Pernikahan, adat ataukah ibadat?

>> Jumat, 31 Juli 2009

Sebelum menjawab pertanyaan di atas maka perlu bagi kita untuk mengetahui definisi dari masing-masing.
A. Al 'Adat ( العادة )
Secara bahasa merupakan derifasi (musytaq/pecahan) dari al'aud yakni pengulangan ataupun terus-menerus dan berkesinambungan. Maka setiap amalan yang diulang-ulang hingga dilakukan tanpa dipikirkan maka itu adalah adat. Diantaranya firman Allah:
ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا (المجادلة: 3)
"Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan". (Al Mujadilah: 3)
Secara istilah perkara yang diulang tanpa harus dipikirkan tanpa rumusan. Dapat juga diartikan sesuatu yang biasa dilakukan manusia dan mereka berjalan di atasnya dari setiap amalan di antara mereka.

Di dalam kaidah fiqh terdapat "Al Adah Muhakkamah" maknanya bahwa adat/tradisi (masyarakat) dapat dijadikan alasan untuk menetapkan hukum. Dalam pembahasan ini, 'adah atau 'urf dipahami sebagai suatu kebiasaan yang telah berlaku secara umum di tengah-tengah masyarakat, di seluruh penjuru negeri atau pada suatu masyarakat tertentu yang berlangsung sejak lama.
Dari definisi tersebut, para ulama menetapkan bahwa sebuah tradisi dapat dijadikan pedoman hukum apabila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
1. Tradisi yang telah berjalan sejak lama yang dikenal masyarakat umum.
Menurut para ulama, 'adah bisa dijadikan dasar untuk menetapkan hukum syar'I apabila tradisi tersebut telah berlaku secara umum di masyarakat tertentu. Sebaliknya, jika sebuah tradisi tidak berlaku secara umum, maka ia tidak dapat dijadikan pedoman dalam menentukan boleh atau tidaknya tradisi tersebut dilakukan.
2. Diterima akal sehat sebagai sebuah tradisi yang baik.
Hal ini semakna dengan hadits rasulullah :
مَا رَآهُ اْلمٌُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
"Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka menurut Allah juga baik." (H.R. Imam Al Hakim)
3. Tidak bertentangan dengan nash al-qur'an dan hadits nabi .
Artinya sebuah tradisi bisa dijadikan sebagai pedoman hukum apabila tidak bertentangan dengan nash al-Qur'an maupun hadits nabi . Karena itu, sebuah tradisi yang tidak memenuhi syarat ini harus ditolak dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum bagi masyarakat. Nash yang dimaksudkan di sini adalah nash yang bersifat qat'I (pasti), yakni nash yang sudah jelas dan tegas kandungan hukumnya, sehingga tidak memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain.
B. Ibadah
Yaitu ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya melalui lisan rasul-Nya. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhoi-Nya dari perkataan dan perbuatan yang dhohir dan bathin.
Menurut para ulama ibadah ada dua:
1. Ibadah Ammah
Yakni setiap amalan (termasuk di dalamnya amalan dunia) yang sesuai dengan perintah-Nya dan dimaksudkan untuk melaksanakan perintah. Seperti memberi nafkah keluarga, memakan rizqi yang baik untuk menguatkan tubuh dalam beribadah kepada-Nya atau berjihad di jalan-Nya, bekerja sehingga tidak terjatuh kepada meminta-minta, dan yang lainnya.
2. Ibadah Khoshoh
Syiar-syiar ibadah yang diperintahkan-Nya untuk dilaksanakan seperti sholat, zakat, shoum, dan yang lainnya.
Oleh karenanya ibadah dalam makna umum merupakan hukum syar'I yang berkaitan dengan amalan manusia, tanpa membedakan antara amalan ibadah khossoh, amalan adat, ataupun muamalat. Hal ini dengan syarat amalan tersebut merupakan perintah syar'I dan sesuai dengan batasan yang telah ditetapkan syar'i.
Sebagai misal adalah bekerja. Bekerja merupakan adat manusia. Namun di sisi lain juga dapat bernilai ibadah apabila diniatkan untuk mengharapkan wajh Allah yakni dia mencukupi diri sendiri sehingga tidak terjatuh kepada meminta-minta. Dia juga bekerja sesuai dengan batasan syar'I terbebas dari tipu daya dan ghoror, serta membelanjakannya untuk memenuhi kebutuhan dan membiayai kebutuhan yang berada di bawah tanggungannya. Hal ini berdasarkan sabda rasulullah  ketika ada salah seorang shahabt yang bertanya kepada beliau:
أَ يَقْضِيْ أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ فَتَكُوْنُ لَهُ صَدَقَةً؟ فَقَالَ لَهُمْ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ حَرَامٍ
"Apakah salah seorang dari kami memenuhi kebutuhan syahwatnya (kepada istrinya) dapat bernilai shodaqoh? Beliau bersabda: “Apa pendapatmu, bila ia menempatkan pada tempat yang haram, bukankah ia berdosa? Demikian pula bila ia menempatkan pada tempat yang halal, ia akan mendapatkan pahala”.
Dalam hadits ini Rasulullah menunjukkan bolehnya beristimta' (bersenang-senang) dengan istrinya untuk menjaga diri dan istrinya dan dapat menjadi pahala baginya.
Dalam hal ini niat memiliki perananan yang sangat penting dalam meluruskan amal manusia. Sebuah amalan dapat bernilai ibadah apabila dimaksudkan untuk mendapatkan ridho Allah. Begitu juga apabila diniatkan selain Allah maka dapat bernilai maksiat.

Dari masing-masing pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa menikah dapat menjadi bernilai ibadah. Terlebih dikuatkan beberapa dalil yang menunjukkan hal itu, diantaranya:
1. Melaksanakan nikah berarti melaksanakan sebagaian ibadah serta setengah agamanya. Sabda rasulullah :
مَنْ رَزَقَهُ امْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ عَلىَ شَطْرِ دِيْنِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْ الشَّطْرِ الْباَقِيْ (رَوَاهُ الطَّبْرَانِيْ وَ الْحَاكِمْ صَحَّحَهُ)
"Barangsiapa yang telah dianugerahi Allah isteri yang saleh, maka sesungguhnya ia telah mengusahakan sebagian agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah pada bagian yang lain". (H.R. ath Thabrani dan al Hakim dan dinyatakan shahih sanadnya)
2. Rasulullah  mencela dengan keras para shahabat yang ingin menandingi ibadatnya dengan cara berpuasa setiap hari, bangun malam untuk beribadat dan tidak tidur, hidup menyendiri dan tidak menikah, karena perbuatan yang demikian menyalahi sunnahnya, beliau bersabda:
أَأَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَ كَذَا؟ أَمَا وَ اللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَ أَتْقَاكُمْ لَهُ وَ لَكِنِّيْ أًصُوْمُ وَ أُفْطِرُ وِ أُصَلِّيْ وَ أَرْقُدُ وَ أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ (رَوَاهُ الْبُخَارِيْ وَ مُسْلِم)
"Apakah kalian yang telah mengatakan begini, begini………? Adapun aku, -demi Allah- sesungguhnya aku benar-benar orang yang paling takut di antara kamu kepada Allah dan orang yang paling bertakwah di antara kamu kepada-Nya. Tetapi aku berpuasa, berbuka, shalat (di tengah malam), tidur dan aku menikah. Maka barangsiapa yang membenci sunnahku bukanlah ia termasuk umat-ku" .
3. Rasulullah  memerintahkan agar orang-orang yang telah mempunyai kesanggupan untuk menikah karena akan memelihara dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah. Beliau bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلباَءَةَ فَلْيَتََزَوَّجَ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ أَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رَوَاهُ الْبُخَارِيْ وَ مُسْلِم)
"Hai sekalian pemuda, barangsiapa yang telah sanggup di antara kamu melaksanakan kehidupan suami isteri, hendaklah ia menikah. Sesungguhnya menikah itu menghalangi pandangan mata (kepada yang terlarang memandangnya) dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum sanggup melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa. Sesungguhnya puasa adalah perisai baginya" . (H.R. Bukhori dan Muslim)
4. Menikah merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan kepada para anbiya' agar diikuti pula oleh generasi-generasi yang datang kemudian. Allah berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan". (Ar Ra'du: 38)
5. Pada masa jahiliyah terdapat empat macam pernikahan, namun islam hanya menetapkan satu pernikahan yang sah. Sebagaimana yang disebutkan dalam shahih Bukhori bahwa Ummul mukminin 'Aisyah xberkata:
"Sesungguhnya pernikahan pada zaman jahiliyah ada empat macam: pertama: Sebagaimana nikahnya orang-orang sekarang, yakni seorang laki-laki melamar anak orang lain kemudian memberikan mahar dan menikahinya. Kedua: Seseorang mengatakan kepada istrinya setelah suci dari haidh, "Datanglah kepada fulan (biasanya seorang bangsawan) dan mintalah untuk digauli". Kemudian suaminya menjauhinya (tidak menggaulinya) sehingga jelas apakah istrinya itu telah hamil dari laki-laki lain tadi, apabila telah jelas tandanya bahwa istri sudah hamil, barulah suami menggaulinya jika ingin. Tujuan dari perbuatan ini semata-mata karena ingin mendapatkan anak yang berketurunan bangsawan. Nikah yang semacam ini disebut nikah istibdha'. Ketiga: sekelompok laki-laki yang berjumlah kurang dari sepuluh orang seluruhnya menggaulinya (wanita yang sama). Kemudian tatkala dia hamil dan melahirkan dan berlalu beberapa malam setelah melahirkan, maka wanita itu memanggil para laki-laki tersebut dan mereka tidak kuasa menolaknya. Sehingga apabila mereka telah berkumpul di depan wanita tersebut, wanita itu berkata: "Kalian telah mengetahui apa yang kalian perbuat terhadapku dan kini aku telah melahirkan, ini adalah anakmu wahai fulan….." dia sebut seseorang yang dia sukai di antara laki-laki tersebut, kemudian dia serahkan anak itu kepada laki-laki yang dia tunjuk. Keempat: sekelompok laki-laki menggauli satu wanita yang tidak menolak siapapun yang menggauli dirinya. Mereka adalah pelacur yang mana mereka memasang pada pintu mereka sebuah tanda pengenal bagi siapa yang ingin menggaulinya. Manakala dia hamil dan kemudian melahirkan maka dipanggillah mereka yang telah menggaulinya seluruhnya. Kemudian anak tersebut diserahkan kepada orang yang dia anggap paling mirip dengannya sedangkan dia tidak kuasa menolak."
6. Rasulullah melarang umatnya untuk membujang dengan larangan yang sangat. Beliau bersabda:
عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَأْمُرُ بِالْباَءَةِ وَ يَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَ يَقُوْلُ: تَزَوَّجُوْا اْلوَدُوْدَ اْلوَلُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ (رواه أحمد و صححه ابن حبان و له شاهد عند أبي داود و النسائي و ابن حبان أيضا)
Dari Anas bin Malik , berkata: "Adalah Rasulullah  memerintahkan menikah dan melarang hidup sendirian (membujang) dengan larangan yang sangat, dan beliau bersabda: "Kawinilah olehmu wanita-wanita yang pencinta lagi subur, maka sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya jumlah kamu di hadapan umat-umat lain di hari kiamat". (H.R. Ahmad , dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan hadits ini dikuatkan oleh hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud, an Nasa'I dan Ibnu Hibban)

0 komentar:

Arrahmah.Com - Technology

Arrahmah.Com - International

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP