Mengais Rejeki Menggapai Ridho Ilahi

>> Kamis, 06 Agustus 2009

Dalam sabdanya, Rasulullah  mengabarkan ketika janin berumur empat bulan dari usia kandungannya datang malaikat yang meniupkan ruh. Malaikat juga menuliskan empat perkara; rejekinya, umurnya, amalnya, dan nasibnya apakah termasuk golongan yang celaka ataukah bahagia.
Ini merupakan ketetapan ilahi yang tidak bisa diubah lagi. Ketetapan yang telah ditulis di lauhul mahfudz 50 ribu tahun sebelum penciptaan alam raya dan seisinya.
Sedangkan di dalam kitab-Nya Allah mengabarkan bahwa rejeki manusia telah ia tetapkan. Sebagaiman firman-Nya: “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (Qs. Az Zukhruf: 32)

Namun bukan berarti dengan ketetapan ini kita berputus asa dan tidak bekerja. Karena di ayat yang lain Allah berfirman: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah.” (Qs. Al Jum’ah: 9-10). Ayat ini memerintahkan umat-Nya untuk mencari rejeki yang Allah turunkan -tentunya dengan jalan yang halal-.
Begitu jelas Allah menjelaskan melalui lisan rasul-Nya dan juga di dalam kitab-Nya. Tetapi seakan menjadi sunnatullah, ada juga segolongan manusia yang enggan bekerja dengan alasan menafikan tawakkal. Mereka mau menerima pemberian orang lain tetapi tidak mau bekerja. Menurut mereka itulah hakekat tawakal, sedangkan bekerja untuk memenuhi kebutuhan dikatakan musyrik karena tidak mempercayai bahwasanya rejeki telah dijamin.
Padahal para ulama telah menjelaskan bahwa keterikatan hati dengan sebab-sebab adalah boleh adanya. Dan hal ini tidak menafikan tawakal, karena persoalan rejeki itu telah menjadi ketetapan. Bertawakkal merupakan kewajiban. Tetapi, berusaha dan mengambil sebab-sebab juga kewajiban. Barangsiapa mencela sebab berarti mencela sunnah dan barangsiapa mencela tawakal maka ia telah mencela iman.
Rasulullah , manusia yang paling bertawakkalpun juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu juga shahabat-shahabat beliau. Ada yang berdagang melintasi daratan dan menyeberangi lautan, bercocok tanam, menggembala, dan melaksanakan berbagai pekerjaan lainnya. Tidak ada di antara mereka yang meminta-minta. Bahkan hal itu menjadi pantangan dan hanya menjadikan kenistaan bagi pelakunya.
Para nabipun selain berdakwah mereka juga bekerja. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Abbas : “Nabi Adam adalah pembajak tanah, Nabi Nuh tukang kayu, Nabi Idris penjahit, Nabi Ibrahim dan Luth petani, Nabi Sholih pedagang, Nabi Daud pembuat baju besi, Nabi Musa, Nabi Syu’aib, dan Nabi Muhammad adalah penggembala.”
Maka sangatlah naïf, apabila ada orang yang tidak mau bekerja atas nama tawakkal. Hal ini menyalahi sunnah rasulullah . Suatu ketika Imam Ahmad ditanya oleh seseorang, “Bagaimana pendapat tuan apabila ada orang yang duduk di masjid, seraya berkata, “Aku tidak akan bekerja, toh rejeki akan datang dengan sendirinya kepadaku!” Maka Imam Ahmad menjawab, “Dia adalah orang yang tidak berilmu. Apakah dia tidak mendengar hadits rasulullah , “Allah menjadikan rejekiku di bawah naungan tombakku”. Apakah dia juga tidak mendengar sabdanya yang lain, “burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan perutnya kosong dan pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang.”
Selain itu pernah suatu hari Ibnu Mas’ud berjalan melewati pemuda yang duduk-duduk tanpa mengerjakan apa-apa. Kemudian dia berkata: “Aku sangat benci sekali melihat seorang laki-laki yang tidak beramal untuk akhiratnya juga tidak bekerja untuk dunianya.”

Bekerja Adalah Ibadah
Ibadah tidaklah sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan manusia, yakni hanya terbatas shalat, zakat, puasa, atau ibadah-ibadah mahdhoh lainnya. Lebih dari itu, apabila bekerja diniatkan sebagai wasilah agar dapat menjalankan perintah-Nya dengan sempurna juga termasuk ibadah.
Karena ibadah sesuai dengan yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah adalah, “Segala sesuatu yang dicintai oleh Allah berupa perkataan atau perbuatan, baik yang dhohir (nampak) maupun yang batin (tidak nampak).”
Sebagai contoh konkretnya, pada suatu hari Rasulullah  duduk-duduk bersama shahabatnya. Mereka melihat seorang pemuda yang gagah lagi kuat, dia berpagi-pagi dan bersegera pergi ke pasar. Maka para shahabat pun berkata: “Sayang sekali, seandainya saja masa mudanya digunakan di jalan Allah”. Maka Rasulullahpun bersabda: “Janganlah kalian berkata seperti itu, sesungguhnya apabila dia bekerja untuk menghidupi anaknya yang masih kecil maka dia di jalan Allah. Dan apabila dia bekerja untuk menjaga dirinya sendiri (dari meminta-minta) maka dia di jalan Allah. Sedangkan apabila dia bekerja untuk riya’ dan berbangga diri maka itu di jalan syaithan”. Kemudian ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, pekerjaan apa yang paling baik?” Beliau bersabda: “Hasil pekerjaan tangannya dan setiap jual beli yang baik.” (HR. Thabrani dan sanadnya shahih)
Abu Sulaiman Ad Daroni berkata: “Ibadah menurut kami tidaklah sekedar engkau sholat sedangkan orang lain sibuk bekerja untuk menghidupimu. Akan tetapi mulailah dengan memenuhi kebutuhanmu kemudian beribadahlah.”
Umar bin Khattab  juga pernah berkata: “Janganlah salah seorang dari kalian hanya duduk-duduk saja kemudian berdoa, “Ya Allah berikanlah aku rejeki”. Sesungguhnya kalian tahu bahwasanya langit tidak pernah menurunkan hujan emas dan perak.”

0 komentar:

Arrahmah.Com - Technology

Arrahmah.Com - International

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP