Absahkah perkawinan tersebut?

>> Jumat, 31 Juli 2009

Berbicara tentang absah dan tidaknya suatu amalan maka perlu menengok bagaimana islam memandang hal itu. Di dalam islam hukum tentang pernikahan tidak terkait dnegan kesyirikan yang dia lakukan ataukah tidak. Orang musyrik sekalipun ketika melakukan perkawinan dengan memenuhi rukun dan syaratnya maka akan dianggap sah, terlebih seorang muslim. Walaupun pada prosesi pernikahan tersebut terdapat kesyirikan, kebid'ahan, ataupun maksiat. Sebab di dalam islam akad pernikahan akan menjadi sah dan batal dikarenakan terpenuhi atau tidaknya rukun dan syaratnya. Akad perkawinan dikatakan sah apabila akad tersebut dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan islam. Dan akad perkawinan dikatakan batal apaila kurang atau tidak sempurna salah satu dari syarat-syarat atau rukun-rukunnya.
Adapun Rukun-Rukun Nikah adalah sebagai berikut:
1. Shighot (Ucapan Akad/ Ijab Qobul)
Sighot ini cukup dengan perkataan wali (ijab) "Saya nikahkan engkau dengan si fulanah (nama pengantin perempuan) dengan mahar ……..". perkataan wali dari calon istri dijawab oleh calon suami (qobul) dengan perkataan: "Aku terima nikah si fulan dengan mahar…………".
2. Pengantin Perempuan
Disyaratkan bagi pengantin perempuan adalah suatu kehalalan untuk dinikahi. Tidak sah hukumnya menikahi perempuan yang masih mahram (yang haram untuk dinikahi). Perempuan ini juga tidak mempunyai suami dan tidak memiliki 'iddah (sebab masih ada hak orang lain yang berkaitan dengan perempuan itu). Perempuan itu juga harus diketahuai keperempuannya sehingga jelas statusnya.
Perempuan itu juga harus jelas (ada orangnya) dan tidak sah nikah jika wali mengatakan "Saya nikahkan engkau dengan anak saya" sementara dia memiliki anak perempuan lain, sehingga dia menjelaskannya dengan menyebut namanya atau dengan menunjuk kepadanya jika dia hadir.
3. Pengantin Laki-Laki
Disyaratkan bagi pengantin laki-laki adalah adanya kehalalan untuk dinikahi. Pengantin laki-laki juga harus pasti orangnya. Dengan demikian tidak sah dengan orang yang belum pasti, seperti wali berkata "saya nikahkan anak saya dengan seseorang", hal ini sama halnya dengan jika wali bermaksud kepada seseorang dari dua anaknya.
4. Wali
Wali adalah orang yang mengurus akad pernikahan seorang perempuan dan tidak membiarkannya melakukan akad sendiri tanpa kehadirannya.
Seorang wali memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pernikahan sebagaimana sabda rasulullah :
لاَ نِكاَحَ إِلاَّ بِوَلِيِّ
"Tidak sah sebuah pernikahan kecuali dengan seizin wali" (H.R. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)
Dalam riwayat lain beliau bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ –ثَلاَثًا- وَ لَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا, فَإِنْ اشْتَجَرُوْا فَإِنَّ السُّلْطَانَ وَلِيٌّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ (رواه أبو داود و الترمذي و ابن ماجه و أحمد)
"Wanita manapun yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal (tidak sah) -beliau mengatakannya tiga kali- dan ia berhak mendapatkan maharnya karena suami telah menyetubuhinya. Jika para wali berselisih untuk menghalang-halanginya untuk menikah, maka sulthan (pemerintah) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali." (H.R. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)
Syarat-syarat wali:
- Bisa memilih, artinya tidak sah menikah dengan wali yang dipaksa
- Dewasa, tidak berhak menjadi wali dari seorang anak kecil. Sebab dia sendiri tidak menguasai urusan dirinya, bagaimana mungkin dia menguasai urusan orang lain.
- Berakal, tidak berhak menjadi wali orang yang idiot dan orang yang gila terus-menerus karena dia tidak bisa membedakan. Jika wali itu kadang-kadang sadar, tetapi yang paling seringnya, dia dalam keadaan gila, maka hendaklah wali ab'ad (wali yang jauh) menikahkan anaknya ketika waktu gilanya sebentar, tidak perlu menunggu sadar.
- Merdeka, seorang hamba sahaya tidak bisa menjadi wali.
- Wali itu laki-laki, seorang perempuan tidak bisa menjadi wali.
- Wali itu harus beragama islam, seorang wali yang kafir tidak memiliki kekuasaan untuk menikahkan perempuan yang muslim karena firman Allah : "dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman". (an Nisaa': 141). Karena di antara keduanya tidak memiliki hubungan kewalian (saling menguasai).
Adapun urutan wali:
- Ayahnya
- Kakeknya atau ke atas
- Anaknya ke bawah
- Saudara seayah atau seibu
- Saudara laki-laki ayah
- Anak laki-laki mereka ke bawah
- Yang membebaskan mereka
- Shulthon atau penguasa
- Yang diberi perwakilan
5. Dua orang saksi
Maksudnya ada dua orang saksi adil atau lebih yang hadir dalam pernikahan tersebut. Beberapa syarat saksi:
- Beragama islam
- Kedua saksi sudah baligh
- Keduanya berakal
- Merdeka
- Bisa mendengar, bisa melihat, dan bisa berbicara

Adapun syarat-syarat dalam pernikahan:
Ada sejumlah syarat yang menentukan keabsahan akad nikah, memberikan konsekuensi sah tidaknya akad, bahkan bisa membatalkan akad jika ada salah satu saja yang tertinggal. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Ridha dari pihak perempuan sebelum menikah
Seorang wali tidak berhak memaksa wanita untuk menikah denga norang yang tidak disukainya, dan jika tetap memaksanya padahal ia tidak ridha (suka), maka ia berhak mengajukan masalah ini ke pengadilan dan hakim pengadilan berhak membatalkan akad pernikahan tersebut.
2. Mahar, yakni pemberian yang diberikan suami kepada istrinya untuk bersenang-senang. Dan hukumnya wajib sebagaimana firman Allah : "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan". (an Nisaa': 4)

Penutup
Sebenarnya tujuan upacara tradisional adat Jawa adalah demi mencapai hidup lahir batin. Dengan mengadakan upacara tradisional itu, orang Jawa memenuhi kebutuhan spiritualnya, eling marang purwa daksina. Kehidupan ruhani jawa memang bersumber dari ajaran agama yang diberi hiasaan lokal. Oleh karenanya orientasi kehidupan keberagamaan orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan nenek moyangnya.
Namun sangat disayangkan, pernikahan yang merupakan ibadah "suci" harus ternoda karena adat yang menyelisihi syar'i. tidak diridhoi Allah, baik dengan amalan maksiat, bid'ah, ataupun kesyirikan. Dan ketika terjadi amalan tersebut maka tidak serta merta dapat dihukumi pernikahan tersebut tidak sah ataupun batal. Sebab tinjauan sah dan tidaknya suatu amalan adalah terpenuhi tidaknya rukun dan syarat amalan tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Sesungguhnya rasulullah telah memberikan contoh dalam prosesi pernikahan dengan sederhana. Cukuplah seseorang mengadakan pernikahan dengan sederhana sebagaimana sabdanya:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
"....Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing". (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Bahkan beliau pernah mengadakan walimah tanpa menghidangkan roti ataupun daging hanya sekedar kurma, keju dan minyak samin. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh shahabat Anas bin Malik dia berkata: "Aku menyaksikan dua walimah istri rasulullah , dan kami tidak memakan roti tidak pula daging. Maka diapun ditanya: "Lantas apa yang dimakan?" dia menjawab: al hiis yaitu kurma dan keju dengan minyak samin."
Wallahu a'lam, wallahu muwaffiq ila aqwamissabiil

Referensi
1. Upacara pengantin Jawa, Dr. purwadi, M. Hum dan Dra. Enis Niken H., M.Hum, Panji Pustaka Yogyakarta, Februari 2007.
2. Upacara Tradisional Jawa Menggali Untaian Kearifan Lokal, Dr. Purwadi, M.Hum, Cetakan Pertama: Oktober 2005, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
3. Upacara Tradisional dan ritual jawa, Suryo S. Negoro, Penerbit. CV. Buana Raya Surakarta, Cetakan Pertama 2001
4. Perkawinan Adat Jawa Lengkap, PT. Pabelan Surakarta, Andjar Any, cetakan tahun 1986
5. Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, M. Hariwijaya, Hanggar Kreator Jogjakarta, Cetakan kedua 2008
6. Tata Cara Adat Jawa, Tjaroko H.P. Teguh Pranoto, Kuntul Press, Cetakan pertama 2009
7. Meninjau hukum adat Indonesia, Suatu pengantar untuk mempelajari hukum adat, Prof. MR. DR. Soekarnto, Edisi ketiga Mei 1981
8. Jilbab Wanita Muslimah menurut Al Qur'an dan As Sunnah, Muhammad Nashiruddin Al Albani, penerjemah: Hawin Murtadho dan Abu Sayyid Sayyaf, At Tibyan, Solo
9. Asas-Asas hukum islam tentang perkawinan, Drs. Kamal Mukhtar, Bulan Bintang, Cetakan kedua tahun 1987
10. Dukun hitam dukun putih menguak rahasia kehebatan sekutu setan, Abu Umar Abdillah, Cetakan kedua Jumadits Tsani 1427/ Juli 2006, Wafa Press, Klaten.
11. Berjabat tangan dengan perempuan, Muhammad Ismail, penerjemah: H. Ahmad Danial Suhail, Gema Insani Press, Jakarta,Cetakan kedelapan belas, Sya'ban 1422 H / November 2001 M.
12. Fiqh nikah Panduan untuk pengantin, wali dan saksi, Ahmad bin Umar Ad Dairabi, Penerjemah: Heri Purnomo, Cetakan pertama Dzul Qa'dah 1423 H / Februari 2003 M, Penerbit: Mustaqim, Jakarta.
13. Kaidah-Kaidah Fikih, Moh. Kurdi Fadal, M.H.I., CV. Artha Rivera Jakarta Barat, 2008
14. Shohih Muslim, Imam Abul Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al Qusyairy an Nisabury, Darus Salam Riyadh, Cetakan pertama Rabiul Awwal 1419 H / Juli 1998 M.
15. Shohih Bukhori, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhory al Ju'fy, Darus Salam Riyadh, Cetakan pertama 1417 H / 1997 M.
16. Sunan Abu Daud, Imam al Hafidz Abu Daud Sulaiman bin al Asy'ab as Sajastany al Azdy, Dar Ibn Hazm Beirut Libanon, Cetakan pertama 1419 H / 1998 M
17. Sunan An Nasai ash Shugro, Imam al Hafidz Abdurrahman Ahmad bin Syu'aib bin Aly bin Sinan an Nasai, Darus Salam Riyadh, Cetakan Pertama Muharram 1420 H / April 1999 M.
18. Musnad Ahmad bin Hambal, Imam al Hafidz Abu Abdillah Ahmad bin Hambal, Baitul Afkar ad Dauliyah, Cetakan 1419 H / 1998 M.

0 komentar:

Arrahmah.Com - Technology

Arrahmah.Com - International

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP