Tidur Yang Membatalkan Wudhu

>> Kamis, 14 Agustus 2008

Pendahuluan
Segala puji bagi Allah  yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kehadirat nabi Muhammad  dan seluruh sahabat beliau.
Salah satu ajaran yang paling pokok dalam Islam adalah masalah shalat. Ia merupakan salah satu dari rukun Islam, tiangnya agama. Bahkan shalat menjadi tolok ukur bagus tidaknya amalan seorang muslim. Dan merupakan amalan manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat kelak.
Oleh karena itu, mengingat pentingnya masalah shalat ini, hendaknya seorang muslim mengetahui hal-hal yang berkaitan denganya. Baik hal-hal yang menjadikan shalat itu baik dan benar atau pun hal-hal yang bisa merusak shalat itu sendiri.
Satu hal yang paling urgen dalam masalah ini adalah keadaan seseorang yang menentukan sah tidaknya shalat itu sendiri. Di antaranya adalah masalah thaharah. Karena orang yang tidak suci ketika shalat maka shalatnya tidak sah. Untuk itu perlu kita ketahui sesuatu yang bisa membatalkan thaharah itu sendiri.
Ada banyak hal yang bisa membatalkan thaharah. namun dalam makalah ini kami hanya akan membahas tidur, apakah membatalkan thaharah atau tidak. Mengingat banyaknya perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqih, maka kami perlu membahas masalah ini.
Dalam tulisan ini akan kami paparkan dalil-dalil yang berhubungan dengan tidur, baik yang menunjukkan batalnya wudhu dan juga yang menunjukkan tidak batalnya wudhu karena tidur itu sendiri. Juga kami paparkan perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih dalam masalah ini, dan kami akhiri dengan kesimpulan.
Kami menyadari banyaknya kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini. Untuk itu kami meminta ustadz yang terkait untuk bisa mengoreksi dan memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Dan kami senantiasa memohon ampun kepada Allah  atas kesalahan, baik disengaja ataupun tidak.

Pengertian
Tidur adalah keadaan dimana seseorang hilang kesadarannya.
Sedangkan orang yang batal wudhunya berarti ia tidak dalam keadaan suci lagi atau terkena hadats, maka ia harus berwudhu agar kembali suci.

Dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah ini
Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa tidur tidak membatalkan wudhu.
1. Hadits anas bin malik , ia berkata, “saat itu sudah dikumandangkan iqamat untuk shalat, tetapi Nabi  memanggil seseorang dan beliau terus memanggilnya sampai para sahabat yang lain tertidur, kemudian nabi  datang dan shalat bersama mereka.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُاكَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِي وَاللَّهِ

Dari qatadah dia berkata, “aku mendengar anas berkata, “dahulu shahabat-shahabat Rasulullah  tidur kemudian shalat dengan tidak berwudhu lagi’, ada yang berkata, “aku bertanya, ‘engkau mendengarnya dari anas?”, dia menjawab, “ya, demi Allah.”
3. Hadits ibnu abbas , ia berkata, “aku bermalam di rumah bibiku maimunah, Rasulullah  bangun dan aku berdiri di samping kirinya, maka beliau memegang tanganku dan menjadikanku di sebelah kanannya, maka apabila aku tertidur, beliau memegang daun telingaku.” Ibnu abbas mengatakan beliau shalat sebelas rekaat.
4. Hadits yang diriwayatkan dari ibnu abbas  ia berkata:
بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ قَالَ خَطِيطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

“Aku bermalam di rumah bibiku Maimunah, maka Rasulullah  shalat isya’, kemudian beliau  datang dan shalat empat rekaat kemudian tidur kemudian bangun, maka aku berdiri di samping kiri beliau , maka rasulullah  menjadikanku di sebelah kanannya kemudian shalat lima rekaat dan dua rekaat kemudian beliau tidur sampai aku mendengar dengkuran beliau kemudian beliau keluar untuk shalat.
Secara dhahir dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa tidur tidak membatalkan wudhu. dan semua hadits-hadits di atas shahih.
Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa tidur membatalkan wudhu.
1. Hadits safwan bin assal, dia berkata, “Rasulullah  memerintahkan kami mengusap sepatu-sepatu kami tatkala kami bepergian jauh dan tidak dilepas selama tiga hari, baik karena buang air besar, kencing, atau tidur, kecuali mengalami janabat.” . hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah  menyamakan semua jenis tidur, tidak mengkhususkan lama atau sebentar, satu keadaan dengan keadaan yang lain, dan disamakan antara tidur dengan perkara buang air besar atau kecil.
2. Dari Ali bin Abi Thalib , dari nabi ,
“kedua mata adalah tali (penutup) dubur, barang siapa yang tidur, hendaklah dia berwudhu.”
3. Ulama yang menyatakan bahwa tidur membatalkan wudhu mengatakan para ulama bersepakat mewajibkan wudhu bagi seorang yang hilang akalnya karena gila atau pingsan, bagaimana pun kondisinya, demikian juga halnya dengan tidur.

Perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqih
dalam hal ini para ulama terbagi menjadi tiga kelompok pendapat:
Pertama: tidur itu membatalkan wudhu (hadats). Karenanya orang yang berpendapat demikian mewajibkan wudhu bagi orang yang tidur, baik sedikit atau banyak.
Kedua: tidur bukan merupakan hadats. Karenanya, tidak wajib wudju lantaran tidur. Kecuali jika ketika tidur itu yakin mengeluarkan hadats. Ini menurut fuqaha’ yang tidak menganggap pengaruh ragu-ragu, kecuali jika orang yang tidur itu merasa ragu. Menurut fuqaha’ yang berpendapat bahwa syak itu terdapat pengaruh, maka sebagian ulama salaf—jika tidur—mereka minta kepada orang lain untuk menilai keadaannya, apakah mengeluarkan hadats atau tidak.
Ketiga: membedakan antara tidur sedikit dengan tidur banyak. Mereka mewajibkan wudhu untuk tidur banyak, sedang tidur sedikit tidak mewajibkan wudhu.

Pendapat dari empat Mazhab:
Hanafiah: Pada hakekatnya tidur itu sendiri tidak membatalkan wudhu, kecuali dalam tiga keadaan. Pertama: tidur dengan posisi miring, kedua: tidur denga posisi berbaring atau terlentang. Ketiga: tidur bertumpu pada salah satu pangkal paha.
Tidur dengan tiga posisi di atas menyebabkan longgarnya persendian, sehingga seseorang tidak tahu keadaan dirinya. Sedangkan posisi tidur dengan duduk tenang di atas tanah atau yang lainnya maka tidak membatalkan wudhu, sesuai dengan pendapat yang paling benar.
Syafi’iyyah: Orang yang tidur batal wudhunya kecuali antara pantat dan tempat duduknya rapat dan tidak ada celah, seperti dengan duduk atau menunggang kendaraan. Sedangkan kalau ada celah antara keduanya maka wudhunya batal. Sedangkan ngantuk tidak membatalkan wudhu, walaupun keadaannya sangat ngantuk, karena ia masih bisa mendengar suara orang yang berbicara di dekatnya walaupun tidak memahaminya.
Hanabilah: Tidur membatalkan wudhu bagaimana pun keadaanya. Kecuali tidur yang ringan dalam posisi duduk atau berdiri.
Dalam kitab Al-Mugni disebutkan, tidur terbagi menjadi tiga: pertama, tidur terlentang. Tidur yang seperti ini membatalkan wudhu, baik sebentar atau lama (menurut pendapat yang mengatakan tidur membatalkan wudhu). Kedua, tidur dengan duduk. Jika tidurnya sebentar tidak membatalkan wudhu, namun jika lama maka membatalkan wudhu. Ketiga, selain dua keadaan di atas. Yaitu tidur dengan posisi berdiri, ruku atau sujud. Ada yang mengatakan batal wudhunya, namun ada yang mengatakan tidak batal wudhunya dengan catatan tidurnya tidak lama.
Malikiyah: Tidur yang nyenyak membatalkan wudhu baik sedikit atau banyak, dengan posisi berdiri, duduk ataupun sujud. Sedangkan tidur yang ringan tidak membatalkan wudhu, baik sebentar maupun lama dengan posisi apa pun.

Munaqasah
Karena dalil-dalil yang ada saling bertentangan, maka dalam mensikapi hal ini para ulama menggunakan dua metode, tarjih dan thoriqotul jam’i.
Ulama yang mengikuti cara tarjih, kadang berpendapat ingin menghapuskan kewajiban wudhu lantaran tidur sama sekali, berdasarkan hadits-hadits yang menghapuskannya. Kadang, mereka mewajibkan wudhu karena tidur—sedikit atau banyak—berdasarkan hadits-hadits yang mewajibkan wudhu. Jadi hadits yang terkuat tidak tampak jelas, apakah hadits yang mewajibkan wudhu atau yang menghapuskannya.
Kelompok yang berpendapat dengan metode thoriqotul jam’i menginterpretasikan hadits-hadits yang mewajibkan wudhu karena tidur dengan pengertian tidur yang banyak. Sedang hadits yang tidak mewajibkan wudhu karena tidur diartikan sebagai tidur yang sedikit. Penjamakan ini, adalah pendapat jumhur ulama’.
Sedangkan menurut ulama ushul, cara thoriqotul jam’i lebih bisa dipandang lebih baik dibandingkan cara tarjih, selama masih bisa dilakukan penjamakan.
Imam syafi’i, ketika mengecualikan tidur dengan duduk dari kewajiban wudhu mengajukan argumentasi bahwa masalah itu sudah diriwayatkan secara shahih dari para sahabat. Bahwa mereka tidur sambil duduk, lalu mengerjakan shalat tanpa wudhu terlebih dahulu.
Imam Abu Hanifah menyatakan wajibnya wudhu dikarenakan tidur dengan berbaring. Beliau menyandarkan pendapatnya ini dengan hadits marfu’ yang diriwayatkan dari ibnu umar  :
إنما الوضوء على من نام مضطجعا
“Sesungguhnya wudhu itu hanya (wajib) atas siapa saja yang tidur berbaring.”
Sedangkan imam malik berpendapat bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang pada dasarnya mendatangkan hadats. Sehingga dalam hal ini, imam malik dalam hal ini mempertimbangkan tiga segi: kenyenyakan, lamanya dan cara tidur. Namun imam malik tidak mengemukakan syarat lamanya atau cara tidurnya disamping segi nyenyaknya yang pada dasarnya hadats itu keluar. Sedang cara tidur yang pada prinsipnya tidak mendatangkan hadats, beliu mensyaratkan lama dan nyenyaknya tidur.

Pendapat yang rajih.
Dari semua dalil dan perbedaan pendapat di antara ulama fiqih yang ada bisa ditarik kesimpulan bahwa tidur yang pulas yang menyebabkan hilangnya kesadaran, tidak mampu mendengar suara, tidak merasakan jika sesuatu jatuh dari tangannya atau jika ada air liur keluar dari mulutnya dan lain-lain, adalah tidur yang membatalkan wudhu. Sebab tidur semacam ini menandai terjadinya hadats, sama saja apakah dalam posisi berdiri, duduk, berbaring, ruku’, sujud, tidak ada bedanya semua posisi itu.
Tetapi jika tidur ringan berupa rasa kantuk yang sangat sehingga orang tersebut masih merasakan hal-hal yang kami sebutkan di atas, maka bagaimana pun kondisinya, tidur seperti itu tidak membatalkan wudhu. Sesuai dengan hadits yang menyebutkan tertidurnya para shahabat sampai kepala mereka tertunduk, dan hadits Ibnu Abbas ketika shalat bersama nabi . Dengan demikian terkumpullah seluruh dalil-dalil yang tersebut di dalam bab ini. Wallahu a’lam bish-shawab

Referensi
1. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul-Maqashid, Ibnu Rusyd, Darul-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon
2. “Shahih Fiqih Sunnah Lengkap Berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan para imam yang termasyhur“, Abdul Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, pustaka azzam, jakarta, cetakan ke I tahun 2006.
3. Al-Mugni, Ibnu Qudamah, hajar, kairo, cetakan ke II tahun 1412 H/1992 M.
4. Al-Fiqhul Al-Islamy Wa Adillatihi, Dr. Wahbah Az-Zahily, Darul-Fikri, Damsyiq, cetakan ke III tahun 1409 H/1989 M.
5. Maktabah Syamilah

2 komentar:

zuffah_ingin menjadi lebih baik 21 Oktober 2010 pukul 23.16  

ust bs diulas lebih banyak lagi tentang posisi tidur yg membatalkan wudhu' ana ge butuh untuk penulisan skripsi,,, kemudian buku2 yang mudah sya dapatkan,,, dan yg lebih khusus antara syafi'i dan hanafi,syukron ust'''

zuffah_ingin menjadi lebih baik 21 Oktober 2010 pukul 23.20  

ust bs diulas lebih banyak lagi tentang posisi tidur yg membatalkan wudhu' ana ge butuh untuk penulisan skripsi,,, kemudian buku2 yang mudah sya dapatkan,,, dan yg lebih khusus antara syafi'i dan hanafi,syukron ust'''

Arrahmah.Com - Technology

Arrahmah.Com - International

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP