QISHASH PEMBUNUHAN

>> Kamis, 14 Agustus 2008

I. Muqaddimah
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dan alam semesta. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad , kelurga dan shahabat beliau serta umatnya yang senantiasa mengikutinya dengan baik sampai hari kiamat kelak.

Salah satu keistimewaan dienul Islam adalah ajarannya yang mencakup semua aspek kehidupan. Islam tidak hanya mengatur hubungan seorang manusia dengan Rabbnya saja, namun Islam juga mengatur hubungan antara sesama manusia. Bahkan Islam juga mengatur hubungan antara manusia dengan mahluk lainnya.
Dalam hal ini Islam sangat menghormati dan menjaga hak asasi manusia. Lebih-lebih hak seseorang untuk hidup yang merupakan hak asasi yang paling asasi. Sebagai perwujudan penghormatan dan penjagaan dalam hal ini Islam mensyari’atkan adanya qishas. Sebagai mana firman Allah ,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bagi kalian di dalam qishash itu ada kehidupan wahai orang-orang yang mempunyai akal pikiran.” (Qs. Al-Baqoroh : 179)
Imam Abu Aliyah mengomentari ayat ini, “Betapa banyak orang yang mengurungkan niatnya melakukan pembunuhan karena takut dibunuh (diqishash).” (Tafsir ibnu katsir jilid I).
Itulah salah satu bukti bahwa islam adalah agama yang menyeluruh dan sesuai dengan fitrah manusia.
Mengingat pentingnya masalah ini, maka kami merasa perlunya pembahasan tentang qishash yang kami khususkan dalam pembunuhan. Pembahasan ini mencakup tentang pengertian dan jenis-jenis pembunuhan; pelaksanaan qishash itu sendiri, baik yang berkaitan dengan syarat, mawani’ (penghalang-penghalang), dan hal-hal yang menggugurkan qishash dan juga teknik pelaksaan qishash; serta bagaimana prakteknya pada saat ini.
Tentu, tulisan kami dalam pembahasan ini tidak bisa mewakili tulisan-tulisan yang terdapat dalam kitab-kitab rujukan (turats) yang ditulis oleh para ulama salaf. Dan kami menyadari betul banyaknya kekurangan dan kesalahan di sana-sini dalam tulisan ini, dikarenakan ilmu kami yang masih sangat sedikit. Namun demikian kami berharap tulisan ini membuka kesadaran kita untuk lebih giat dalam mempelajari dan mendalami ilmu dien yang sangat luas cakupannya.
Oleh karena itu kami meminta kerelaan para asatidzah dan ikhwan sekalian membantu kami dalam mengoreksi dan memperbaiki serta membenarkan kesalahan-kesalahan yang ada. Sebagai hamba Allah yang lemah dan bodoh, kami selalu beristighfar kepada Allah dan meminta pertolongannya agar memudahkan kami memahami semua syariat-Nya  .


Sukoharjo, 2 Jumadil ‘ula 1429 H
30 Mei 2008 M






II. Definisi
a. Qishash
Secara bahasa : qishos berasal dari kata qashasha yang berarti memotong atau mengikuti jejak dalam pengejaran. Oleh karena itu orang yang terkena hukum qishos dihukum sesuai dengan apa yang menimpa si korban.
Sedangkan menurut istilah syar’I : qishos adalah balasan setimpal yang dikenakan kepada orang yang melakukan tindak pidana (pembunuhan atau non pembunuhan).
Qishos dikenakan untuk setiap tindak pidana dengan sengaja. Baik terencana ataupun tidak.
b. Pembunuhan
pembunuhan adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
Islam melarang umatnya melakukan suatu pembunuhan tanpa alasan yang dibenarkan. Karena pembunuhan termasuk dosa besar yang pelakunya diancam oleh Allah  dengan neraka. Berikut ini dalil-dalil yang menunjukkan larangan membunuh tanpa alasan yang dibenarkan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا . وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
“...dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS An-Nisaa’: 29-30)
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS An-Nisaa’: 93)
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS Al-Maaidah: 32)
Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah  bersabda: “Hendaklah kalian menjauhi tujuh perkara yang membinasakan.” Ada yang bertanya, “Ya Rasulullah, apa saja itu?” Jawab Beliau , “(Pertama) menyekutukan Allah, (kedua) perbuatan sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah Allah haramkan (membunuhnya) kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan harta benda anak yatim, (kelima) makan riba, (keenam) berpaling pada waktu menyerang musuh (desersi), dan (ketujuh) menuduh (berzina) perempuan-perempuan mukmin yang tidak tahu menahu (tentang itu).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ’Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).
Dari Abdullah bin Umar bin Khatthab  bahwa Rasulullah  bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

“Bagi Allah lenyapnya dunia jauh lebih ringan daripada hilangnya nyawa seorang muslim.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5077, Tirmidzi II: 426 no: 1414 dan Nasa’i VII: 82).
Dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah , dari Rasulullah  Beliau bersabda, “Andaikata segenap penghuni langit dan penghuni bumi bersekongkol menumpahkan darah seorang mukmin, maka niscaya Allah akan menjebloskan mereka ke dalam api neraka.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5247 dan Tirmidzi II: 427 no: 1419).
Dari Abdullah bin Mas’ud  bahwa Nabi  bersabda, “Perkara yang pertama kali diputuskan di antara manusia (oleh Allah kelak) ialah kasus pembunuhan.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 187 no: 8664, Muslim III: 1304 no: 1418 dan Nasa’i VII: 83)
Dari Abdullah bin Mas’ud  bahwa Rasulullah  bersabda, “Ada seorang laki-laki datang dengan memegang tangan laki-laki lain, lalu berkata, ‘Wahai Rabbku, orang ini telah berusaha membunuhku.’ Kemudian Allah bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau berusaha membunuhnya?’ Maka orang yang telah berusaha membunuhnya itu menjawab, 'Aku membunuhnya supaya kemuliaan menjadi milik-Mu semata.' Kemudian Allah menjawab, 'Maka (kalau begitu), itu untuk-Ku semata.' Kemudian datang (lagi) seorang laki-laki (lain) sambil memegang tangan laki-laki juga, lalu ia berkata, '(Wahai Rabbku), orang ini telah membunuhku.' Lalu tanya Allah kepadanya, ‘Mengapa engkau membunuhnya?’ Jawabnya, ‘Supaya kemuliaan ini menjadi milik si fulan.’ Maka firman Allah, 'Sesungguhnya kemuliaan bukanlah milik si fulan.' Maka laki-laki yang berusaha itu pulang dengan membawa dosanya.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 3732 dan Nasa’i VII: 84).
Klasifikasi Pembunuhan
Menurut mayoritas ulama Pembunuhan terbagi tiga:
1. Pembunuhan dengan sengaja (qotlul ‘amdi), Yang dimaksud pembunuhan Sengaja ialah seorang mukallaf secara sengaja membunuh orang yang terlindungi darahnya (tak bersalah), dengan menggunakan senjata yang lazimnya bisa membunuh.
2. Pembunuhan semi sengaja, Adapun yang dimakasud syibhul ’amdi (pembunuhan yang mirip dengan sengaja) ialah pemukulan secara semena-mena dan tanpa alasan yang benar dengan menggunakan alat yang secara umum tidak mematikan, misalnya tongkat kecil dan cambuk, namun ternyata manyebabkan kematian korban padahal si pelaku tidak bermaksud membunuhnya, melainkan hanya memberi pelajaran dan sejenisnya.
3. Pembunuhan karena keliru (qotlul khoto’), Sedangkan yang dimaksud pembunuhan karena keliru ialah seorang mukallaf melakukan perbuatan yang mubah baginya, seperti memanah binatang buruan atau semisalnya, ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia.
Namun Mazhab Hanafi membagi pembunuhan menjadi 5 yaitu : qotlul ‘amdi (pembunuhan sengaja), syibhul ‘amdi (seperti sengaja), khotho’ (keliru atau tidak sengaja), ma ajro majri al-khotho’ (seperti pembunuhan keliru), dan tasabbub (tidak langsung namun menjadi penyebab). Sedangkan menurut Mazhab Maliki pembunuhan hanya ada dua; amdi dan khotho’.
c. Qishash pembunuhan
Qishash pembunuhan adalah balasan setimpal yang dikenakan kepada orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.

III. Dalil-Dalil Tentang Qishash
Al-qur’an :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan perempuan dengan perempuan.” (Qs. Al-Baqoroh : 178)
Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yahudi dari kalangan Bani Nadhir dan Bani Quraidhah. Apabila orang Nadhir membunuh orang Quraizhah, maka orang Nadhir tidak dibunuh karenanya, namun hanya diharuskan menebus dengan seratus wasaq kurma. Sedangkan bila orang Quraizhah membunuh orang Nadhir, maka orang Quraizhah harus diqishas dengan cara dibunuh. Jika orang Quraidhah mau menebusnya, maka mereka harus membayar sebanyak 200 wasak kurma, yang berarti dua kali lipat dari jumlah diyat untuk menebus orang Nadhir. Oleh karena itu Allah menyuruh berlaku adil dalam qishos dan tidak boleh mengubah hukum-hukum Allah dikarenakan kafir dan durhaka.(Tafsir Ibnu Katsir jilid I)
“Dan dalam qishos itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. Al-Baqoroh : 179)
Imam Abu ‘Aliyah mengomentari ayat ini : “Allah menjadikan di dalam qishos kehidupan betapa banyak orang yang ingin membunuh mengurungkan niatnya karena takut akan di bunuh (qishos).”
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishosnya.” (Qs. Al Maidah : 45)
As-sunnah
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu di antara tiga hal: orang yang pernah menikah berzina, qishos jiwa dengan jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya dan menyempal dari jama’ah.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7641).
“Barang siapa yang walinya dibunuh, maka ia bisa memilih antara dua opsi (bagi pembunuhnya) : dikenakan diyat atau dibunuh (qishos). (HR. bukhori muslim)
Dari Abu Hurairah  dari Nabi  , Beliau bersabda, “Barang siapa yang dibunuh dan ia mempunyai keluarga, maka (pihak keluarganya) memiliki dua alternatif: boleh menuntut diat, boleh menuntut qhisash.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari XII; 205 dan Muslim II: 988 no: 1355).
Diat wajib ini sebagai ganti dari qishash. Oleh sebab itu, pihak keluarga terbunuh boleh berdamai dengan si pembunuh dengan jalan menuntut selain diat, walaupun nilainya lebih besar daripada diat. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi  :
"Barangsiapa yang membunuh (orang tak bersalah) secara sengaja (dan terencana), maka urusannya kepada pihak keluarga si terbunuh. Jika mereka mau, menuntut hukum balas membunuh; dan jika mau, mereka menuntut diat, yaitu (membayar) tiga puluh hiqqah (onta betina berusia tiga tahun yang masuk tahun keempat) dan tiga puluh jadza’ah (onta yang masuk tahun kelima) serta empat puluh khalifah (onta yang sedang bunting) dan, apa saja yang mereka tuntut kepada si pembunuh sebagai imbalan perdamaian, maka ia (imbalan itu) untuk mereka, dan yang demikian itu untuk penekanan pada diat." (Hasan: Shahih Tirmidzi no: 1121 dan Tirmidzi II: 423 no: 1406 dan Ibnu Majah II: 887 no: 2626).

IV. Ahkamul Qishash
a. Syarat-syarat qishos
Untuk menjatuhkan hukuman qishos, diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Adanya Unsur Kesengajaan
yaitu kesengajaan pelaku untuk membunuh korban dengan menggunakan sesuatu yang bisa menghilangkan nyawa. Baik berupa benda tajam ataupun benda lain yang secara umum bisa digunakan untuk membunuh.
2. Pelaku Pembunuhan Telah Mukallaf (Akil Baligh)
Tidak ada perbedaan di kalangan ahli ilmu bahwa qishos tidak bisa dikenakan pada pembunuh yang masih anak-anak maupun gila. Begitu juga orang yang kehilangan akalnya karena suatu sebab yang dibenarkan. Dalil-dalil tentang hal ini sudah sering dijelaskan.
Sedangkan bagi orang yang mabuk, maka ia tetap dikenai qishash. Sebagaimana ia juga dikenai had karena meminum khamr. Seandainya tidak dikenai qishash maka akan muncul kerusakan yang luar biasa disebabkan oleh orang-orang yang mabuk. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.
3. Adanya Kehendak Sendiri Dan Tanpa Paksaan.
Syarat ini masih diperselisihkan. Abu Hanifah dan muridnya Muhammad, juga syafi’I dalam salah satu versi pendapatnya, menyatakan bahwa orang yang dipaksa untuk membunuh tidak berhak untuk diqishos, merujuk pada hadits:
“sesungguhnya Allah memaafkan perbuatan umatku (yang dilakukan) karena : kekeliruan atau tidak disengaja, lupa, dan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka (pemaksaan).” (HR. Ibnu Majah no. 2045)
Mereka mengatakan: Orang yang dipaksa sama halnya dengan alat di tangan orang yang memaksanya, dan ini bisa dikategorikan sebagai paksaan yang tidak bisa dihindari (Ikrah Almujli). Dengan demikian kondisinya sama seperti ketika si pemaksa melempar alat tersebut hingga mengenai korban dan membunuhnya.
Sementara di sisi lain, Imam Malik, Ahmad, Syafi’i dalam versi pendapat keduanya, dan Ja’far dari kalangan murid Abu Hanifah, menyatakan bahwa orang yang dipaksa membunuh tetap wajib dikenakan qishos. Alasan mereka, orang yang dipaksa membunuh korbannya dengan sengaja dan secara dzalim, sewenang-wenang, tanpa alasan yang benar demi keselamatan dirinya (dari ancaman orang yang memaksanya), sehingga statusnya serupa dengan ketika ia membunuhnya karena kelaparan agar ia dapat memakannya, atau orang yang memilih membunuh orang lain dari pada orang tersebut akan membunuhnya.
Terkait dengan pendapat kalangan pertama yang mengkategorikan pembunuhan sengaja di bawah paksaan orang sebagai “paksaan yang tidak bisa dihindari”, kelompok kedua menyatakan bahwa ini tidak bisa dibenarkan, karena ia masih mungkin untuk menentang atau menolak, dan ia juga memiliki pilihan antara membunuh dirinya sendiri (dibunuh orang yang memaksa) atau membunuh orang lain, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa ia tidak memiliki pilihan sama sekali.
Kesimpulan :
Pendapat terakhir ini lebih jelas dan lebih tepat. karena keterpaksaan bisa ditolelir jika berupa ucapan dan bukan pada tindakan. Pendapat ini juga dikuatkan oleh hadits Sa’d bin Abi Waqqash  terkait dengan fitnah (huru-hara yang menewaskan) Utsman bin Affan  , ia berkata: aku bersaksi bahwa Rasulullah  telah bersabda,
“Sesungguhnya akan terjadi fitnah (huru-hara) di mana orang yang duduk lebih baik dari pada yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada orang yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik dari pada yang berlari.” Utsman bertanya, “Menurut anda, bagaimana jika ada orang yang memasuki rumahku dan mengacungkan tangannya kepadaku untuk membunuhku?” beliau menjawab, “bersikaplah seperti anak adam (habil). [Hadits Shahih Riwayat At-Tirmidzi (2194), Abu Dawud (4257), Ahmad (1/185)]
Dalam hadits ini, Nabi  melarangnya utsman  balik merentangkan tangan pada orang yang ingin membunuhnya. Dengan demikian, mencegah membunuh orang lain—yang tidak mengusiknya—jika ia dipaksa untuk membunuh, tentu lebih dilarang.
Wasiat senada dipesankan Nabi  kepada abu dzar, agar ia mengasingkan diri apabila manusia telah saling bunuh dan hendaknya tidak ikut mengangkat senjata, hingga beliau bersabda :
“Namun jika kamu takut akan kilatan pedang, maka tutupkanlah ujung jubahmu ke wajahmu, niscaya dia akan menanggung dosanya dan dosamu.” [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud (4261), Ibnu Majah (3958), Ahmad (5/149), Ibnu Hibban (5960)]
4. Korban pembunuhan adalah ma’shum yaitu orang yang nyawanya terlindungi (seorang muslim)
Jika korban adalah kafir harbi, atau pelaku zina muhshan atau seorang murtad, maka tidak ada tanggungan bagi pembunuhnya, baik itu qishos ataupun diyat. Nabi  bersabda :
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu di antara tiga hal: orang yang pernah menikah berzina, qishos jiwa dengan jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya dan menyempal dari jama’ah.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 201 no: 201 no: 6878, Muslim III: 1302 no: 1676, ‘Aunul Ma’bud XII: 5 no: 4330, Tirmidzi II: 429 no: 1423, Nasa’i VII: 90 dan Ibnu Majah II: 847 no: 2534).
5. Pelaku bukan dari kalangan garis keturunan ke atas dari korban (Ayah, Kakek dan seterusnya ke atas).
Jika seseorang membunuh anaknya atau cucunya (anak dari anaknya yang laki-laki maupun perempuan), maka ia tidak dikenai hukuman qishos atas tindakannya tersebut. Hal ini sesuai yang difatwakan oleh mayoritas ulama, di antaranya Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq, juga yang dinukil dari Umar bin Khaththab, serta dianut oleh Robi’ah, Ats-Tsauri dan Al-Auzai. Mereka berargumen dengan dalil-dalil sebagai berikut:
a. Hadits Ibnu Abbas, bahwa rasulullah  bersabda, “seorang ayah tidak dihukum qishos karena (membunuh) anaknya.” [HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah (2661) dan ulama lainnya.]
b. Hadits Abdullah bin Amr bin Ash , ujarnya: seorang laki-laki dari Bani Mudlij memiliki seorang budak wanita, lalu ia menyetubuhinya hingga melahirkan anak, namun tidak mengawininya dan terus mempekerjakannya. Ketika si anak sudah tumbuh dewasa, suatu hari ia pun memanggilnya bersama ibunya. Laki-laki itu berkata kepada budak perempuan tersebut, “lakukan begini dan begini!” anak itu langsung menukas, “ia tidak datang kepadamu (memenuhi perintahmu), sampai kapan kau akan pekerjakan ibuku?” ayahnya pun marah, lalu mengayunkan pedangnya ke arah anak itu dan mengenai kakinya atau bagian lain hingga putus. Anak itu bersimbah darah dan meninggal dunia. Laki-laki itu bertolak bersama kaumnya untuk menghadap Umar bin Khaththab. Umar berkata, “hai orang yang memusuhi dirinya sendiri, kaukah yang membunuh anakmu? Kalau saja aku tidak pernah mendengar rasulullah  bersabda, “Seorang ayah tidak dikenai qishos karena anaknya.” Niscaya aku sudah melaksanakan hukum mati terhadapmu. Ayo keluarkanlah diyatnya !” Orang itu pun menyerahkan seratus dua puluh atau tiga puluh ekor unta kepada Umar . Umar lalu memilih seratus unta dan menyerahkannya kepada ahli waris korban kemudian melepaskan ayahnya.[Ad-Daruquthni (3/140) dan Baihaqi (8/38)]
c. karena ayah adalah sebab atau perantara dari kehidupan (keberadaan) anaknya, maka anak tidak boleh menjadi sebab bagi kematian ayahnya. Dalam masalah ini orang yang kekuatan hukumnya selevel dengan orang tua adalah garis keturunan ke atas, baik laki-laki maupun perempuan meskipun jauh. Termasuk di dalamnya, ibu dan nenek, baik dari jalur ayah maupun ibu, meskipun sudah jauh. Karena memang lafadz “orang tua” mencakup mereka semua.
Ketentuan ini berlaku pada orang tua secara nasab. Adapun jika yang melakukan permbunuhan terhadap anak adalah orangtua persusuan, maka ulama mazhab hambali menyatakan bahwa orang tua persusuan boleh dikenakan qishos jika terbukti membunuh anak susuannya. Karena tidak adanya keterkaitan gen secara hakiki di antara mereka.
6. Ada Kesetaraan Status (Takafu’)Antara Pelaku Dan Korban, Baik Dalam Agama Dan Status Merdeka Atau Budak.
Jumhur ulama (selain Abu Hanifah) mensyaratkan orang yang dibunuh harus setara dengan orang yang membunuh dalam masalah dien dan status merdekanya. Maka seorang muslim tidak dibunuh (qishash) karena membunuh orang kafir dan orang merdeka tidak dibunuh (qishas) karena membunuh budak.
Hal ini berdasarkan hadits-hadits dari Rasulullah  :
“seorang muslim tidak dibunuh (qishas) karena (membunuh) orang kafir. [HR. Ahmad, Ibnu Majah, At-Turmudzi, Abu Daud dari hadits Umar bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya. Dan juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari]
“orang-orang muslim setara dalam darahnya, …., dan seorang muslim tidak dibunuh (qishash) karena membunuh orang kafir. [HR. Ahmad, An-Nasa’I dan Abu Daud dari hadits Ali ]
“orang merdeka tidak dibunuh (qishash) karena membunuh budak” [HR. Ad-Daruquthni dan Baihaqi dari ibnu Abbas  secara secara marfu’]
Dan perkataan Ali  : “Termasuk dari sunnah adalah tidak dibunuhnya seorang yang merdeka karena membunuh budak.” [diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari Ali . Dan juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi]
Sedangkan madzhab hanafi tidak mensyaratkan adanya kesetaraan dalam dien maupun status merdeka atau budak. Karena, menurut mereka, kesetaraan itu dalam kemanusiaan. Mereka berdalil dengan keumuman hadits, “diwajibkan atas kalian qishash dalam hal orang-orang yang dibunuh.”
Ulama telah bersepakat bahwa tidak termasuk syarat bagi orang yang terbunuh kesetaraan dalam hal jenis kelamin, akal, usia, kemuliaan, keutamaan, kesempurnaan fisik dan kesehatan badan.
7. kesepakatan ahli waris (wali) korban untuk menuntut qishos
Dalam hal ini para ulama tidak membedakan antara ahli waris ashabah dengan ash-habul-furudh, juga laki-laki dan perempuan dan besar kecil, berdasarkan pada hadits Amru bin syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia menceritakan: “Rasulullah  memutuskan agar ‘ashabah si wanita (korban pembunuhan) menerima diyat pembunuhannya, siapapun mereka adanya. Namun setelah dihitung-hitung, mereka ternyata tidak mendapatkan apa-apa darinya kecuali sisa jatah ahli warisnya (yang tergolong ash-habul-furudh), padahal jika ia membunuh, denda aqilahnya dibebankan pada seluruh ahli warisnya. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk membunuh orang yang membunuh wanita tersebut.” [hadits hasan riwayat Abu Daud (1564), An-Nasa’I (8/43), dan ibnu Majah (2647)]
Dalam hal ini jika salah satu ahli waris mencabut tuntutan qishasnya maka gugurlah qishash tersebut.

b. Mawani’ ul-qishash
1. orang yang membunuh adalah orang tua korban atau keturunan garis ke atas, baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan hubungan pernikahan tidak menghalangi untuk diberlakukannya qishash.
2. perbedaan status (dalam agama dan kebebasan) antara orang yang dibunuh dengan pembunuhnya. Sedangkan jika pembunuhan terjadi di kalangan orang-orang kafir, maka qishash tetap diberlakukan tanpa melihat apakah ia seorang kafir harbi, dzimmi, mu’ahid ataupun musta’min.
3. orang yang hanya bersekutu dan menyetujui kesepakatan pembunuhan tanpa ikut langsung dalam praktek pembunuhan tersebut. Maka keadaan seperti ini menurut jumhur ulama ia tidak diqishas hanya dikenai hukuman ta’zir dari penguasa.
Berbeda dengan mazhab maliki yang mengatakan, orang yang membantu dalam pembunuhan tetap diqishash walaupun tidak secara lansung ikut membunuh korban. Baik sebagai pengintai, penjaga pintu atau penghambat jalan.
Namun semua mazhab yang ada bersepakat, jika sekelompok orang bersepakat melakukan pembunuhan dan secara langsung ikut dalam pembunuhan itu maka mereka semua dikenai hokum qishash.
Mazhab hanafi menambahi beberapa poin dalam hal ini,
4. Merupakan pembunuhan dengan sebab.
5. Wali korban tidak diketahui.
6. Pembunuhan terjadi di negeri kafir

c. Hal-hal yang menggugurkan qishash
1. Kematian pelaku pembunuhan
Jika pelaku pembunuhan meninggal sebelum diqishas, maka gugurlah qishas atas dirinya. Baik kematian itu dengan sendirinya maupun dibunuh dengan alasan yang dibenarkan, misalnya hukum hadd. Akan tetapi dia masih berkewajiban membayar diyat yang diambilkan dari harta peninggalannya.
Namun jika pelaku dibunuh secara sengaja dan semena-mena, maka gugurlah hukum qishas dan kewajiban membayar diyat. sementara qishos dikenakan kepada pelaku kedua, dan hak qishas tetap dipegang oleh wali korban pertama.
2. Pemberian maaf ahli waris (wali) korban.
Jika ahli waris (wali) korban memaafkan si pembunuh, maka, berdasarkan kesepakatan para ulama, gugurlah hukum qishash. Karena ahli waris mempunyai dua hak atas orang yang membunuh saudaranya yaitu diyat atau qishash. Sebagaimana sabda nabi  :
“Barang siapa yang angota keluarganya menjadi korban pembunuhan, maka ia memiliki dua pilihan : diyat atau qishash.” [HR. Bukhari dan Muslim 1355]
Inilah perbedaan syariat yang berlaku pada kaum muslimin dengan Bani israil. Ibnu Abbas  menceritakan : Qishash diwajibkan atas bani israil, namun tidak berlaku ketentuan diyat (denda). Oleh karena itu Allah  menurunkan ayat :
“Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa mendapat suatu pemaafan dari saudaranya” (maaf berarti menerima diyat dalam kasus pembunuhan dengan sengaja) hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” Ia harus mengikuti cara yang baik dan melakukan pembayaran diyat dengan cara yang baik pula. “Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat” dari ketetapan yang berlaku pada umat sebelum kalian. “Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah : 178) dalam artian ia membunuh si pelaku pembunuhan setelah menerima diyat yang dibayarkan. [HR. Al-Bukhari 4498]
Jika wali korban lebih dari satu. Sebagian wali korban menuntut qishash sedangkan yang lainnya memaafkan maka gugurlah hukum qishas dan pembunuh hanya diwajibkan membayar diyat.
3. Perdamaian atas qishas
Para ahli fiqih sepakat atas bolehnya kesepakatan damai antara pelaku pembunuhan dengan ahli waris (wali) korban. Kemudian si pelaku membayar kompensasi yang telah disepakati oleh keduanya. Dan itu tidak dibebankan atas Aqilah (keluarga besar pelaku), melainkan atas pelaku sendiri.
Besar kompensasi tergantung kesepakatan antara wali korban dan si pelaku. Boleh dibayar kontan atau berangsur. Karena perdamaian berstatus ganti rugi.

d. Yang berhak menuntut qishash
Orang yang berhak menuntut qishash adalah semua ahli waris, baik dari ashabah atau ashhabul furudh, baik laki-laki maupun perempuan. Ini pendapat madzhab Hanafi, Syafi’i dan juga Hambali.
Sedangkan menurut madzhab Maliki yang berhak terhadap qishash adalah ahli waris dari ashabah yang laki-laki saja. Maka anak, saudara perempuan, istri dan suami tidak berhak dalam qishash.

e. Pelaksanaan qishash
waktu pelaksanaan.
jika vonis qishash telah ditetapkan dan semua syarat-syaratnya terpenuhi, maka ahli waris (wali) korban boleh segera melaksanakan eksekusi qishash tanpa menunda-nunda waktu. Karena qishash adalah hak mereka.
Namun jika pelaku adalah seorang perempuan yang sedang hamil, maka pelaksanaan ditunda sampai ia melahirkan. Bahkan pelaksanaannya harus ditunda sampai habis masa menyusui jika tidak ada orang lain yang menyusui bayinya.

Tempat pelaksanaan
Tidak ada tempat khusus dalam melaksanakan eksekusi qishash. Namun jika pelaku bersembunyi di tanah haram, maka para ulama berselisih dalam hal ini.
Para Imam Madzhab Hanafi dan Hambali menyatakan bahwa pelaku tidak perlu dikeluarkan dari tanah haram, namun juga tidak melaksanakan eksekusi di dalamnya. Jalan keluarnya yaitu dengan membiarkan mereka, tidak memberi mereka makan dan minum sehingga ia keluar darinya baru kemudian melakukan eksekusi qishash.
Sedangkan para imam madzhab maliki dan syafi’I serta Abu yusuf dari kalangan hanafi menyatakan bahwa ia harus dikeluarkan dari tanah haram untuk kemudian diqishash.
Izin penguasa dalam eksekusi qishash
Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa tidak boleh melaksanakan qishash tanpa adanya izin dari penguasa. karena pentingnya masalah eksekusi qishash ini. Dan karena pelaksanaan qishash juga membutuhkan ijtihad tersendiri, mengingat perbedaan manusia mengenai syarat-syarat wajib qishash dan eksekusi pelaksanaannya.
Musafir (pakar tafsir) kenamaan, al-Qurthubi mengatakan, “Tiada khilaf di kalangan ulama’ bahwa yang berwenang melaksanakan hukum qishash, khususnya balas bunuh, adalah pihak penguasa. Mereka inilah yang berwenang melaksanakan hukum qishash dan hukum had dan yang semisalnya, karena Allah  menuntut segenap kaum Mukminin untuk melaksanakan qishash, kemudian ternyata mereka semua tidak sanggup untuk berkumpul melaskanakan hukum qishash maka mereka mengangkat penguasa (hakim) sebagai wali dari mereka dalam melaksanakan hukum qishash dan lain-lainnya yang termasuk hukum had.” (Al-Jami’ Li-ahkamil Qur-an II: 245 – 246).
Sebab yang demikian itu disebutkan oleh Ash-Shawi dalam Hasyiyahnya atas Tafsir Al-Jalalain. Dia menulis sebagai berikut, "Manakala telah tetap bahwasanya pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja sebagai sebuah permusuhan, maka wajib atas hakim syar’i untuk memberi wewenang untuk wali si terbunuh terhadap si pembunuh. Lalu pihak hakim melaksanakan kebijakan yang dituntut oleh wali (keluarga) si terbunuh terhadap si pembunuh, yaitu balas bunuh, atau memaafkan, atau menuntut diat. Dan wali (keluarga) si terbunuh tidak boleh bertindak terhadap si pembunuh sebelum mendapat izin resmi dari hakim. Karena dalam hal ini terdapat kerusakan dan pengrusakan terhadap wewenang hakim. Oleh sebab itu, manakala pihak wali (keluarga) si terbunuh membunuh si pembunuh sebelum mendapat izin dari penguasa, maka pelakunya harus dijatuhi hukuman ta'zir (hukuman yang berdasar kebijakan hakim'." (Fiqhus Sunnah II: 453).
Sedangkan menurut kalangan madzhab syafi’I, kehadiran imam di tempat pelaksanaan hanyalah sunnah.
Sementara menurut kalangan ulama madzhab hambali, qishash tidak dilaksanakan kecuali di hadapan imam atau wakilnya. Jika ahli waris melaksanakan sendiri maka ia harus dihukum ta’zir walaupun tindakannya dibolehkan.

Tata cara pelaksanaan qishash
Dalam hal ini ada dua pendapat yang muncul di kalangan para ulama.
Pertama, pelaku pembunuhan harus dibunuh sesuai dengan alat yang digunakan untuk membunuh korban. Selama cara-cara tersebut tidak diharamkan oleh syar’i. misalnya, membunuh dengan meminumkan khamer terus-menerus, mensodomi, membakar hidup-hidup dan yang lainnya. Ini adalah pendapat Malik, syafi’I dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dan juga disetujui oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat ini berhujjah dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Firman Allah :
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
”dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.”(An-nahl :126)
2. Firman Allah :
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
“oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu.”(Al-Baqarah : 194)
3. Hadits Anas  bahwasannya ada seorang yahudi yang memukul kepala seorang budak wanita di antara dua batu, lalu ditanyakan kepadanya (si budak): “siapa yang melakukan ini kepadamu?” fulan atau fulan, sampai penanya menyebut nama seorang yahudi, dan perempuan itu langsung membenarkannya dengan mengangguk. Kemudian si yahudi didatangkan dan ia mengakui perbuatannya. Maka rasulullah  pun memerintahkan untuk mengqishashnya, kemudian dijepitlah kepalanya di antara dua batu. (HR. Bukhari 6879, Muslim 1672)
kedua, qishash tidak boleh dikerjakan kecuali dengan pedang atau alat lain semisalnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat yang lain. Mereka berargumen dengan dalil-dalil berikut.
1. Hadits: “Tidak ada hukuman balasan (qishash) kecuali dengan pedang.” (HR. Ibnu Majah 2667, dan diriwayatkan dari berbagai sanad namun semuanya dhaif.)
Namun hadits ini dhaif dan tidak bias dijadikan dalil.
2. Hadits : “jika kamu membunuh (qishash) maka gunakanlah cara yang baik dalam pembunuhannya, dan jika kamu menyembelih, maka gunakanlah cara yang baik dalam menyembelih.” (HR. Muslim 1955, Abu daud 2815, An-Nasa’i 22(7/7), At-Tirmidzi 1409, Ibnu Majah 3170)
Kebaikan cara pembunuhan justru ketika qishash tersebut dilakukan sesuai tuntutan syara’ dan nash telah menjelaskan hal itu. Jadi pendapat pertama lebih kuat dan mendekati kebenaran.

f. Bagaimana pelaksanaan qishash pada saat ini.
Pelaksanaan qishash dan juga hudud yang lain merupakan wewenang penguasa (pemerintahan islam tentunya). Walaupun dalam qishash pihak yang paling berhak menuntut ditegakkannya qishash adalah wali korban (ahli waris), namun penguasa mempunyai andil yang sangat besar dalam pelaksanaanya.
Jika pelaksanaan qishas dilakukan oleh perorangan tanpa pengawasan dari penguasa maka akan timbul kerusakan yang besar. Seperti timbulnya pertumpahan darah antara keluarga korban dan pelaku pembunuhan yang disebabkan dendam di antara keduanya. Tentu ini akan merusak tujuan yang mendasari diadakannya qishash itu sendiri yaitu kehidupan.
“Dan dalam qishos itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. Al-Baqoroh : 179)
Oleh karena itu pelaksanaan qishash tidak bisa diberlakukan selama belum adanya pemerintahan Islam yang sah. Melihat dari madharat yang akan muncul akan jauh lebih besar dari pada maslahat yang didapat.
Namun jika penduduk dalam sebuah wilayah di satu Negara mereka bersepakat menerapkan syariat Islam, pemberlakuan qishash misalnya, dan disetujui oleh Negara di mana mereka tinggal, maka qishash boleh dilaksanakan di wilayah tersebut. sebagaimana kaidah usul yang mengatakan:
ما لا يدرك كله لا يترك جله
“Sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan secara keseluruhan maka tidak ditinggalkan seluruhnya.”
Wallahu a’lam

Kesimpulan
1. Pembunuhan dengan sengaja termasuk dosa besar.
2. Qishash adalah hukuman yang dikenakan kepada orang yang membunuh dengan sengaja. Dan tidak bisa ditegakkan kecuali setelah terpenuhi syarat-syaratnya dan lenyapnya mawani’ serta terbebas dari hal-hal yang menggugurkan qishash.
3. Takafu’ atau kesetaraan itu hanya dalam masalah dien dan status kemerdekaan. Tidak termasuk di dalamnya jenis kelamin, kemampuan akal, usia, kemuliaan, keutamaan, kesempurnaan fisik dan kesehatan badan.
4. Harus adanya hakim atau qadhi dalam pelaksanaan qishash.
5. Cara yang paling sesuai dalam eksekusi qishash adalah sesuai dengan cara yang digunakan dalam pembunuhan korban selama itu tidak dilarang oleh syar’i. wallahu a’lam bish-shawab


V. Penutup
Semoga tulisan yang sedikit ini menjadi pemicu bagi kita untuk mendalami pembahasan tentang pembunuhan yang merupakan bukti kesempurnaan syariat islam. Kami memohon ampunan kepada Allah  atas kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam tulisan ini. Dan semoga Allah  senantiasa membimbing kita menuju jalan-Nya yang lurus. Wallahu mustaan


Maraji’ :
1. Al Qur’an Al Karim
2. Lisanul Arab, Al-Imam Al-Alamah Abi Fadhl Jamaluddin bin Muhammad bin Mukrim bin Mandhur Al Ifriqy Al Mishri, Darul Fikr, Beirut Libanon
3. Shahih Fiqih Sunnah Lengkap Berdasarkan Dalil-Dalil Dan Penjelasan Para Imam Termasyhur, Abu Malik Kamal Bin As Sayid Salim, Cetakan I Juli 2006, Pustaka Azzam, Jakarta.
4. Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu, Dr. Wahbah az zuhail, cetakan ke III, darul fikri, damsyiq.
5. Al majmu Syarhul-Muhaddab, Al Imam Abu Zakariya Muhyiddin Bin Syarf An Nawawi, Cetakan Ke I, Darul Fikri, Beirut-Lebanon.
6. Tafsir Al Qur’anul ‘Adhim, Al Imam Al Hafidh Abul Fidak Isma’il Bin Katsir Al Qurasiy Al Dimsyaqi, Cetakan Ke III, Al Maktabah Al ‘Ashriyah, Beirut.
7. At Tasyri’ Al Jana’i Al Islami, Abdul Qodir ‘Audah, Muassasah Ar Risalah, Beirut.


0 komentar:

Arrahmah.Com - Technology

Arrahmah.Com - International

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP