Shaum Bagi Mereka Yang Memiliki Pekerjaan Berat

>> Sabtu, 08 Agustus 2009

Seringkali pekerjaan berat dijadikan alasan untuk membatalkan puasa. Mereka berdalil dengan firman Allah:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin." (Al Baqarah: 184)
Namun apakah perkerjaan berat memang menjadi udzur syar'I. Ataukah ayat tersebut diperuntukkan bagi yang lain??

Abu Daud dari Ibnu Abbas meriwayatkan و على الذين يطيقونه ditetapkan bagi wanita hamil dan yang menyusui. Diriwayatkan dirinya juga berkata: merupakan rukhsoh bagi orang tua dan wanita tua dan mereka yang berat untuk berpuasa. Maka mereka berbuka dan memberi makan setiap harinya satu orang miskin. Begitu juga wanita hamil dan yang menyusui apabila takut atas keselamatan /kesehatan anaknya maka berbuka dan memberi makan satu orang miskin.
Daruqtni meriwayatkan juga darinya dia berkata dirukhsohkan bagi orang tua untuk berbuka dan memberi makan setiap harinya satu orang miskin dan tidak wajib baginya qodho' dan sanad ini shahih.
Diriwayatkan juga darinya bahwasanya dia berkata: وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ tidaklah dimansukhkan (dihapuskan) yakni orang tua dan wanita tua yang tidak mampu berpuasa maka memberi makan satu orang miskin setiap harinya dan ini shahih. Diriwayatkan juga darinya dia berkata bagi seseorang yang memiliki anak baik yang mengandung atau menyusui: kamu termasuk yang tidak mampu.
Hasan al Bashry dan Atho' bin Abi Robah dan Dhohahk, Nakhoi, Azzuhri, Robi'ah, Al Auzaiy, ashhabu ro'yi: wanita hamil dan yang menyusui keduanya ifthor namun tidak memberi makan. Kedudukan mereka seperti kedudukan seorang yang sakit dan mengqodho'nya. Begitu juga perkataan Abu Ubaid dan Abu Tsaur.
Diceritakan dari Abu Ubaid dari Abi Tsaur dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Mundzir, dan itu pendapat imam malik bagi yang hamil apabila berbuka. Sedangkan orang yang menyusui apabila berbuka maka wajib qodho dan memberi makan.
Imam Syafi'I dan Ahmad berkata: keduanya berbuka, memberi makan dan mengqodho'nya. Mereka berijma' bahwa masyayikh (orang tua) dan orang yang lemah yang tidamk mampu puasa atau mampu akan tetapi dengan berat maka mereka berbuka.
Diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu bahwa ayat di atas tidak dimansukhkan (dihapuskan). Bahwasanya itu merupakan rukhsoh bagi orang-orang tua dan orang-orang lemah terkhusus apabila mereka tidak mampu berpuasa kecuali dengan berat.
Diriwayatkan dari waki' dari Ibnu Abi Laila dia berkata: aku mendatangi Atho' dan dia sedang makan pada bulan Ramadhan. Kemudian berkata
Dalam tafsir Ath Thobari disebutkan perkataan Qotadah dalam menafsirkan ayat:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Ini merupakan rukhsoh bagi orang tua dan orang lemah yang sudah tua. Sedangkan mereka berat untuk berpuasa. Maka kedua kelompok tersebut memberik makan satu orang miskin dan berbuka. Kemudian ayat ini dinasakh dengan ayat selanjutnya شهر رمضان hingga firman Allah فعدة من أيام أخر . sedangkan ahlul ilmi berpendapat rukhsoh ditetapkan bagi orang tua yang lemah apabila merasa berat ketika berpuasa. Dia berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya. Begitu juga bagi wanita hamil apabila khawatir atas keselamatan janinnya dan bagi yang menyusui apabila takt atas kesehatan anaknya.
Sedangkan dalam fatwa lajnah daimah ada pertanyaan: apakah hukum orang yang menanam tanaman dan masa panennya bertepatan dengan bulan ramadhan. Apakah dia boleh tidak shaum atau tidak? Sebab tidak mungkin baginya berpuasa sekaligus bekerja?
Kemudian dijawab: "Bulan Ramadhan adalah salah satu rukun islam. Juga merupakan kewajiban bagi mukallaf kaum muslimin sesuai dengan ijma'. Sebagaimana firman Allah:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (Al Baqoroh: 185)
Dia harus menjaga puasa ramadhan dan tidak boleh mempermudah ifthor (berbuka) tanpa udzur syar'i. Sedangkan sawah merupakan di bawah kekuasannya. Dia dapat mengatur waktu kerjanya di sawah. Dia bisa memanennya ketika cuaca dingin di malam hari. Atau memperkerjakan orang lain untuk memanennya. Yang mana pekerjaan tersebut tidak membahayakan puasanya dan memberikan upah yang sebanding. Atau mengakhirkan panennya apabila tidak mendatangkan madharat. Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya akan ada jalan keluar. "
Begitu juga ada pertanyaan: "Saya mendengar khotib dari imam masjid pada jum'at kedua pada bulan ramadhan. Dia memperbolehkan berbuka bagi pekerja yang keberatan karena pekerjaannya, dan dia tidak memiliki pekerjaan selain itu, yakni dengan memberi makan satu orang miskin setiap hari pada bulan ramadhan. Atau apabila diuangkan senilai 15 dirham. Inilah yang mendorong saya untuk menulis risalah (surat) ini. Apakah terdapat dalil shahih dari kitab dan sunnah dalam masalah ini?
Dijawab oleh syaikh: "Seorang mukallaf tidak boleh berbuka pada bulan ramadhan hanya disebabkan dia seorang pekerja. Akan tetapi apaila dia merasa keberatan dan terpaksa untuk berbuka di siang hari maka dia berbuka untuk menghilangkan masyaqoh (sesuatu yang memberatkannya tersebut) kemudian menahan tidak makan hingga terbenamnya matahari dan berbuka bersama manusia lainnya. dan dia wajib untuk mengganti hari di mana dia berbuka. Dan fatwa yang anda sebutkan tidaklah ada dasarnya."
Syaikh Utsaimin menyebutkan bahwa pekerjaan pilot pesawat terbang dan sopir termasuk dalam keumuman ayat:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
"Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (Al Baqoroh: 185)
"Jika orang yang bekerja sebagai sopir merasa berat untuk menjalankan puasa ramadhan dalam perjalanan karena cuaca panas misalnya, maka ia bisa mengundurkanya pada saat cuaca dingin sehingga ia merasa ringan dan mudah dalam menjalankan pauasa. Yang lebih utama bagi musafir adalah mengerjakan yang paling mudah dan ringan baginya, apakah puasanya atau berbukanya. Jika antara keduanya sama saja, maka berpuasa lebih utama karena hal itu lebih cepat untuk menunaikan tanggungannya dan lebih menggiatkannya ketika orang-orang juga sedang menjalankan puasa. Sebab, ini merupakan perbuatan Nabi n."
Kesimpulan
Menurut penyusun, pendapat yang lebih kuat adalah seorang yang memiliki pekerjaan berat hendaknya tidak berbuka. Dia dapat menyiasatinya dengan mengerjakan pekerjaannya tersebut di waktu yang cuacanya dingin. Ataupun kalau terpaksa untuk berbuka maka sebatas untuk menegakkan tulang punggungnya dan dia melanjutkannya lagi, kemudian berbuka bersama manusia lainnya.

Maroji':
1. Al Jami' li Ahkamil qur'an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Anshory Al Qurthuby,
2. Fathul Qodir Al Jami' baina Riwayat wa Diroyat min 'ilmi Tafsir, Imam Muhammad bin Aly bin Muhammad Asy Syaukani, Darul Kutub Al Ilmiyah, Cetakan pertama, 1415 H/1994 M.
3. Kajian Ramadhan, terjemahan Majalisu Syahri Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Al Qowam, cetakan pertama, Oktober 2003.
4. Jami'ul bayan 'an tawilil qur'an, Imam Ibn Jarir Thobari, Darul Fikr, Cetakan pertama, 1421 H/2001 M.

Read More..

RAHASIA TELINGA

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ( النحل : 78 )
Manusia terlahir ke dunia ini tanpa memiliki pengetahuan sedikitpun. Bak gelas, ia masih kosong dan kering. Namun dengan perjalanan waktu, sedikit demi sedikit, manusia mulai belajar. Ia dibekali sepasang telinga untuk mendengar semua suara yang ada di sekitarnya ketika kedua matanya belum bekerja dengan optimal. Bahkan semua yang dia dengar akan terekam dalam benaknya.
Dengan kedua telinganyalah ia belajar untuk pertama kalinya. Hal ini sesuai dengan penelitian, indra pendengaranlah yang pertama kali bekerja sebelum indra lainnya. Terlebih indra penglihatan, indra tersebut bekerja dengan baik setelah manusia berumur 3-4 bulan. Sungguh
Maha Suci Allah, susunan kata al quran tidak hanya sebatas penyampaian maklumat tanpa makna. Namun dari ayat tersebut tersirat bahwa indra pendengaranlah yang pertama kali berfungsi dengan baik. Bahkan sebelum bayi terlahir, indra tersebut sudah dapat merekam dan mendengar suara dari luar.
Dengan pendengaran inilah anak bayi mengetahui semua nama benda walaupun belum dapat mengucapkannya. Berbekal lantunan ayat al quran yang dibaca oleh kedua orangtuanya ia dapat menghafal al quran walaupun belum mampu membaca.
Oleh karenanya tak mengherankan apabila kita dapati para ulama terdahulu dapat menghafal al quran di usia dini sebelum menginjak baligh. Imam Syafi’i menghafal al quran di usia 10 tahun, bahkan ada pendapat yang menyatakan di usia 7 tahun. Ibnu Mubarrok di usia 13 tahun. Dan imam Bukhori di usia 10 tahun.
Rahasia sukses tersebut terletak pada ibunda mereka. Ketika masih dalam kandungan mereka senantiasa membacakan al quran kepada janin yang masih dalam kandungan. Begitu juga setelah terlahir ke dunia, ketika masih dibuaian mereka selalu memperdengarkan al quran. Maka ketika sudah dapat membaca, mereka cepat sekali menghafalnya. Karena semua suara itu telah terekam sekian waktu lamanya. Bahkan lebih kuat daripada usia-usia selanjutnya.
Al quran adalah kalamullah, kalam dari Dzat Yang Maha Bijaksana. Setiap kalimat susunannya, pilihan kata dan detail lainnya mengandung hikmah bagi manusia. Lantas apakah kita masih meragukan keotentikan al quran? Apakah kita ragu bahwa al quran merupakan firman-Nya?

Read More..

Memilih Pemimpin

>> Kamis, 06 Agustus 2009

Islam merupakan agama universal yang mengatur sleuruh aspek kehidupan manusia tanpa terkecuali. Mulai urusan yang remeh sejak bangun tidur hingga ketika akan tidur kembali. Mulai urusan antara manusia dengan sang pencipta. Dari urusan pribadi hingga urusan ijtima'i. tak terkecuali adalah urusan Negara.
Maka sungguh benar janji Allah yang telah menyempurnakan dien ini dan menjadikannya sebagai dien yang diridhoinya.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا (المائدة: 3)
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu"
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَذَا الْقُرْآَنِ لِيَذَّكَّرُوا وَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا نُفُورًا (41)
"Dan sesungguhnya dalam Al Qur'an ini Kami telah ulang-ulangi (peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran)."

Namun tetap saja masih ada yang mengingkari bahwa islam telah mengatur tata negara melalui ajarannya. Sejarah yang ada seakan dianggap tiada dan dusta belaka. Dan ironis memang sejarah yang mereka saksikan tidak semakin mendekatkan mereka kepada islam, bahkan hanya menambah mereka lari dari kebenaran.
Lantas bagaimanakah islam mengatur tentang urusan Negara? Terutama tentang pengangkatan pemimpin? Adakah hal itu dalam islam?

Mengangkat Imam Merupakan Kewajiban
Sesungguhnya pengangkatan seorang amir (pemimpin untuk mengurusi urusan kaum muslimin merupakan kewajiban yang telah Allah tetapkan. Hal ini sebagaimana yang tersurat dan tersira dalam nash Al Quran dan As Sunnah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (An Nisa' : 59)
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).(An Nisa' : 89)
لاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةِ نَفَرٍ يَكُوْنُوْنَ بِفَلاَةٍ مِنَ اْلأَرْضِ إِلاَّ أَمًّرُوْا عَلَيْهِمْ أَحَدُهُمْ (رَوَاهُ أَحْمَدُ)
"Tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu padang pasir dari bumi kecuali mengangkat salah satu dari mereka untuk menjadi amir." (HR. Ahmad dari Abdullah bin Amr)
إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فِلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدُهُمْ (رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ)
"Bila tiga orang keluar dalam suatu safar, hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka menjadi amir." (HR. Abu Daud dari Ibnu Sa'id)
At Thabrani berkata: "Di dalamnya merupakan dalil bahwa, setiap jumlah lebih dari tiga orang disyariatkan agar mereka mengangkat seorang amir dari mereka. Karena hal itu akan membawa keselamatan dari perbedaan pendapat (khilaf) yang mengarah kepada kebinasaan. Tanpa pengangkatan amir niscaya masing-masing orang akan bersikeras (ngotot) dengan pendapatnya dan berbuat menurut hawa nafsunya hingga binasa. Sebaliknya dengan mengangkat amir niscaya khilaf bisa diminimalisir dan selalu ada kata sepakat. Bila keamiran disyariatkan bagi tiga orang yang ada di gurun atau bersafar tentu akan lebih utama dan tepat bila disyariatkan bagi jumlah yang lebih banyak yang tinggal di pedesaan atau perkotaan. Mereka memerlukan itu untuk mencegah upaya saling menzhalimi dan menghentikan pertikaian. Hadits ini dalil bagi pendapat yang mengatakan wajibnya bagi umat islam untuk mengangkat pemimpin, penguasa, dan hakim.

Cara Pengangkatan Imam
1. Ikhtiyar
Dalam hal ini yang memilih adalah Ahlul Halli wal Aqdi. Cara inilah yang digunakan untuk pengangkatan abu Bakar ash Shiddiq dan Ali bin Abi Tholib.
Sesungguhnya imamah adalah wasilah (saran) bukan ghoyah (tujuan akhir). Wasilah untuk menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar dalam artian yang luas. Oleh karenanya wajib bagi setiap muslim untuk memilih imam. Sebab tidak mungkin penegakan amar ma'ruf nahi mungkar dapat ditegakkan dengan sempurna kecuali setelah memilih imam yang mengatur mereka dan membawa mereka ke jalan tersebut.
Di sisi lain terdapat jarak dan tempat tinggal yang memisahkan seluruh umat islam di segala penjuru dunia, keadaan mereka ada yang lemah, ada yang kuat, jahil, alim sehingga sulit untuk membedakan antara mereka yang sholih dan tholih. Karenanya tanggungjawab untuk memilih pemimpi dibebankan kepada para aqil umat ini, ulamanya, dan yang memiliki keutamaan.
Mereka memilih sesuai dengan apa yang nampak secara dhohir. Tentunya mereka yang berpegang teguh kepada al quran dan as sunnah dan memerintahkan sesuai dengan keridhoan Allah.
2. Istikhlaf
Yakni dengan penunjukan langsung dari kholifah sebelumnya dengan memilih siapa yang akan menggantikannya. Tentunya kholifah tersebut melihat ada seseorang yang pantas menduduki jabatan khilafah maka diapun memilihnya. Hal ini dilakukan ketika kholifah merasa ajalnya sudah dekat dan ingin salah seorang menggantikan kedudukannya maka diapun bermusyawarah dengan ahlul hilli wal aqdi. Apabila pendapatnya disetujui dengan ahlul hilli wal aqdi maka diapun dibaiat untuk menggantikan kedudukan kholifah sebelumnya.
3. Gholbah atau bil Qohr (Kudeta atau pemberontakan)
Ini merupakan cara yang terakhir dalam pengangkatan imam yakni dengan kudeta atau pemberontakan. Apabila ada seorang imam yang menjadi imam dengan cara tersebut, maka dia wajib ditaati dan diharamkan untuk keluar dari pemerintahannya kecuali karena dhorurah (keterpaksaan) untuk kemaslahatan umat muslimin dan menjaga darah mereka.

Kesimpulan
Cara pertama dan kedua merupakan cara yang sesuai syar'I dengan berbagai dalil yang ada. Sedangkan cara yang ketiga tidak termasuk cara yang sesuai syar'I namun dia tetap diakui sebagai imam. Dan tidak diperbolehkan keluar dari pemerintahannya kecuali karena dhorurah.

Read More..

Mengais Rejeki Menggapai Ridho Ilahi

Dalam sabdanya, Rasulullah  mengabarkan ketika janin berumur empat bulan dari usia kandungannya datang malaikat yang meniupkan ruh. Malaikat juga menuliskan empat perkara; rejekinya, umurnya, amalnya, dan nasibnya apakah termasuk golongan yang celaka ataukah bahagia.
Ini merupakan ketetapan ilahi yang tidak bisa diubah lagi. Ketetapan yang telah ditulis di lauhul mahfudz 50 ribu tahun sebelum penciptaan alam raya dan seisinya.
Sedangkan di dalam kitab-Nya Allah mengabarkan bahwa rejeki manusia telah ia tetapkan. Sebagaiman firman-Nya: “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (Qs. Az Zukhruf: 32)

Namun bukan berarti dengan ketetapan ini kita berputus asa dan tidak bekerja. Karena di ayat yang lain Allah berfirman: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah.” (Qs. Al Jum’ah: 9-10). Ayat ini memerintahkan umat-Nya untuk mencari rejeki yang Allah turunkan -tentunya dengan jalan yang halal-.
Begitu jelas Allah menjelaskan melalui lisan rasul-Nya dan juga di dalam kitab-Nya. Tetapi seakan menjadi sunnatullah, ada juga segolongan manusia yang enggan bekerja dengan alasan menafikan tawakkal. Mereka mau menerima pemberian orang lain tetapi tidak mau bekerja. Menurut mereka itulah hakekat tawakal, sedangkan bekerja untuk memenuhi kebutuhan dikatakan musyrik karena tidak mempercayai bahwasanya rejeki telah dijamin.
Padahal para ulama telah menjelaskan bahwa keterikatan hati dengan sebab-sebab adalah boleh adanya. Dan hal ini tidak menafikan tawakal, karena persoalan rejeki itu telah menjadi ketetapan. Bertawakkal merupakan kewajiban. Tetapi, berusaha dan mengambil sebab-sebab juga kewajiban. Barangsiapa mencela sebab berarti mencela sunnah dan barangsiapa mencela tawakal maka ia telah mencela iman.
Rasulullah , manusia yang paling bertawakkalpun juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu juga shahabat-shahabat beliau. Ada yang berdagang melintasi daratan dan menyeberangi lautan, bercocok tanam, menggembala, dan melaksanakan berbagai pekerjaan lainnya. Tidak ada di antara mereka yang meminta-minta. Bahkan hal itu menjadi pantangan dan hanya menjadikan kenistaan bagi pelakunya.
Para nabipun selain berdakwah mereka juga bekerja. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Abbas : “Nabi Adam adalah pembajak tanah, Nabi Nuh tukang kayu, Nabi Idris penjahit, Nabi Ibrahim dan Luth petani, Nabi Sholih pedagang, Nabi Daud pembuat baju besi, Nabi Musa, Nabi Syu’aib, dan Nabi Muhammad adalah penggembala.”
Maka sangatlah naïf, apabila ada orang yang tidak mau bekerja atas nama tawakkal. Hal ini menyalahi sunnah rasulullah . Suatu ketika Imam Ahmad ditanya oleh seseorang, “Bagaimana pendapat tuan apabila ada orang yang duduk di masjid, seraya berkata, “Aku tidak akan bekerja, toh rejeki akan datang dengan sendirinya kepadaku!” Maka Imam Ahmad menjawab, “Dia adalah orang yang tidak berilmu. Apakah dia tidak mendengar hadits rasulullah , “Allah menjadikan rejekiku di bawah naungan tombakku”. Apakah dia juga tidak mendengar sabdanya yang lain, “burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan perutnya kosong dan pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang.”
Selain itu pernah suatu hari Ibnu Mas’ud berjalan melewati pemuda yang duduk-duduk tanpa mengerjakan apa-apa. Kemudian dia berkata: “Aku sangat benci sekali melihat seorang laki-laki yang tidak beramal untuk akhiratnya juga tidak bekerja untuk dunianya.”

Bekerja Adalah Ibadah
Ibadah tidaklah sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan manusia, yakni hanya terbatas shalat, zakat, puasa, atau ibadah-ibadah mahdhoh lainnya. Lebih dari itu, apabila bekerja diniatkan sebagai wasilah agar dapat menjalankan perintah-Nya dengan sempurna juga termasuk ibadah.
Karena ibadah sesuai dengan yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah adalah, “Segala sesuatu yang dicintai oleh Allah berupa perkataan atau perbuatan, baik yang dhohir (nampak) maupun yang batin (tidak nampak).”
Sebagai contoh konkretnya, pada suatu hari Rasulullah  duduk-duduk bersama shahabatnya. Mereka melihat seorang pemuda yang gagah lagi kuat, dia berpagi-pagi dan bersegera pergi ke pasar. Maka para shahabat pun berkata: “Sayang sekali, seandainya saja masa mudanya digunakan di jalan Allah”. Maka Rasulullahpun bersabda: “Janganlah kalian berkata seperti itu, sesungguhnya apabila dia bekerja untuk menghidupi anaknya yang masih kecil maka dia di jalan Allah. Dan apabila dia bekerja untuk menjaga dirinya sendiri (dari meminta-minta) maka dia di jalan Allah. Sedangkan apabila dia bekerja untuk riya’ dan berbangga diri maka itu di jalan syaithan”. Kemudian ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, pekerjaan apa yang paling baik?” Beliau bersabda: “Hasil pekerjaan tangannya dan setiap jual beli yang baik.” (HR. Thabrani dan sanadnya shahih)
Abu Sulaiman Ad Daroni berkata: “Ibadah menurut kami tidaklah sekedar engkau sholat sedangkan orang lain sibuk bekerja untuk menghidupimu. Akan tetapi mulailah dengan memenuhi kebutuhanmu kemudian beribadahlah.”
Umar bin Khattab  juga pernah berkata: “Janganlah salah seorang dari kalian hanya duduk-duduk saja kemudian berdoa, “Ya Allah berikanlah aku rejeki”. Sesungguhnya kalian tahu bahwasanya langit tidak pernah menurunkan hujan emas dan perak.”

Read More..

Pintu-Pintu Rejeki

Tidaklah Allah memerintahkan hamba-Nya untuk mencari sebab, kecuali Dia juga menunjuki caranya. Melalui lisan rasul-Nyalah Allah menunjuki cara-cara tersebut. Syaikh Abdullah Azzam menyebutkan bahwa ada 6 pintu rejeki yang dijanjikan oleh Allah  untuk hamba-Nya;
1. Ghonimah
Rasulullah  bersabda:
وَ جُعِلَ رِزْقِيْ تَحْتَ ظِلاَلِ رَمْحِيْ وَ جُعِلَ الذِّلُّ وَ الصِّغَارَ عَلىَ مَنْ خَالَفَ أَمْرِيْ (رواه أحمد)
“ Dan dia menjadikan rejekiku di bawah naungan tombakku dan dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang-orang yang menyelisihi perintahku.” (H.R. Ahmad)
Inilah penghasilan yang diperoleh oleh Nabi . Para ulama menyebutkan bahwasanya inilah penghasilan yang paling afdhol (utama) karena diperoleh melalui kemenangan.

2. Hasil Pekerjaan Tangannya
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَ إِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (رواه البخاري)
“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari hasil pekerjaan tangannya. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud makan dari hasil pekerjaan tangannya.” (HR. Bukhori Kitab Buyu’ bab 15 no. 2072)
Di dalam riwayat muslim disebutkan bahwasanya nabi Zakariya adalah seorang tukang kayu. (HR. Muslim)
Ada salah seorang shahabat Rasulullah  yang menjabat gubernur di Madinah. Dia adalah Salman Al Farisi. Tunjangan hidupnya tidak kurang dari 4000 sampai 6000 dirham setahun. Semua tunjangan tersebut dia sedekahkan kepada fakir miskin tanpa menyisakan 1 dirhampun. Sedangkan untuk kebutuhan hidupnya, dia menganyam keranjang. Bermodalkan satu dirham, keranjang hasil anyamannya dijual dengan tiga dirham. Hasil penjualannya tersebut dia gunakan satu dirham untuk modal, satu dirham disedekahkan, dan satu dirham sisanya digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Kehidupannya berlangsung begitu terus hingga datang ajalnya. Kedudukannya sebagai gubernur tidak menghalanginya untuk mencari rejeki yang dikaruniakan oleh Allah.

3. Berdagang
“Sembilan dari sepuluh pintu rejeki ada dalam perdagangan”, begitulah salah satu sabdanya  yang diriwayatkan oleh Thabrani. Terlepas dari kedudukan hadits tersebut, kita dapati banyak dari shahabat yang menjadi pedagang.
Salah satunya adalah Abdurrahman bin Auf. Beliau termasuk shahabat yang dijamin akan masuk surga. Namun jaminan dari rasul tersebut tidak menghalanginya dari mengais rejeki. Beliau masih saja berdagang walaupun jaminan tersebut benar adanya. Bahkan karena kelihaiannya dalam berdagang disebutkan dalam shirah, seandainya dia mengangkat batu tentu akan didapati bongkahan emas di bawahnya.
Ibnu Qudamah berkata: “Sesungguhnya berdagang tidak semata dimaksudkan untuk mendapatkan harta, tetapi agar tidak menjadi beban oranglain, dapat menafkahi keluarga, dan dapat meringankan beban saudara muslim lainnya. Namun apabila tujuannya adalah untuk mencari harta semata atau menyombongkan diri maka hal itu tercela.”

4. Bertani
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau bertani kemudian dimakan burung, manusia, atau hewan lainnya, maka itu akan dihitung shadaqoh baginya”. (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits mengandung faidah tentang keutamaan bercocok tanam. Kemudian apa-apa yang dimakan oleh manusia atau hewan lainnya merupakan shadaqoh baginya. Selain itu, para shahabat anshorpun banyak yang bercocok tanam untuk menghidupi keluarganya.

5. Mengajarkan Al Qur’an
Ibnu Abbas  berkata, Rasulullah bersabda: “Yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah mengajarkan al Qur’an.”
As Sya’bi berkata: “orang yang mengajarkan tidak boleh mensyaratkan upah tersebut akan tetapi apabila dia diberi hendaknya diterima. Hakam berkata: “Aku tidak pernah mendengar salah seorangpun yang memakruhkan upah pengajar”. Dalam salah satu riwayat Hasan memberikan 10 dirham untuk pengajar al Quran.
Hadits di atas menunjukkan kebolehan mengambil upah dari mengajar al Qur’an. Bahkan para ulama memasukkannya ke dalam salah satu pintu rejeki yang halal dan diridhoi Allah. Dan itu bukanlah termasuk hal yang tercela. Akan tetapi apabila mengajarkan al Quran hanya untuk mencari dunia, maka ancamannya adalah neraka sebagaimana dalam salah satu sabda Rasulullah  .

6. Hutang
Diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengambil hutang apabila memang membutuhkan. Rasulullah pun pernah berhutang gandum kepada seorang Yahudi dengan menggadaikan pakaian perangnya. Bahkan ketika beliau wafat pakaian beliau tersebut masih tergadai dan belum ditebus.
Tentunya hal ini menjadi alternatif terakhir. Dan tidaklah layak bagi seorang muslim untuk mempermudah berhutang kecuali karena terpaksa.
Rasulullah  bersabda:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ وَ مَنْ أَخَذَ يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ
“Barangsiapa mengambil harta orang lain (berhutang) dengan niat mengembalikannya, maka Allah akan memampukannya untuk mengembalikannya. Dan barangsiapa mengambilnya dengan niat merugikannya, maka Allah akan merugikannya.” (HR. Al Bukhori)

Penutup
Pintu rejeki memang tidak terbatas pada 6 hal itu saja. Namun 6 hal tersebut merupakan pokok dari pintu-pintu rejeki yang ada. Semoga dengan mengambil salah satu atau lebih dari pintu-pintu rejeki tersebut dapat membawa kita kepada ridho-Nya. Sehingga Mengais rejeki Menggapai Ridho Ilahi bukan hanya sekedar mimpi.

Read More..

Absahkah perkawinan tersebut?

>> Jumat, 31 Juli 2009

Berbicara tentang absah dan tidaknya suatu amalan maka perlu menengok bagaimana islam memandang hal itu. Di dalam islam hukum tentang pernikahan tidak terkait dnegan kesyirikan yang dia lakukan ataukah tidak. Orang musyrik sekalipun ketika melakukan perkawinan dengan memenuhi rukun dan syaratnya maka akan dianggap sah, terlebih seorang muslim. Walaupun pada prosesi pernikahan tersebut terdapat kesyirikan, kebid'ahan, ataupun maksiat. Sebab di dalam islam akad pernikahan akan menjadi sah dan batal dikarenakan terpenuhi atau tidaknya rukun dan syaratnya. Akad perkawinan dikatakan sah apabila akad tersebut dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan islam. Dan akad perkawinan dikatakan batal apaila kurang atau tidak sempurna salah satu dari syarat-syarat atau rukun-rukunnya.
Adapun Rukun-Rukun Nikah adalah sebagai berikut:
1. Shighot (Ucapan Akad/ Ijab Qobul)
Sighot ini cukup dengan perkataan wali (ijab) "Saya nikahkan engkau dengan si fulanah (nama pengantin perempuan) dengan mahar ……..". perkataan wali dari calon istri dijawab oleh calon suami (qobul) dengan perkataan: "Aku terima nikah si fulan dengan mahar…………".
2. Pengantin Perempuan
Disyaratkan bagi pengantin perempuan adalah suatu kehalalan untuk dinikahi. Tidak sah hukumnya menikahi perempuan yang masih mahram (yang haram untuk dinikahi). Perempuan ini juga tidak mempunyai suami dan tidak memiliki 'iddah (sebab masih ada hak orang lain yang berkaitan dengan perempuan itu). Perempuan itu juga harus diketahuai keperempuannya sehingga jelas statusnya.
Perempuan itu juga harus jelas (ada orangnya) dan tidak sah nikah jika wali mengatakan "Saya nikahkan engkau dengan anak saya" sementara dia memiliki anak perempuan lain, sehingga dia menjelaskannya dengan menyebut namanya atau dengan menunjuk kepadanya jika dia hadir.
3. Pengantin Laki-Laki
Disyaratkan bagi pengantin laki-laki adalah adanya kehalalan untuk dinikahi. Pengantin laki-laki juga harus pasti orangnya. Dengan demikian tidak sah dengan orang yang belum pasti, seperti wali berkata "saya nikahkan anak saya dengan seseorang", hal ini sama halnya dengan jika wali bermaksud kepada seseorang dari dua anaknya.
4. Wali
Wali adalah orang yang mengurus akad pernikahan seorang perempuan dan tidak membiarkannya melakukan akad sendiri tanpa kehadirannya.
Seorang wali memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pernikahan sebagaimana sabda rasulullah :
لاَ نِكاَحَ إِلاَّ بِوَلِيِّ
"Tidak sah sebuah pernikahan kecuali dengan seizin wali" (H.R. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)
Dalam riwayat lain beliau bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ –ثَلاَثًا- وَ لَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا, فَإِنْ اشْتَجَرُوْا فَإِنَّ السُّلْطَانَ وَلِيٌّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ (رواه أبو داود و الترمذي و ابن ماجه و أحمد)
"Wanita manapun yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal (tidak sah) -beliau mengatakannya tiga kali- dan ia berhak mendapatkan maharnya karena suami telah menyetubuhinya. Jika para wali berselisih untuk menghalang-halanginya untuk menikah, maka sulthan (pemerintah) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali." (H.R. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)
Syarat-syarat wali:
- Bisa memilih, artinya tidak sah menikah dengan wali yang dipaksa
- Dewasa, tidak berhak menjadi wali dari seorang anak kecil. Sebab dia sendiri tidak menguasai urusan dirinya, bagaimana mungkin dia menguasai urusan orang lain.
- Berakal, tidak berhak menjadi wali orang yang idiot dan orang yang gila terus-menerus karena dia tidak bisa membedakan. Jika wali itu kadang-kadang sadar, tetapi yang paling seringnya, dia dalam keadaan gila, maka hendaklah wali ab'ad (wali yang jauh) menikahkan anaknya ketika waktu gilanya sebentar, tidak perlu menunggu sadar.
- Merdeka, seorang hamba sahaya tidak bisa menjadi wali.
- Wali itu laki-laki, seorang perempuan tidak bisa menjadi wali.
- Wali itu harus beragama islam, seorang wali yang kafir tidak memiliki kekuasaan untuk menikahkan perempuan yang muslim karena firman Allah : "dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman". (an Nisaa': 141). Karena di antara keduanya tidak memiliki hubungan kewalian (saling menguasai).
Adapun urutan wali:
- Ayahnya
- Kakeknya atau ke atas
- Anaknya ke bawah
- Saudara seayah atau seibu
- Saudara laki-laki ayah
- Anak laki-laki mereka ke bawah
- Yang membebaskan mereka
- Shulthon atau penguasa
- Yang diberi perwakilan
5. Dua orang saksi
Maksudnya ada dua orang saksi adil atau lebih yang hadir dalam pernikahan tersebut. Beberapa syarat saksi:
- Beragama islam
- Kedua saksi sudah baligh
- Keduanya berakal
- Merdeka
- Bisa mendengar, bisa melihat, dan bisa berbicara

Adapun syarat-syarat dalam pernikahan:
Ada sejumlah syarat yang menentukan keabsahan akad nikah, memberikan konsekuensi sah tidaknya akad, bahkan bisa membatalkan akad jika ada salah satu saja yang tertinggal. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Ridha dari pihak perempuan sebelum menikah
Seorang wali tidak berhak memaksa wanita untuk menikah denga norang yang tidak disukainya, dan jika tetap memaksanya padahal ia tidak ridha (suka), maka ia berhak mengajukan masalah ini ke pengadilan dan hakim pengadilan berhak membatalkan akad pernikahan tersebut.
2. Mahar, yakni pemberian yang diberikan suami kepada istrinya untuk bersenang-senang. Dan hukumnya wajib sebagaimana firman Allah : "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan". (an Nisaa': 4)

Penutup
Sebenarnya tujuan upacara tradisional adat Jawa adalah demi mencapai hidup lahir batin. Dengan mengadakan upacara tradisional itu, orang Jawa memenuhi kebutuhan spiritualnya, eling marang purwa daksina. Kehidupan ruhani jawa memang bersumber dari ajaran agama yang diberi hiasaan lokal. Oleh karenanya orientasi kehidupan keberagamaan orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan nenek moyangnya.
Namun sangat disayangkan, pernikahan yang merupakan ibadah "suci" harus ternoda karena adat yang menyelisihi syar'i. tidak diridhoi Allah, baik dengan amalan maksiat, bid'ah, ataupun kesyirikan. Dan ketika terjadi amalan tersebut maka tidak serta merta dapat dihukumi pernikahan tersebut tidak sah ataupun batal. Sebab tinjauan sah dan tidaknya suatu amalan adalah terpenuhi tidaknya rukun dan syarat amalan tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Sesungguhnya rasulullah telah memberikan contoh dalam prosesi pernikahan dengan sederhana. Cukuplah seseorang mengadakan pernikahan dengan sederhana sebagaimana sabdanya:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
"....Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing". (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Bahkan beliau pernah mengadakan walimah tanpa menghidangkan roti ataupun daging hanya sekedar kurma, keju dan minyak samin. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh shahabat Anas bin Malik dia berkata: "Aku menyaksikan dua walimah istri rasulullah , dan kami tidak memakan roti tidak pula daging. Maka diapun ditanya: "Lantas apa yang dimakan?" dia menjawab: al hiis yaitu kurma dan keju dengan minyak samin."
Wallahu a'lam, wallahu muwaffiq ila aqwamissabiil

Referensi
1. Upacara pengantin Jawa, Dr. purwadi, M. Hum dan Dra. Enis Niken H., M.Hum, Panji Pustaka Yogyakarta, Februari 2007.
2. Upacara Tradisional Jawa Menggali Untaian Kearifan Lokal, Dr. Purwadi, M.Hum, Cetakan Pertama: Oktober 2005, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
3. Upacara Tradisional dan ritual jawa, Suryo S. Negoro, Penerbit. CV. Buana Raya Surakarta, Cetakan Pertama 2001
4. Perkawinan Adat Jawa Lengkap, PT. Pabelan Surakarta, Andjar Any, cetakan tahun 1986
5. Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, M. Hariwijaya, Hanggar Kreator Jogjakarta, Cetakan kedua 2008
6. Tata Cara Adat Jawa, Tjaroko H.P. Teguh Pranoto, Kuntul Press, Cetakan pertama 2009
7. Meninjau hukum adat Indonesia, Suatu pengantar untuk mempelajari hukum adat, Prof. MR. DR. Soekarnto, Edisi ketiga Mei 1981
8. Jilbab Wanita Muslimah menurut Al Qur'an dan As Sunnah, Muhammad Nashiruddin Al Albani, penerjemah: Hawin Murtadho dan Abu Sayyid Sayyaf, At Tibyan, Solo
9. Asas-Asas hukum islam tentang perkawinan, Drs. Kamal Mukhtar, Bulan Bintang, Cetakan kedua tahun 1987
10. Dukun hitam dukun putih menguak rahasia kehebatan sekutu setan, Abu Umar Abdillah, Cetakan kedua Jumadits Tsani 1427/ Juli 2006, Wafa Press, Klaten.
11. Berjabat tangan dengan perempuan, Muhammad Ismail, penerjemah: H. Ahmad Danial Suhail, Gema Insani Press, Jakarta,Cetakan kedelapan belas, Sya'ban 1422 H / November 2001 M.
12. Fiqh nikah Panduan untuk pengantin, wali dan saksi, Ahmad bin Umar Ad Dairabi, Penerjemah: Heri Purnomo, Cetakan pertama Dzul Qa'dah 1423 H / Februari 2003 M, Penerbit: Mustaqim, Jakarta.
13. Kaidah-Kaidah Fikih, Moh. Kurdi Fadal, M.H.I., CV. Artha Rivera Jakarta Barat, 2008
14. Shohih Muslim, Imam Abul Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al Qusyairy an Nisabury, Darus Salam Riyadh, Cetakan pertama Rabiul Awwal 1419 H / Juli 1998 M.
15. Shohih Bukhori, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhory al Ju'fy, Darus Salam Riyadh, Cetakan pertama 1417 H / 1997 M.
16. Sunan Abu Daud, Imam al Hafidz Abu Daud Sulaiman bin al Asy'ab as Sajastany al Azdy, Dar Ibn Hazm Beirut Libanon, Cetakan pertama 1419 H / 1998 M
17. Sunan An Nasai ash Shugro, Imam al Hafidz Abdurrahman Ahmad bin Syu'aib bin Aly bin Sinan an Nasai, Darus Salam Riyadh, Cetakan Pertama Muharram 1420 H / April 1999 M.
18. Musnad Ahmad bin Hambal, Imam al Hafidz Abu Abdillah Ahmad bin Hambal, Baitul Afkar ad Dauliyah, Cetakan 1419 H / 1998 M.

Read More..

Pernikahan Jawa Menurut Tinjauan Syar'i

Menurut tinjauan syar'I pernikahan dengan adat jawa memiliki banyak penyimpangan terutama menurut tinjauan aqidah. Di antara adalah:
1. Pengharusan adanya atribut-atribut semacam (janur, kembang mayang, sepasang pohon pisang, dll)
Pada dasarnya menggunakan janur, kembar mayang, sepasang pohon pisang, dan yang lainnya tidaklah mengapa dalam islam. Sebab hukum asal hiasan seperti itu adalah mubah. Kecuali ada dalil yang menunjukkan atas keharamannya atau kehalalannya. Hal ini sesuai dengan kaidah yang mengatakan:
الأَصْلُ فِيْ اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ
"Hukum asal segala sesuatu adalah boleh"
Kaidah ini mengikuti keumuman firman Allah dalam surat al A'rof ayat 32: "Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya'" Dalam ayat tersebut Allah mengingkari terhadap orang-orang yang mengharamkan perhiasan, padahal tidak ada keterangan tentang itu dari Allah
Dengan niat, perbuatan seseorang dapat ditentukan statusnya, apakah bernilai ibadah atau tidak. Bahkan, niatlah yang menentukan ada dan tidaknya pahala dari apa yang dilakukan. Sehingga dari sini kita bisa ketahui bahwa atribut semisal, janur kuning, kembar mayang, dan sepasang pohon pisang dalam sebuah acara perkawinan akan menjadikan seseorang jatuh ke dalam kesyirikkan jika diniatkan untuk suatu tujuan tertentu yang tidak dibenarkan. Namun jika hal itu tidak diniatkan untuk sesuatu apapun atau diniatkan sebagai hiasan semata maka ia akan kembali pada hukum asalnya yaitu boleh.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah betulkah adanya janur kuning, kembar mayang, dan sepasang pohon pisang dalam sebuah acara perkawinan tersebut tidak ada unsur kesengajaan? Atau keberadaannya tersebut memang menjadi keharusan? Pada kenyataannya pemasangan atribut tersebut memiliki unsur kesengajaan dan merupakan keharusan. Maka hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab ia telah berkeyakianan bahwa kemaslahan dan kemadhorotan itu terletak pada benda-benda tersebut. Dan bukan karena takdir Allah . Dan ini merupakan kesyirikan sebab menggantungkan sesuatu kepada selain Allah . Padahal tidak ada yang dapat mendatangkan manfaat dan madhorot kecuali Allah .
2. Amalan atau ritual yang dilakukan merupakan perkara bid'ah
Seperti menginjak telur ketika pernikahan. Hal ini tidak sesuai dengan sunnah. Maka barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada sunnahnya akan tertolak, sebagaimana rasulullah  bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌُّ
"Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami sesuatu yang tidak kami perintahkan, maka akan tertolak" .
Acara semacam itu tidak pernah diajarkan oleh rasulullah  dan para sahabatnya. Padahal jika kita melihat, banyak di antara mereka yang memiliki istri lebih dari satu. Namun tidak pernah sampai riwayat bahwa rasulullah  dan para shahabatnya melakukan amalan seperti itu. Dalam hal ini cukuplah bagi kita untuk mengikuti sunnah dan tidak mengada-adakan sesuatu yang baru (bid'ah)
3. Menjadikan ritual siraman sebagai wahana untuk mensucikan diri
Alasan bahwa ritual siraman itu bisa menjadi wahana untuk mensucikan diri, jelas bertentangan dengan akidah islamiyah. Dalam islam, bukan dengan ritual siraman untuk mensucikan jasmani dan rohani. Tetapi dengan amalan ketaatan dan taubat nasuha. Seperti berwudhu, ibadah ini memiliki keutamaan menggugurkan dosa-dosa dan menjadi saran seseorang untuk mensucikan diri. Sebagaimana hadits nabi :
"Apabila seorang hamba mukmin berwudhu dan berkumur, maka berguguranlah dosa dari mulutnya. Jika ia melakukan istintsar (mengeluarkan air dari hidung), maka keluarlah dosa-dosanya dari hidungnya. Jika dia membasuh wajahnya, maka berguruanlah kesalahnnya dari wajahnya hingga dari ujung kedua matanya. Jika dia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dosa-dosa dari tangannya hingga keluar dari ujung kuku jarinya. Jika dia mengusap kepalanya, maka keluarlah dosa-dosa dari kepalanya hingga keluar dari kedua telinganya. Jika dia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dosa-dosa dari kedua kakinya, hingg akeluar dari kuku-kuku jari kakinya."
Keyakinan bahwa siraman dapat membersihkan segala dosa, agar terkabul hajatnya dan saran mendekatkan diri pada Allah merupakan suatu bentuk kesesatan yang nyata. Bagaimana mungkin kita bisa membersihkan diri dari segala dosa, dengan mengadopsi cara beribadahnya orang-orang musyrik penganut animisme dan dinamisme yang suka memuja jin penunggu tempat keramat?
4. Memberikan sesaji dan tumbal
Tumbal adalah sesuatu yang digunakan untuk menolak penyakit dan sebagainya, atau tolak bala. Sedangkan sesaji merupakan makanan atau bunga-bungaan dan sebagainya yang disajikan kepada orang (makhluk) halus dan semisalnya.
Tumbal, dalam prakteknya lebih khusus atau identik dengan sembelihan dank urban, sedangkan sesaji biasanya berbentuk makanan yang siap dihidangkan seperti: jenis-jenis bubur, buah, daging, atau ayam yang telah dimasak, dan dilengkapi dengan berbagai macam bunga serta terkadang uang logam.
Ini merupakan warisan budaya Hindu dan penganut animisme dinamisme yang biasa dilakukan untuk memuja para dewa, roh tertentu, atau penentu tempat, dan lain-lain yang dapat mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan.
Jadi inti tumbal dan sesaji adalah mempersembahkan sesuatu kepada makhluk halus (roh, jin, lelembut, penunggu, arwah leluhur, dll) dengan harapan agar yang diberi persembahan tersebut bisa memberikan manfaat atau menolak madharat.
Ritual seperti ini bertentangan dengan tauhid yang mengharuskan manusia menggantungkan hadirnya manfaat dan hilangnya madharat kepada Allah. Hal ini seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik di masa jahiliyah, sebagaimana firman Allah:
"Kemudian mereka mengambil ilah-ilah selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudaratan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan." (Al Furqon: 3)
Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui." (Fathiir: 13-14)
Oleh karenanya Allah memerintahkan kepada rasulullah  untuk menyelisihi orang-orang musyrik yang beribadah dan menyembelih untuk selain Allah dengan firman-Nya: Katakanlah: "Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (Al An'aam: 162-163)
Maka menyembelih dan memberikan sesaji ataupun tumbal kepada selain Allah merupakan kesyirikan dan dapat menyebabkan seseorang masuk neraka, sekalipun itu hanya lalat. Rasulullah  pernah mengisahkan seseorang yang masuk neraka karena seekor lalat, dan masuk karena seekor lalat. Beliau bersabda: "Ada seseorang masuk surga karena seekor lalat, dan ada seseorang masuk neraka karena seekor lalat pula." Para shahabat bertanya, "bagaimana hal itu bisa terjadi wahar rasulullah?" beliau menjawab, "Ada dua orang berjalan melewati suatu kaum yang memiliki berhala. Tak seorang pun dapat melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban. Ketika itu berkatalah mereka kepada salah seorang dari kedua orang tersebut, "Persembahkanlah korban untuknya." Dia menjawab, "Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan untuknya." Mereka pun berkata kepadanya lagi, "Persembahkan meskipun seekor lalat." Lalu orang tersebut mempersembahkan seekor lalat dan mereka pun memperkenankan dia untuk meneruskan perjalanan, maka dia masuk neraka karenanya. Kemudian mereka berkata kepada yang lain, "Persembakan korban untuknya." Dia menjawab, "Tidak patut bagiku mempersembahkan sesuatu kepada selain Allah azza wa jalla." Kemudian mereka memenggal lehernya. Karenanya orang ini masuk surga." (H.R. Ahmad)
Di dalam hadits tersebut seseorang dapat masuk neraka karena dia mengorbankan seekor lalat untuk selain Allah . Lantas bagaimana apabila yang dikurbankan adalah kepala kerbau, kepala sapi, atau yang semisalnya yang secara dhohir memiliki nilai lebih daripada seekor lalat?? Bukankah ini merupakan kesyirikan yang nyata sebab dia menyimpangkan peribadatan yang harusnya diperuntukkan kepada Allah semata namun dia peruntukkan untuk selain Allah??

5. Menjadi ajang publikasi bagi kedua mempelai dan terjadinya ikhtilat antara wanita dan laki-laki tanpa adanya pembatas
Termasuk rangkaian acara pernikahan jawa adalah temu pengantin. Di sini pengantin menjadi pajangan dan tontonan bagi hadirin. Hal ini jelas bertentangan dengan perintah untuk menundukkan pandangan. Sebab tidak satu ayat atau satu hadits pun yang membolehkan seseorang melihat wanita yang bukan mahromnya juga sebaliknya. Dengan disandingkannya pasangan pengantin di hadapan tamu undangan jelas akan membuka kesempatan untuk saling melihat. Allah berfirman: "Katakanlah kepada wanita yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya'". (An-Nuur: 31)
Bahkan sering terjadi ikhtilat (campur) antara laki-laki dan perempuan. Tak jarang pula pamong tamu yang menyalami lawan jenis yang bukan mahromnya. Baik laki-laki menyalami perempuan ataupun perempuan menyalami laki-laki. Pahadal hal ini asngat dilarang oleh rasulullah  melalui sabdanya:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ (روا الطبراني)
"Sekiranya salah seorang di antara kamu ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (H.R. Ath-Thabrani)
Bahkan dalam membaiat para shahabiahpun rasulullah  tidak pernah menyentuh tangan wanita dalam proses pembai'atan, beliau membaiat melalui sabdany, "Aku telah membaiatmu dengan itu (yakni ucapan)." (H.R. Bukhori)
Dalam riwayat lain rasulullah  mengatakan kepada mereka:
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ....
"Sesungguhnya aku tidak menyalami tangan wanita…" (H.R. Malik, Ahmad, Tirmidzi, An-Nasaa'I, dan Ibnu Majah)
6. Merias pengantin dengan berlebihan
Salah satu kemungkaran yang terjadi dalam acara tersebut adalah dihiasinya wajah kedua mempelai dengan sangat berlebihan. Bahkan di antara mereka ada yang dengan sengaja mencukur habis alis matanya dengan tujuan untuk mendapatkan alis yang lebih sempurna bentuknya. Atau, dianatara mereka juga ada yang tak segan-segan menyambung rambutnya agar kelihatan lebih cantik. Maka termasuklah mereka kedalam golongan orang-orang yang dimurkai oleh Allah yang merubah ciptaan Allah. Rasulullah  bersabda:
Dalam sebuah hadits disebutkan: dari Alqomah dari Ibnu Umar ia berkata:
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ
"Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dan yang meminta untuk dibuatkankan, wanita-wanita yang mencukur alisnya dan yang dicukurkan alisnya, serta wanita-wanita yang mengikir giginya agar kelihatan lebih cantik dengan mengubah ciptaan Allah …."
Dalam hadits yang lainnya juga disebutkan: Dari Aisyah xia berkata: "Ada seorang wanita anshor yang menikahkan putrinya, namun rambut putrinya tersebut berguguran karena suatu penyakit. Maka ia datang menemui Rasululah saw seraya berkata: "Wahai rasulullah , sesungguhnya calon suaminya mengharapkan dia, bolehkan aku menyambungkan rambut untuknya? Maka rasulullah saw berabda: "orang yang menyambung akan mendapatkan laknat Allah".
Pada masa sekarang mereka yang menyambung rambut dengan rambut palsu (wig) atau mengubah bentuk alis dan hidung bukan termasuk perbuatan yang tidak ada konsekwensi hukumnya. Padahal para ulama` telah menjelaskan bahwa semua itu termasuk ke dalam larangan Allah dan Rasulullah .
Kemungkaran ini akan lebih terlihat jelas lagi dengan mereka lakukan di salon-salon. Sebab tidak jarang para pengantin mempercayakan periasan wajahnya kepada tukang-tukang salon. Padahal tidak jarang di antara mereka yang bukan dari kaum wanita. Tapi banyak juga di antara juru rias tersebut adalah dari kalarangan kaum pria. Artinya, bertambahnya nilai kemaksiatan tersebut karena selain ia merubah bentuk yang telah Allah ciptakan, pekerjaan itu dilakukan oleh seorang laki-laki yang bukan mahromnya!! Dengan demikian -dan pasti- laki-laki tersebut akan sangat leluasa untuk melihat dan memegang seorang wanita yang bukan mahromnya. Dan ini jelas haram di dalam Islam.
7. Menggunakan pakaian yang tidak islami dan mengumbar aurot
Ketika acara pernikahan berlangsung sang mempelai wanita mengenakan pakaian adat jawa yang sarat dengan terbukanya aurot. Padahal wanita muslimah yang telah baligh wajib menutup aurotnya. Dan termasuk aurotnya adalah seluruh anggota badannya dan tidak menampakkankan sedikitpun perhiasannya, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Hal ini sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari 'Aisyah x bahwa Asma' binti Abu Bakar x menemui Rasulullah  sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka, rasulullah  berpaling darinya dan berkata kepadanya, "Wahai Asma'! Sesungguhnya, jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini." Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Allah Pemberi taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya."
Juga firman Allah  dalam surat an-Nuur ayat 31 menegaskan kewajiban untuk menutup seluruh perhiasan, tidak memperlihatkan sedikitpun diantaranya kepada pria-pria ajnabi , kecuali perhiasan yang tampak tanpa kesengajaan dari mereka.
Selain itu pakaian islami haruslah memenuhi beberapa syarat berikut ini:
a. Meliputi seluruh badan, selain yang dikecualikan
b. Bukan berfungsi sebagai perhiasan
c. Tebal, tidak tipis
d. Longgar, tidak ketat
e. Tidak diberi parfum atau minyak wanig
f. Tidak menyerupakai pakaian laki-laki
g. Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir
h. Bukan pakaian untuk mencari popularitas
Perlu diketahui, sebagian dari syarat-syarat ini tidak khusus bagi wanita, tetapi juga bagi pria.

Read More..

Arrahmah.Com - Technology

Arrahmah.Com - International

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP