

و من الناس من يتخذ من دون الله أندادا يحبونهم كحب الله, والذين أمنو أشد حبا لله ولو يرى الذين ظلموا إذ يرون العذاب أن القوة لله جميعا و أن الله شديد العذاب " Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah ; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal)".[Qs. Al-Baqarah : 165]
Disisi lain Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam telah memberikan peringatan kepada umat-umatnya bahwa, akan datangnya suatu zaman dimana ilmu akan dicabut oleh Allah SWT secara perlahan-lahan. Sehingga fitnah akhir zaman akan bermunculan secara bertubi-tubi. Betapa tidak, Al-Quran yang merupakan Kalamullah yang mengandung mu’jizat bagi Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam telah dilalaikan oleh kebanyakan manusia. Ia hanya dijadikan sebagai hiasan rumah bahkan sebagai pelengkap perpustakaan pribadi belaka, tanpa adanya upaya untuk membaca, mentadabburi dan menghafalkannya.
Perihal penting yang perlu kita ketahui dalam hal ini ialah bahwa orang yang hidup disaat bergejolaknya fitnah akhir zaman ini, maka menjadi tuntutannya sebagai seorang muslim untuk selalu menjaga dan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah SWT dalam berbagai kondisi. Lantas bukti apa yang dapat kita wujudkan untuk selalu menumbuhkan keistiqomahan kita dalam mencintai-Nya ? dan kenapa Al-Quran yang merupakan kitab suci bagi umat islam yang mengandung mu’jizat bagi Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam serta merupakan Kalamullah yang sangat agung, begitu mudahnya dilalaikan oleh kebanyakan umat Islam saat ini ?.
Sehingga dianggap pentingnya permasalahan tersebut, maka dalam pembahasan kali ini penulis mencoba untuk mengkaji dan mencermati permasalahan tersebut . Terakhir semoga apa yang penyusun usahakan dapat menambah khazanah wawasan keilmuan kita. Sehingga kita senantiasa untuk beristiqamah dijalan-Nya. Wallahua’lam.





II. Pembahasan.
A. Pengertian.
• Definisi cinta
- Menurut Bahasa :
Kata cinta dalam bahasa arab tersusun dari kata-kata حب- يحب- حبا- محبة semakna dengan الود atau رغب في yang berarti mengasihi atau menyayangi
- Menurut Istilah :
Cinta ialah tabiat hati yang selalu condong atas sesuatu yang menyenangkan, yang didasari nafsu atau kesadaran diri.
Syaikh Jamaluddin Al-Qasimy berkata : “Sesungguhnya cinta kepada Allah adalah tujuan utama dalam memunculkan rasa kerinduan untuk melihatnya dan ridha atas segala keputusannya. Maka seseorang yang telah berdiri kecintaannya tidak ada yang lain baginya kecuali buah dari apa yang telah ia cintai. Ia akan mengikutinya dari apa yang membuatnya menjadi cinta kepadanya”
Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :

المراء مع من أحب
“Seseorang itu bersama dengan siapa yang ia cinta“ [Hr. Bukhari dan Muslim dalam Al-Akhlak Al-Islamiyah wa Asasuha]

• Definisi Al-Quran
Al-Qur’an ialah Kalam Allah yang mengandung mu’jizat, diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul-Nya melalui malaikat Jibril AS, termaktub didalam lembaran-lembaran yang terjaga dalam hati (orang-orang mukmin), sampai kepada kita secara mutawatir, berpahala jika dibaca dan dimulai dengan surat Al-Fatihah serta diakhiri dengan surat An-Naas.
Al-Quran sebagai sumber agama islam merupakan kitab yang harus diimani oleh kaum muslim sebagai Firman Allah SWT. Wujud mengimaninya ialah dengan membenarkan setiap kandungannya (ayat-ayatnya) dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sahl bin Abdillah berkata: “ Bukti cinta kepada Allah adalah mencintai alquran. Bukti mencintai alquran ialah mencintai rasul . Dan bukti cinta kepada rasul ialah dengan cinta pada sunnahnya .Sedangkan bukti cinta pada sunnah ialah bukti ia mencintai akhirat”.


B. Dalil disyariatkannya untuk cinta kepada Allah dengan mencintai Al-Quran.
- Al-Quran
“Katakanlah : “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”, Allah maha pengampun lagi maha penyayang.(Qs. Ali-Imran : 31)
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah”.(Qs. Al-Baqarah : 165)
“Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-quran dan sesungguhnya kami benar-bnar menjaganya” ( Qs. Al-Hijr: 9)
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tentram” (Qs Ar-Ra’ad: 28)
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya” ( Qs. Al-Ahzab : 41)


- As-Sunnah
Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :
“Aku didatangi rabb-Ku dalam mimpi, lalu dia berfirman kepadaku“wahai Muhammad ! Katakanlah : “Wahai Allah aku meminta kepada-Mu, kecintaan kepada orang-orang yang mencintaimu, serta aku meminta amalan yang bisa mengantarkan aku kepada cinta-Mu” .(Hr. Tirmidzi dan dishahihkan al-Albani )
“Sebaik-baik diantara kalian ialah yang mempelajari alquran dan mengajarkannya”(Hr. Bukhari)
“Barang siapa mencintai karena Allah, benci karena Allah, memberi karena Allah, melarang karena Allah, maka subgguh imannya telah sempurna”(Hr. Tirmidzi)
“Bacalah alquran ,maka sesungguhnya ia pada hari kiamat ia akan menjadi penolong bagi pembacanya”( Hr. Muslim)
“Perumpamaan seorang mukmin yang membaca alquran seperti buiah jeruk, rasanya manis dan harum. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca al-quran seprti kurma, rasanya manis tapi tidak memiliki aroma. Perumpamaan seorang yang berbuat maksiat,tetapi membaca alquran, seperti kemangi yang harum aromanya tapi pahit rasanya. Dan perumpamaan orang yang berbuat maksiat dan tidak membaca alquran, seperti labu yang tidaj memilikiaroma dan pahit rasanya”.(Hr. Bukhari dari Abu Musa Al-‘Asyari)
“Berilah kabar gembira, sebab sesungguhnya al-quran in iujungnya berada ditangan Allah dan ujung yang satunya berada ditanganmu. Berpegang tegunglah kalian dengannya. Dengan demikian kalian tidak akan binasa dan tidak akan tersesat selama-lamanya”(Hr. Tabrani)

- Perkataan Salaf
“Jika kalian menginginkan ilmu, maka bertebaranlah (pelajarilah) Al-Qur’an karena sesungguhnya didalamnya tercakup ilmu dunia dan akhirat” (Ibnu Mas’ud)
“ Barangsiapa yang membaca alquran maka ia telah mencapai derajat kenabian disisi keduanya, akan tetapi wahyu tidak diturunkan kepadanya” (‘Amr bin ‘Ash)
“Dan dari tanda-tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah yang paling tinggi ialah dengan mentadabburi Al-Quran” (Jamaluddin Al-Qasimy)


C. Rahasia Cinta.
Cinta adalah cahaya, ia menerangi seperti matahari. Ia membuat gelap menjadi benderang cemas dan gelisah menghilang. Ia memberi alamat setiap tujuan, kemudian menunjukinya. Semua yang dilakukan karena cinta menemukan pembenarannya. Sedang tanpa cinta kehidupan adalah gelap gulita seluas samudra.
Cinta adalah kehidupan, ia menyehatkan dan memberi tenaga. Ia adalah pondasi setiap aktivitas dan gerakan manusia. Ia adalah santapan jiwa dan hidangan bagi hati yang menjadi energi yang luar biasa bagi setiap bentuk perjuangan. Karena cinta adalah ruh kehidupan, maka tanpanya hdup adalah kematian.
Ia adalah obat penawar, Ia mengobati hati yang luka karena beratnya penghambaan. Merubah setiap kesakitan menjadi keindahan, setiap duka menjadi warna. Karena cinta pengorbanan adalah suatu keniscayaan. Kehilangan cinta adalah kesiapan menjalani perihnya hidup dalam penderitaan tanpa penyembuhan.
Tapi cinta juga adalah kelezatan. Ia merasuk kedalm kalbu, memberi sensasi nikmat yang mengagumkan. Memesona jiwa dengan rasa yang tidak pernah terduga. Karena itu hanya yang pernah jatuh cintalah yang dapat merasakannya.
Hanya mencintai Allah, yaitu cinta karenanya dan benci karena-Nya, cinta tersebut menjadi sebuah cinta yang terpuji. Karena ia merupakan tanda kesempurnaan iman. Namun kejujuran dalam mencintai Allah nenuntut peng-esaan-Nya. Ia menghajatkan kesiapan ruhiyah dan kekuatan bashirah yang tinggi. Maka hamba yang berilmu, yang kalbunya hidup dan yang peduli akan nasibnya diakhiratlah yang bisa mencintai Allah.



Perlunya ilmu untuk mencintai-Nya.
Ada sebagian kaum yang menyatakan demikian sangat cintanya kepada Allah. Namun disisi lain mereka tidak menetapkan wasilah syar’iyyah demi membuktikan cintanya tersebut. Mereka-reka keyakinan berdasarkan angan-anganya, membuat jalan sendiri menuju yang dicintai, menempuh dengan amal yang sama sekali tidak disyariatkan Allah . Merekalah kebanyakan dari ahlu bid’ah yang menyemai cinta dengan mengingkari kebenaran. Bermaksud merengkuh kebahagiaan dengan mendustakan Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam .
Memang tidaklah Allah memerintahkan suatu perkara, melainkan setan melakukan dua tarikan kepadanya kearah tafrith atau isyraf. Syetan tidak peduli mana yang akan berhasil, apakah yang menambah-nambahi ataukah yang mengurangi (karena kedua-duanya sama-sama keluar dari sunnah). Dan orang-orang bodohlah yang kebanyakan jatuh dalam tarikan tersebut. Adakalanya mereka memberat-beratkan dalam urusan agama (tasyaddud), adakalanya meringan-ringankanya (tasyahul). Yang pertama keluart dari sunnah dan terjerumus dalam bid’ah karena melampaui batas, dan berlebih-lebihan. Yang kedua keluar dari sunnah dan terjerumus dalam bid’ah karena meremehkan. Diantara mereka ialah golongan syiah rafidhah, thariqat shufi dan sejenisnya.
Demikianlah cinta yang terbimbing dengan ilmu. Menganggap baik terhadap yang buruk dan memandang bermanfaat terhadap yang merusak. Betapa banyak orang jahil bersandar kepada Allah lalu mereka menyia-nyiakan perintah dan larangan-Nya, serta lupa bahwa Allah maha keras siksa-Nya dan bahwa balasan Allah terhdap orang-orang jahat tidak bisa dihalangi.
Ibnul Qayyim Al Jauhiyah dalam Al-Jawabul Kafi menyebutkan bahwa cinta kepada Allah saja tidak bisa memasukkannya kesyurga kecuali dengan mencintai apa yang dicintai allah . Seseorang tidak akan pernah ada yang sampai pada Allah keculi dengan mengikuti apa yang dibawa oleh Muhammad SAW, baik berupa perintahnya maupun larangannya. Allah berfirman, “Katakanlah : “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”, Allah maha pengampun lagi maha penyayang“.(Qs. Ali-Imran : 31).

Cinta Al-Quran, Bukti Pertama Cinta kepada Allah.
Cinta yang terpuji merupakan cinta yang bisa memberikan manfaat pada dirinya di dunia dan diakhirat. Dan kecintaan inilah yang menempatkan pada kebahagiaan. Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Barang siapa cinta karena Allah , benci karena Allah memberi karena Allah , dan melarang karena Allah, maka sungguh imannya telah sempurna” (Hr. Tirmidzi). Kesempuranaan iman seseorang menyebabkan dirinya untuk selalu mencintainya dan senantiasa mengingatnya. Ibnu Qudamah berkata,“ Maka diantara tanda cinta kepada Allah ialah dengan senantiasa menyebut nama-Nya, mencintai al-quran yang mana ia merupakan kalam-Nya dan dengan mencintai Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam” .
Dan hal inilah yang menjadikan hasrat para salaf terhadap Al-Quran begitu tingginya dalam mengamalkan kitabullah. Tidak ketinggalan pula, akhir-akhir ini muncul berita yang sangat mengejutkan. Ewadh Ali Mubarak, seorang warga lanjut usia Arab Saudi , meski umurnya telah 130 tahun namun penglihatannya masih tetap tajam. Bahkan setiap bulan ia mampu menkhatamkan al-quran empat kali sebulan. Lansia asal daerah Sirat Obaida itu kepada surat kabar Al-Watan, dari arab Saudi, Selasa (7/6/05) lalu berkata, “Justru kebiasaan menghabiskan waktu luang dengan membaca Al-Quran ini yang mungkin membuat penglihatan saya tajam”( Ar-Risalah, Hal. 42,No.49/juli 2005).
Sungguh ini suatu rahmat Allah yang hanya diberikan kepada hamba-hambanya yang mencintainya dengan penuh kecintaan . Hal ini mengingatkan penulis akan perkataan Sahl bin Abdillah : “Bukti cinta kepada Allah ialah cinta kepada Al-Quran, dan bukti cinta kepadanya ialah dengan cinta pada Rasulullah. Dan bukti cinta kepada Rasulullah ialah dengan cinta pada sunnahnya .Sedangkan bukti cinta pada sunnah ialah bukti ia mencintai akhirat”.
Maka seseorang yang mencintai Allah akan nampak bahwa ia selalu bersanding dengan Al-Qurn. Dan perlu dipertanyakan bagi mereka yang mengaku telah mencintai Allah tetapi tidak nampak baginya tanda-tanda kecintaanya pada Al-Quran.

D. Problematika cinta Al-Quran.
Hati adalah alat untuk memahami dan berfikir.
Pembahasan dalam masalah ini secara ringkas ada dua sisi,:
Pertama, hati adalah alat untuk memahami dan berfikir.
Kedua, hati berada ditangan Allah yang maha tunggal, tiada sekutu bagi-Nya.
Sisi pertama telah ditunjukkan oleh banyak nash. Ayat-ayat Al-Quran yang berkenaan dengan ini lebih dari seratus ayat. Diantara ayat-ayat tersebut yang menunjukkan secara tegas dalam masalah ini antara lain :
“Sesungguhnya kami telah meletakkan tutupan diatas hati mereka,(sehingga mereka tidak) memahaminya”(Qs.Al-Kahfi : 57)
“Maka apakah mereka tidak berjalan dimuka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahamiatau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena sesungguhnya buknlah mata itu yng buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada dalam dada” ( Qs. Al-Hajj:46)
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya”(Qs. Al-Ahzab:4)
Dari ayat-ayat diatas, dapat diketahui bersama bahwasanya hati adalah alat untuk memahami, berfikir dan mengetahui. Dan dintara gunanya ialah untuk memahami dan tadabbur Al-Quran.
Sisi kedua, bahwa hati berada ditangan Allah yang maha tunggal, tiada sekutu bagi-Nya. Sehingga ketika anda berusaha untuk memahami Al-Quran, maka ingatlah selalu bahwa hati berada ditangan Allah ta’ala. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah memberi batas antara manusia dan hatinya. Ibrah bukan terletak pada cara, namun terletak pada terbukanya hati yang telah dibuka olah Allah ta’ala yang maha tunggal. Apa yang anda peroleh dari tadabbur (pemahaman makna dari ayat Al-Quran), maka ia merupakan nikmatyang agung dari Allah yang pantas anda syukuri.

Korelasi antara cinta Al-Quran dan tadabbur.
Hati apabila mencintai sesuatu maka ia akan rindu mengharapkannya dan berpaling dari selainnya. Apabila hati mencintai Al-Quran, maka ia akan menikmati bacaannya dan akan bergabng antara pemahaman dan kesadaran sehingga menghasilkan tadabbur yang sangat kuat dan pemahaman yang sangat mendalam.
Sebaliknya apabila hati tidak ada kecintaan kepada-Nya, maka ketertarikan hati kepada-Nya sangat sulit dan ketundukkan kepada-nya sangat berat. Walhasil, bahwa mendapatkan cinta al-quran merupakan sebab yang paling bermanfaat untuk mendapatkan tingkat tadabbur yang palilng kuat dan paling tinggi.
Realita membuktikan, kita dapati seorang murid yang memiliki semangat, kecintaan, dan keinginan untuk belajar, maka ia akan mampu menguasai apa yang disampaikan kepadanya dengan kecepatan dan kekuatan yang luar biasa. Adapun yang lain maka ia hampir tidak mampu menguasai apa yang diterangkan kepadanya, kecuali dengan cara yang diulang-ulang.

Tanda-tanda kecintaan hati pada Al-Quran.
Kecintaan hati pada Al-Quran memiliki tanda-tanda sebagai berikut :
1. Senang ketika bertemu dengannya.
2. Duduk bersamanya dalam waktu yan cukup lama tanpa rasa jenuh.
3. Rindu kepadanya ketika lama tidak bertemu dan terhalang beberapa rintangan yang menghadangnya. Dan ia sangat berharap untuk bertemu daengannya dan menelaahnya sambil berusaha menghilangkan rintangan-rintangan yang menghalanginya tersebut.
4. Sering berdialog dengannya, percaya dengan arahan-arahannya, dan selalu merujuk kepadanya berkaitan dengan masalah-masalah kehidupannya baik yang kecil maupun yang besar.
5. Taat kepadanya baik dalam hal perintah maupun larangan.
Ini merupakan tanda-tanda kecintaan terhadap Al-Quran yang paling penting. Dan hendaklah setiap muslim selalu bertanya kepada dirinya sendiri dengan petanyaan, Apakah saya mencintai Al-Quran ?. Sebelum anda menjawab pertanyan ini maka kembalilah kepada tanda-tanda yang disebutkan diatas sekedar untuk mengukur benar atau salahnya jawaban anda. Pertanyaan ini sangat pentig sekali bagi seorang muslim sejati sebagai bahan muhasabah kita dalam menjalankan amanah dari Allah yaitu sebagai khalifah dimuka bumi ini.
Bagaimana seorang muslim mencintai Al-Quran sedangkan ia tidak kuat duduk bersamanya untuk ( membaca) beberapa menit saja. Namun dikesempatan lain ia kuat duduk berjam-jam bersama apa yang ia senangi dan ia cintai berupa kenikmatan dunia ?.
Abu Ubaidah berkata : “Janganlah seorang hamba bertanya kepada dirinya kecuali tentang Al-Quran. Maka apabila ia mencintainya berarti ia mencintai Allah dan rasul-Nya”. Hendaklah kita mengakui kekurangan kita apabila tidak terdapat dalam diri kita tanda-tanda kecintaan pada Al-Quran, dan selalu untuk berusaha mencapai dari tanda-tanda diatas.

Wasilah- wasilah agar hati mencintai Al-Quran.
Pertama : Tawakal kepada Allah dan meminta perlindungan atau pertolongan-Nya.
Tawakal merupakan syariat Allah yang sangat agung nilainya, sedangkan perintah meminta pertolongan kepadanya merupakan prinsip dasar yang wajib dimiliki oleh seorang hamba atas Rabbnya.
Dan diantara bentuk meminta pertolongan kepada Allah untuk mendapatkan tadabbur Al-Quran ialah dengan menyatakan do’a sebagaimana yang telah disyariatkan kepada orang yang hendak membaca Al-Quran. Yaitu berupa istiadzah (meminta pertolongan kepada Allah dari godaan syaithon yang terkutuk) dan basmalah disetiap awal surat dan pada surat yang hendak dibaca secara khusus.
Kedua : Melakukan sebab-musabab.
Dalam hal ini sebab yang paling baik dan paling bermanfaat ialah ilmu. Adapun perantaraannya ialah dengan membaca keagungan, keistimewaan, maupun keutamaan bagi orang membaca, mentadabburi dan yang menghafalkan Al-Quran. Seperti yang sudah tertera dalam nash Al-Quran maupun dari sunnah dan ditambah dengan ucapan para salafus-shalih.
Banyak kaum muslimin yang mengagungkan Al-Quran hanya sebatas pengagungan secara global. Pengetahuan mereka sebatas pada bahwasanya Al-Quran ialah kitab yang diturunkan dari sisi Allah, merupakan ibadah ketika membacanya. Adapun rincian ilmu tentang kengungan dan kedudukan serta apa saja yang dapat menyukseskan manusia pada hidup ini, maka hal itu tidak diketahui oleh mayoritas kaum muslimin.
Dalam hal ini saya beri contoh, disaat seseorang membaca sebuah bacaan ; novel atau komik setebal 600 halaman yang menceritakan tentang kisah cinta , pertempuran atau yang lainnya, maka ia akan selalu bersanding dengan bacaan tersebut dalam jangka waktu yang sangat lama atau mungkin sebaliknya hanya memerlukan waktu yang sangat singkat, akan tetapi banyak mengorbankan waktu yang semestinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih penting dari pada itu. Dan sudah barang tentu apa yang ia baca itu akan menimbulkan rasa simpati atau kekaguman, dan tentunya ia akan selalu terbayang-bayang dengannya. Maka kecintaan dan pengagungan terhadapnya secara tidak sadar telah masuk didalam hatinya. Sehingga cinta kepada Allah yang seharusnya ia dahulukan telah hilang begitu saja.
Hal yang demikian ini merupakan perkara yang lumrah yang tidak mungkin diingkari oleh seorangpun. Lalu mengapa kita sebagai seorang muslim, yang bernaung dibawah Diinul Islam, yang didalamnya mewajibkan atas seluruh umat untuk mencintai Al-Quran, akan tetapi dengan mudah melalaikannya ?. Jika kita lakukan hal ini, maka keberadaan Al-Quran ini akan menambah kecintaan dan pengagungan kita kepada Allah. Dan dengan ini pula kita akan mencapai derajat dan kedudukan para wali Allah yang bertaqwa yang tidak memiliki rasa gentar sedikitpun dan tidak pula bersedih.

E. Bahaya meninggalkan Al-Quran.
Allah berfirman : “Berkatalah rasul, ya Rabbku sesungguhnya kaumku menjadikan al-quran ini sesuatu yang tidak diacuhkan (ditinggalkan)”.(Qs. Al-Furqan : 30)
Al-Quran membersihkan jiwa manusia. Keberadaannya sebagai penyejuk hati bagi orang-orang yang bertaqwa. Namun begitu angkuhnya manusia, mereka tidak segan-segan untuk mengadopsi cara, gaya, dan perilaku yang hakikatnya bertentangan dengan Al-Quran. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Al-Fawaid menyebutkan bahwa ada lima kategori meninggalkan Al-Quran :
1. Tidak mau mendengar dan mengimaninya.
2. Tidak mengamalkannya dan tidak mematuhi apa yang dihalalkan dan diharamkan, padahal ia membaca dan mengimaninya.
3. Menolak menjadikannya sebagai hukum dan undang-undang serta pemutus segala perkara dan beranggapan bahwa Al-Quran tidak melahirkan ilmu.
4. Enggan untuk mentadabburi dan memahaminya dan enggan untuk mrngenali maksudnya.
5. Tidak mau menjadikannya sebagai obat penawar bagi aneka ragam penyakit hati sehingga mengambil obat yang lainnya.
Semua jenis peninggalan terhadap Al-Quran ini terangkum dalam ayat tersebut diatas. Begitu banyak orang yang meninggalkan Al-Quran, padahal Al-Quran mencipatakan agar antara satu dengan yang lainnya saling mengenal, memberikan maaf, bekerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan, bukan dalam kejahatan dan permusuhan. Al-Quran yang begitu sempurna, tiada cacat dan cela, seharusnya menjadi pedoman hidup manusia.

Agar Al-Quran menyentuh hati dan bermanfaat dalam kehidupan ini.
Setelah kita mengetahui wasilah-wasilah untuk mencintai Al-Quran. Lantas bagaimanakah agar ia bermanfaat didalam kehidupan ini ?. Dalam hal ini paling tidak ada tiga pembahasan yang saling berhubungan.
Pertama, tentulah niat yang ikhlas, sebab banyak manusia yang membaca Al-Quran untuk menharapkan pujiandan penghargaan manusia atau demi kepentingan dunia. Imam Qatadah berkata : “Tidaklah seseorang bermajlis bersama Al-Quran, kecuali Al-Quran itu akan menambah atau mengurangi imannya”. Berarti, tidak semua orang yang membacanya akan bertambah imannya, bahkan bisa menguranginya.
Kemudian menghadirkan hati saat membacanya, seperti perkataan Ibnul Qayyim : “Apabila engkau ingin mengambil manfaat dari Al-Quran, maka kumpulkanlah hatimu saat membaca dan mendengarkannya! Bukalah pendengaranmu dan rasakanlah kehadiran zat yang berfirman dan berbicara dengannya”. Konsentrasinya jiwa saat membacanya akan membuatnya lebih fokus, sehingga tiada lagi penghalang antara hatinya dengan Al-Quran. Ini termasuk syarat penting, sebab sakitnya hati akan melalaikannya dari memahami makna ayat-ayat-Nya.
Selanjutnya mentadabburinya, yaitu membaca Al-Quran dengan merenungi dan memahami ayat-ayatnya. Berkata Imam Al-Ajuri : “Barang siapa mentadabburi al-quran, niscaya ia akan mengenal Rabbnya, mengetahui keagungan dan keluasan kerajaan-Nya, mengetahui keagungan karunia-Nya atas kaum mukminmin, serta mengetahui kewajibannya untuk beribadah kepada-Nya”.
Pengaruh Al-Quran terhadap para salaf.
Saat kita mendengarkan radio atau kaset imam masjid, kita akan merasa kagum dengannya . Sehingga kita akan suka menyimaknya dan bahkan berusaha untuk menirunya. Akan tetapi itu tidak pengaruh yang sejati. Pengaruh yang demikian hanya bertahan sebentar saja, setelah bacaan itu selesai, kita akan kembali bersenang –senang, bercanda, dan membuang-buang waktu, seolah-olah kita tidak pernah mendengar kalam Allah sedikitpun .
Suatu saat Ibnu Wahhab masuk ke pemandian . Tiba-tiba ia mendengar orang membaca Al-Quran:
و إذ يتحاجّون فى النار.......
“…..saat mereka berbantah-bantahan dalam neraka…”(Qs. Al-Mukmin: 47)
Maka seketika itu juga ia langsung jatuh pingsan.
Dawud Ath-Tho’i justru jatuh sakit setelah membaca ayat yang berbicara tentang neraka. Beliau mengulang-ulangi ayat tersebut semalam, dan dipagi harinya orang-orang mendapatkan beliau telah menimggal.
Ali bin Fudhail bin Iyyad meninggal dunia karena mendengar satu ayat yang dibacakan oleh salah seorang sahabatnya. Sholih Al-Mirri menyatakan, “ aku pernah melihat sorang wanita ( budak) suka bernyanyi dan menabuh rebana. Suatu saat ia lewat dihadapan seorang laki-laki yang sedang membaca ayat:

.......و إنّ جهنّم لمحيطة بالكا فرين
“Dan sesungguhnya jahannam itu benar-benar meliputi orng-orng yang kafir” (Qs. At-Taubah: 49). Wanita itu langsung melemparkan rebana ditangannya sambil berteriak, lalu tersungkur diatas tanah dalam keadaan pingsan. Saat ia sadar, ia menghancurkan rebana dan mulai giat beribadah. Kemudian suatu suatu ia berkata, “ berapa banyak aibku yang akan tersingkap dihari kiamat nanti ?” ia pun kembali berteriak dan menangis.
Jika para ulama’ demikian takutnya pada Allah dan demikian terpengaruh oleh bacaan Al-Quran sampai tingkat sebagaimana kisah diatas, lalu bagaimanakah amal perbuatan mereka terhadap kitabullah?, Bagaimana keterikatan merka terhadap kitabulah?.
Ada seseorang bertanya kepada saudara Imam Malik, “Apa kesibukan Imam Malik di rumahnya ?”. Ia menjawab, “mushaf al-quran sebab pekerjaan beliau hanya membacanya.” .
Abu Yahya An-Naqid seumur hidupnya telah menkhatamkan Al-Quran sebanyak empat ribu kali.
Tamim Ad-Dari biasa menkhatamkan al-quran setiap tujuh malam.
Keistimewaan terbesar dari mereka yang memiliki cita-cita tinggi adalah hasrat yang kuat untuk memahami, merenungi, dan mencerna makna dari mencari keridhaan Allah SWT . Sedangkan kita seberapa besar hasrat kita terhadap kitabulah?
Hendaknya kita bertanya kepada diri sendiri sekali lagi tentang faktor ini, kenapa kita tidak terpengaruh oeh bacaan Al-Quran?. Terkadang yang menjadi penyebabnya ialah jauhnya kita dari kebiasaan mengingatnya, dan sibuk dengan perkara yang tidak berguna. Sampai-sampai ada seseorang yang terpengaruh oleh lagu namun tidak terpengaruh oleh Al-Quran. Semua itu tentu saja kembali kepada dosa-dosa yang telah membuat telinga kita, menyumbat lubang hidung kita, membutakan mata hati kita sehingga hati tidak lagi terpengaruh sedikitpun oleh bacaan Al-Quran.

III. Kesimpulan dan Penutup.
Alhamdulillah dengan segala usaha, akhirnya terselesaikan juga pembahasan ini. Sehingga dapat diambil kesimpulan antara lain :
1. Bukti cinta kepada Allah yang paling nyata ialah dengan mencintai kitabullah. Dengan membacanya, mentadabburi, mengamalkan dan menghafalkannya.
2. Cinta yang terbimbing oleh ilmu, maka akan membawa kepada pelakunya kepada jalan yang diridhai-Nya yang jauh dari menyekutukan-Nya.
3. Hati adalah alat untuk berfikir dan memahami perihal kehidupan ini. Jika ia mampu mnghidupkannya maka ia akan selalu mengingat-Nya dan mencintai-Nya setiap saat.
4. Hati yang hidup, maka ia akan selalu berusaha untuk mentadabburi ayat-ayat-Nya.
5. Kecintaan kepada Al-Quran terlihat dari tanda-tanda yang mana ia selalu bersanding dengannya walaupun dengan watu yang sangat lama.
6. Niat ikhlas menjadikan seseorang semangat dalam mentadabburinya.
7. Ancaman keras bagi mereka yang mendahulukan pekerjaan-pekerjaan lainnya dari memenuhi hak-hak Al-Quran.
Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam. Sholawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad shalallahu’alaihi wasallam. Dengan mengharap keridhoan dari-Nya, kami selaku penulis makalah sederhana ini berharap semoga dengan adanya tulisan ringkas ini bisa menambah wawasan pembaca sekalian dan membuka cakrawala berfikir kita untuk menggapai kehidupan yang bahagia. walaupun tidak menutup kemungkinan pastilah didapati banyak sekali kesalahan dan kekhilafan., maka selayaknya sebagai seorang yang mukmin juga akan memberitahukan kekurangan yang ada pada diri saudaranya, hal itu ia lakukan agar kekurangan saudaranya tadi dapat tertutupi dan menjadi lebih sempurna. Wallahu a’lam bisshowab.

IV. Maraji’

1. Al-Quranul karim dan terjemahnya.
2. Al-Munjid fi Al-Lughah, Luwais Ma’luf, Dar Al-Masyriq, Beirut, Cet.Ke-21, 1973.
3. Al-Quran Fa An-Nadhru Al-‘Aqly, Fatimah Ismail Muhammad Ismail, Al-ma’had al-
alamy lil fikri al- islamy, Herndon-USA, Cet.Ke-1, 1993.
4. Majmuah Rasailut Taujihat Al-Islamiyah li Islahil Fardi Wal Mujtama’, Muhammad
bin Jamil Zainu, Dar As-Sumai’iy, Riyadh.
5. Al-akhlaq Al-Islamiyah Wa Asasuha, Abdurrahman Hasan Jabnakah Al-maidany, Dar
Al-Qalam Damsyq, Cet.Ke-4, 1996.
6. Tahdzib Mau’idhatul Muhsinin, Jamaluddin Al-Qasimy, Dar Ibnu Al-Qayyim, Ad-
Damam, Cet. Ke-3, 1990.
7. Muawwiqatu Tilawawti Wa Hifdhu Kitabullah, Hayya Ar-Rasid, Dar Al-Wathan lin
Nashr, 2001.
8. Al-jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Maktabah As-Sawady lit Tauzi’, Jeddah,
1994.
9. Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Dar Al-Fikr, Beirut,
1987.


Read More..

Arrahmah.Com - Technology

Arrahmah.Com - International

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP