Pentingnya Ketelitian Dan Ketenangan Dalam Dakwah

>> Senin, 12 Januari 2009

Pendahuluan
Sesungguhnya segala puji bagi Allah ta’ala. Kita senantiasa memuji-Nya. Meminta pertolongan-Nya. Memohon ampunan-Nya. Berlindung kepada-Nya dari segala keburukan jiwa kita. Dan dari kejelekan amal-amal kita. Barang siapa yang diberi petunjuk tiada baginya orang yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tiada baginya seorang pemberi petunjuk.

Oleh : Shoimung Qorib


Aku bersaksi tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah tiada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi bahwa Muhamamad  adalah hamba dan utusanNya. Tiada Nabi dan Rasul setelahnya. Amma ba’du
Allah Ta’ala berfirman,
”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. 3:102)
”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,” (QS. 33:70)
”niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. 33:71)
Allah ta’ala menciptakan manusia di dunia ini tidak lain hanya untuk beribadah kepada Allah semata. Sebagai mana firmanNya,
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. 51:56)
Inilah tujuan utama diciptakannya manusia. Tujuan ini sifatnya tidak memaksa. Artinya manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk memilih beribadah kepada-Nya atau beribadah kepada selain-Nya. Karena itulah Allah memberi bekal kepada manusia berupa telinga untuk mendengar, mata untuk melihat dan membaca, akal untuk berpikir dan hati untuk merasakan dan menentukan pilihan.
Walaupun demikian, Allah tidak membiarkan manusia untuk menentukan sendiri pilihannya. Dengan rahmatNya Allah mengutus para Nabi dan Rasul. Membekali mereka dengan Kitab Suci dan Al-Hikmah. Mereka diutus untuk membimbing umat manusia. Menyeru kepada Tauhidulloh yaitu mengikhlaskan ibadah kepada Allah Ta’ala.
Para rasul adalah wali-wali Allah di muka bumi. Manusia pilihan yang dibekali kemampuan luar biasa dalam berbagai hal. Jujur, Cerdas, amanah, bijaksana adalah di antara sifat-sifat mereka. Allah senantiasa membimbing mereka sehingga tiada seorang pun dari mereka yang tersesat.
Selanjutnya Allah memerintahkan mereka untuk mendakwahkan dien ini kepada manusia dengan cara yang paling baik. Oleh karena itu, yang paling paham dengan kondisi manusia setelah Allah adalah para rasul. Sedangkan orang yang paling mulia di antara rasul-rasul adalah Muhammad .
Rasululloh  adalah orang yang paling paham kondisi umat manusia. Maka dalam setiap langkah dakwahnya beliau senantiasa menyesuaikan dengan kondisi mereka. Tidak heran jika dakwah yang beliau jalani menuai hasil yang sangat memuaskan. Selain dari kondisi yang demikian juga dikarenakan yang membimbing beliau  adalah Allah .

Pengertian hikmah dan urgensinya
Menurut bahasa hikmah bisa diartikan adil, ilmu, lemah lembut, nubuwwah, al qur’an atau injil. Atau juga bisa diartikan mendapatkan kebenaran dengan ilmu dan akal. Sedangkan menurut istilah syar’i hikmah adalah benar dalam perkataan dan perbuatan dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Masalah Al-hikmah ini tentunya menjadi perkara yang sangat penting dalam berdakwah. Karena jika seorang da’i tidak membekali dirinya dengan Al-hikmah dalam dakwahnya akan sangat sulit mencapai tujuan yang diharapkan.
Allah berfirman,

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. 16:125)
Katakanlah:"Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. 12:108)

Macam-Macam Hikmah
1.Hikmah Ilmiyah Nazhoriyah, yaitu mengetahui inti dari segala sesuatu. Dan pengetahuan terhadap hubungan sebab akibat.
2.Hikmah Amaliyah, yaitu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.

Hikmah Nazhoriyah kembalinya kepada ilmu dan pemahaman. Sedangkan hikmah amaliyah berkaitan dengan perbuatan yang adil dan benar. Hikmah tidak akan mungkin keluar dari dua hal ini. Karena kesempurnaan seorang manusia adalah dalam dua hal. Mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Inilah yang disebut ilmu yang bermanfaat dan amal sholih.

Derajat Hikmah
1.Memberikan segala sesuatu haknya, tidak melanggar batas-batasnya, tidak menyegerakannya dan tidak mengakhirkannya.
2.Mengetahui keadilan Allah dalam ancamannya, kebaikan Allah dalam janjinya dan keadilan Allah dalam hukum-hukum syar’i-Nya yang berkaitan dengan makhluk-Nya.
3.Bashirah, yaitu kuatnya pemahaman, kecerdasan dan ilmu.
Bashirah ini berkaitan dengan apa yang akan didakwahkannya, keadaan masyarakat dakwahnya dan bagaimana cara berdakwah kepada masyarakat.

Jalan Untuk Memperoleh Hikmah
Al-hikmah adalah hadiah yang sangat besar dari Allah  yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Namun hikmah ini tidak diperoleh begitu saja tanpa adanya usaha dalam mendapatkannya. Maka seorang Da’i haruslah menempuh suatu jalan yang akan mengantarkannya kepada hikmah. Maka beruntunglah orang-orang yang telah Allah beri hikmah.
”Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (QS. 2:269)
Di antara jalan-jalan yang akan mengantarkan seorang Da’i kepada Al-hikmah adalah: ilmu yang bermanfaat, kelemah lembutan, ketenangan, kehalusan budi pekerti, ikhlas dan takwa. Sabar, kebijaksaan, mengamalkan ilmunya, istiqomah, mengambil pelajaran dari pengalaman, jihad terhadap hawa nafsu dan syetan, tingginya kemauan, adil, do’a, istikharah meminta keputusan kepada Allah. Dan hendaknya ia memahami rukun-rukun dakwah, yaitu; apa yang akan ia dakwahkan, keadaan mad’u dan metode dalam berdakwah.

Rukun Hikmah
1.Al-Ilmu
Ilmu adalah rukun Hikmah yang paling penting. Karena itulah Allah memerintahkan hamba-Nya dan mewajibkannya hamba-Nya untuk menguasai ilmu sebelum perkataan dan perbuatan. Allah berfirman,
”Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mu'min, laki-laki dan perempuan.Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (QS. 47:19)
Maka wajib bagi para Da’i untuk membekali dirinya dengan ilmu sebelum ia berdakwah di masyarakat. Tentunya dalam hal ini yang diutamakan adalah ilmu dien. Sedangkan ilmu dunia hanyalah sebagai penunjang demi tercapainya tujuan dakwah.
2.Al-Hilmu
Al-hilmu adalah kemampuan menguasai diri di saat marah. Maka Al-hilmu ini berada di antara marah dan ketidak pedulian.
3.Al-Anatu
sifat tenang dan teliti dalam menghadapi segala macam urusan serta tidak tergesa-gesa. Hal ini sangat dibutuhkan dalam mengarungi jalan dakwah. Sikap seperti inilah yang akan membawa kepada tujuan yang diinginkan. Sedangkan sikap yang gegabah dan tergesa-gesa hanya akan menjauhkan kita dari tujuan yang diharapkan dalam dakwah.

PENTINGNYA AL-ANATU DALAM DAKWAH
Definisi Al-Anatu
Menurut bahasa al-anatu berarti tenang, konsisten dan tidak tergesa-gesa. Bisa juga diartikan sebagai suatu sikap yang penuh perhitungan dan berada di antara ketergesaan dan kelambatan.1
Al-Anatu merupakan salah satu gambaran dari sifat sabar. Dimiliki oleh orang-orang yang berakal dan orang-orang yang mempunyai keteguhan hati. Berbeda dengan sifat tergesa-gesa yang merupakan ciri orang-orang bodoh dan bersikap gegabah. Sikap tergesa-gesa ini menunjukkan bahwa pelakunya tidak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan emosi dalam dirinya.
Sikap lamban dan lambat juga berbeda dengan Al-Anatu. Karena sikap lambat ini biasanya dimiliki para pemalas dan sering menganganggap remeh setiap urusan. Orang yang demikian biasanya tidak memiliki kemampuan dalam mengatur gerak langkahnya dalam berdakwah demi terwujudnya tujuan yang diharapkan dalam berdakwah. Atau tidak memiliki ‘Azm (kemauan) yang tinggi yang menuntut idealisme. Bahkan sebaliknya ridho dengan kehinaan serta lebih mengutamakan kesenangan dirinya karena kemalasannya dalam menjalankan kewajiban.
Para juru dakwah hendaknya menyadari pentingnya sifat Al-Anatu dalam menghadapi segala urusan yang berkaitan dengan dakwah. Karena Al-Anatu merupakan salah satu dari rukun dakwah. Sehingga ia mampu mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menyelesaikan suatu perkara. Serta mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Tergesa-gesa dalam dakwah hanya akan menimbulkan banyak kesalahan, tergelincir dalam berbagai kesulitan serta kekacauan. Akhirnya semua itu menghambat tercapainya tujuan yang diinginkan. Barang siapa tergesa-gesa dalam suatu hal sebelum waktunya maka dia tidak akan mendapatkannya. Begitu juga sikap lambat dan malas tentunya akan membuat semakin jauhnya seorang da’i dengan tujuan yang hendak dicapai.
Al-Anatu tidak terpaku pada tempat dan waktu tertentu. Namun ia bersifat fleksibel. Di kala seorang Da’i dituntut untuk bersegera dalam menangani suatu urusan, maka ia menyelesaikannya dengan cepat pula. Begitu pula sebaliknya, jika tuntutan dakwah mengharuskan ia untuk bersikap tenang, tidak terburu-buru maka dia harus bersikap demikian. Dua hal ini tidak melenceng dari sikap Al-Anatu.

Masru’iyyah Al-Anatu
Tergesa-gesa merupakan sikap yang dicela dan dilarang dalam islam. Begitu juga sikap lambat dan malas. Sementara Al-Anatu (tenang dan tidak tergesa-gesa) sangat dipuji dalam islam. Bahkan dianjurkan bagi para Da’i dalam membina umat islam dan dalam menyikapi bermacam-macam urusan.
Allah ta’ala berfirman sebagai bentuk pembinaan dan pelajaran bagi Nabi Muhammad ,
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهإِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُفَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
“janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, atas tanggungan kamilah penjelasannya.” (QS. Al Qiyaamah : 16-19)

Jadi seorang Da’i haruslah tenang dan tidak tergesa-gesa dalam menghadapi segala urusan yang berkaitan dengan dakwah. Karena ia adalah orang yang pertama kali berkewajiban mengamalkan perintah Allah terutama dalam mengamalkan ketenangan dan ketelitian dalam menghadapi semua urusan. Sehingga ketika ia mendapatkan berita dari seseorang tidak terburu-buru membenarkannya sebelum menelitinya terlebih dahulu dengan baik dan tidak terburu-buru. Dengan ini akan memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menentukan sikap.
Maka seorang juru dakwah, jika ia mengetahui akan akibat dari setiap gerak langkahnya ia akan selamat dari penyesalan. Ini tidak bisa diwujudkan kecuali ia benar-benar mempelajari semua perkara yang ia hadapi dengan teliti.
Ketika ia mendapati suatu hal yang merupakan petunjuk dan kebenaran maka ia melangkahkan kakinya. Namun jika ia mendapatkan sesuatu itu adalah suatu kebatilan yang menyesatkan bahkan ia hanya persangkaan-persangkaan yang salah, maka ia berhenti sampai jelas baginya kebenaran.
Namun apa yang kita dapati hari ini sangatlah memprihatinkan. Banyak saudara kita dari kalangan juru dakwah tidak bisa bersikap tenang dalam berdakwah dan terkesan terburu-buru. Ketika ia mendengar suatu kabar dari berbagai media, baik televisi, koran, radio, internet, atau media yang lain, ia cepat-cepat menyimpulkan tanpa meneliti kembali kabar yang ia peroleh. Sehingga tidak sedikit didapati berita yang lebih valid namun tidak sesuai dengan apa yang ia simpulkan. Sehingga mereka mengalami penyesalan dan kerugian karena ketergesaannya dalam menyimpulkan suatu berita.
Ada beberapa hal yang termasuk dari sikap tergesa-gesa dan tidak teliti. Di antaranya adalah tergesa-gesa untuk mendapatkan pujian ataupun celaan sebelum melalui jalannya. Terburu-buru mengatakan sesuatu tanpa diolah dalam pikirannya terlebih dahulu. Berfatwa tanpa mengetahui kedudukan dalil yang digunakan untuk menguatkan fatwanya tersebut. Dan semua itu hanya akan mengakibatkan pelakunya memetik buah berupa kebingungan dan penyesalan.
”dan manusia mendo'a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo'a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”(QS. 17:11)
Mengingat pentingnya ketenangan dalam berdakwah ini Allah  memerintahkan hamba-hamba-Nya dalam memerangi orang-orang kafir—yang merupakan wasilah dakwah yang paling mulia—pun harus disertai dengan sikap tenang, penuh ketelitian dan tidak tergesa-gesa.
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu :"Kamu bukan seorang mu'min"(lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 4:94)

Maka perkara bisa dibagi menjadi dua:
Pertama, perkara yang sudah jelas, maka hal-hal yang sudah jelas tidak perlu diteliti ulang.
Kedua, perkara yang belum jelas, maka ia harus dicari kebenaran dan kejelasannya. Dan ketika kita bisa bersikap tenang—insya Allah—akan mendatangkan banyak faidah. Juga menjaga umat islam dari ketergelinciran. Serta dengannya bisa diketahui akal, dien dan keteguhan seseorang.

Belajar dari Rasulullah 
Suatu ketika Usamah bin Zaid dan beberapa sahabat diutus oleh Rasulullah  untuk memerangi orang-orang kafir. Masuklah ia dan pasukan muslimin ini ke dalam kaum tersebut pada pagi hari kemudian memerangi mereka. Di tengah-tengah peperangan itu ia dan beberapa sahabat dari kalangan Anshor menjumpai seorang laki-laki dari kaum tersebut. Ketika mereka hendak membunuhnya, laki-laki tadi mengucapkan kalimat ”laa ilaaha illallah”. Maka orang-orang Anshor menahan diri mereka dan tidak membunuhnya. Namun Usamah bin Zaid membunuhnya dengan tombaknya.
Ketika mereka sampai di madinah, kabar ini sampai kepada Rasulullah , maka beliau bertanya kepada Usamah bin Zaid. ”wahai Usamah apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan ”laa ilaaha illallah”? Usamah menjawab, ”ya Rasulullah ia mengatakannya karena hendak melindungi dirinya semata.” Rasulullah  pun mengulangi perkataannya, ”apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan kalimat ”laa ilaaha illallah.” beliau mengulanginya terus menerus. Sehingga usamah bin zaid berangan angan ” seandainya aku belum masuk islam waktu itu. (HR. Al-bukhori)2
Perhatian rasulullah dalam masalah al-anatu ini juga nampak ketika beliau memerangi orang-orang kafir. Atau ketika beliau mengutus pasukan untuk memerangi orang-orang kafir. Beliau senantiasa menawarkan kepada orang-orang kafir yang hendak diperangi dengan tiga hal.
1.masuk islam dan hijroh
2.tetap kepada kekafiran namun harus membayar jizyah sebagai bentuk kehinaan.
3.perang3
Rasulullah  juga mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengamalkan sikap al-anatu ini. Ini bisa dilihat dari beberapa hadits di bawah ini.
”jika shalat sudah didirikan, janganlah kalian mendatanginya dengan lari-leri kecil (tergesa-gesa). Datangilah dengan berjalan dan hendaklah kalian tenang. Apabila kamu mendapatkannya maka sholatlah. Dan jika kamu ketinggalan maka sempurnakanlah.”4 (Al-Bukhori)
”jika shalat sudah selesai dikerjakan, janganlah kalian berdiri sebelum kalian melihatku keluar.”5 (Muslim)
Rasulullah  mengatakan kepada ’Asyaj:
إن فيك خصلتان يحبها الله الحلم والأناة (مسلم)
“sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang Allah cintai; lemah lembut dan tenang tidak tergesa-gesa.”6
Para rasul  adalah manusia-manusia pilihan yang paling sempurna akhlaknya. Mereka adalah orang-orang yang sempurna ketenangan dan ketelitian. Sedangkan manusia yang paling mulia di antara mereka adalah Rasulullah Muhammad .

Belajar dari Nabi Sulaiman 
Suatu hari nabi sulaiman  mengumpulkan pasukannya baik dari golongan jin, mausia dan juga Binatang mereka semua berkumpul. Namun ketika nabi sulaiman  memeriksa para burung, beliau tidak mendapati burung Hudhud yang pergi tanpa izin dari beliau .
Nabi sulaiman  adalah seorang raja yang sangat tegas dan disiplin dalam mengatur rakyatnya. Maka di hadapan para pasukannya beliau mengancam untuk memberi hukuman kepada burung Hudhud yang telah pergi tanpa izinnya. Hal ini supaya tidak menjadi contoh yang jelek bagi orang-orang sesudahnya. Karena mereka yang melanggar peraturan akan dikenai sangsi yang berat.
Namun demikian Nabi sulaiman  bukanlah seorang raja yang bengis dan bertindak semena-mena. Maka beliau bersikap tenang dan tidak terburu-buru dalam menghadapi masalah ini. Bahka beliau mencari tahu alasan kenapa hudhud pergi tanpa izin darinya.
Setelah burung Hudhud datang beliau menanyakan alasan kenapa ia pergi tanpa izin. Ketika mendengar alasan dari Hudhud yang kuat maka Nabi Sulaiman  melepaskan Hudhud.
Kisah ini telah Allah abadikan dalam al qur’an
”Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata:"Mengapa aku tidak melihat burung hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. (QS. 27:20)
Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan keras, atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang". (QS. 27:21)
Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata:"Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. (QS. 27:22)
Seorang Da’i, jika ia bisa bersikap tenang dan teliti dalam menghadapi segala urusannya maka ia telah mengamalkan salah satu rukun hikmah. Namun ketenangan dan ketelitian ini tidak hanya berlaku atas ucapan dan perbuatannya saja. Tapi juga berlaku atas hatinya. Baik itu pendapat-pendapatnya, angan-angannya, panca indranya atau dalam ia memutuskan suatu hukum.
”Dan janganlah kamu mengucapkan apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (QS. 17:36)
Maka seorang Da’i lisannya tidak akan berbicara dan meriwayatkan hadits. Akalnya tidak akan menentukan suatu hukum dan tidak menetapkan sesuatu kecuali ia telah meneliti dan melihat setiap bagian-bagiannya, kesamaran yang terdapat di dalamnya, serta melihat hasil yang akan didapatkan. Sehingga nampak baginya kebenaran dan hilanglah semua syubhat-syubhat.
Pada tataran tertentu seorang da’i yang istiqomah terhadap ketetapan-ketetapan ini mampu mencapai derajat ketenangan, hikmah dan kebenaran yang paling tinggi.

Hal-hal yang mengharuskan sikap tergesa-gesa dijauhi
Hal-hal yang mengakibatkan sikap tergesa-gesa dijauhi di antaranya adalah orang yang tergesa-gesa biasanya tidak melihat akibat-akibat dari perbuatannya; ketergesaan adalah bersumber dari syetan, sedangkan syetan adalah musuh yang harus dijauhi, karena ia selalu membawa kepada sikap waswas sehingga manusia tidak lagi bisa bersikap tenang dan teliti yang akhirnya orang yang tergesa-gesa ini akan mengalami kegagalan dan kehancuran.
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa sikap tergesa-gesa yang dicela dalam islam adalah dalam hal selain ketaatan yang tidak desertai ketelitian dan tiadanya kekhawatiran meninggalkannya. Oleh karena itu dikatakan oleh sebagian salaf, ”janganlah tergesa-gesa, karena tergesa-gesa dari syetan.” maka ada yang mengatakan :”jikalau demikian kenapa Musa  mengatakan :"Itulah mereka telah menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbnku, agar supaya Engkau ridho (kepadaku)". (QS. 20:84)

Kesimpulan
Tidak semua sikap tergesa-gesa atau bersegera itu tercela. Ada beberapa pengecualian yaitu dalam hal-hal yang sudah jelas dan tidak ada di dalamnya syubhat maka diperbolehkan untuk bersegera.
”Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami. (QS. 21:90)
Dari Sa’ad bin Abi Waqqas radhiyallohu ’anhu. Al-A’masyi berkata, ”Dan saya tidak mengetahuinya kecuali dari rasululloh 
”ketenangan dan tidak tergesa-gesa dalam segala sesuatu adalah baik kecuali dalam amalan akhirat.”7 (HR. Abu Daud)
Dari sini diketahui bahwa tenang dan tidak terburu-buru dalam segala sesuatu sangatlah terpuji dan baik. Kecuali pada hal-hal yang berkaitan dengan urusan akhirat. Berarti bersegera dalam hal yang berkaitan dengan urusan akhirat dibolehkan dengan syarat menjaga batasan-batasan yang telah Allah tetapkan. sehingga bersegera itu dalam hal-hal yang benar-benar dicintai oleh Allah. Wallahu a’lam
Maraji’
1.al-qur’anul karim dan terjemahannya
2.al hikmah fie da’wah ilalloh, said ibn ’aly ibn wahf al qahthany
3.kamus al-munawwir arab-indonesia
4.zaadul ma’ad, ibnu qoyyim al-jauziyah

0 komentar:

Arrahmah.Com - Technology

Arrahmah.Com - International

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP