Manajemen Kefakiran

>> Senin, 29 Desember 2008

Barangkali semua orang tidak ada yang memimpikan apalagi bercita-cita menjadi orang miskin lagi fakir. Adakah manusia yang sudi hidup susah dan menderita? Jelas tidak ada. Sebaba sudah menjadi naluri manusia untuk selalu mendapat kenyamanan dalam menjalani hidup. Namun, jika Allah SWT sudah menghendaki seseorang hidup sebagai fakir atau miskin, siapa yang dapat mengelak?
Sehat dan sakit, kaya dan miskin adalah ketentuan Allah yang tidak bisa digugat oleh siapapun. Kefakiran ibarat sebilah pisau bermata ganda. Di satu sisi membawa petaka, namun di lain sisi menghantarkan ‘penderitanya’ memperoleh kedudukan yang sangat mulia. Ia menjadi petaka jika disikapi dengan amarah, ketidakpuasan, dan keputusasaan. Jika sikap semacam itu yang diluapkan, kefakiran akan menadi adzab dunia yang menusuk jiwanya sebelum siksa akhirat yang telah dijanjikan karena hilangnya rasa syukur.
Sebaliknya, kefakiran bisa berubah menjadi tangga menuju kesuksesan ukhrawi yang sangat menjanjikan jika disikapi dengan positif. Dan inilah yang akan dilakukan seorang mukmin sejati. Sehingga yang diperlukan adalah sebuah manajemen diri dalam menyikapi ujian berupa kemiskinan. Berusaha mengubahnya, dari musibah menjadi fadhilah (keutamaan), dari kesengsaraan menjadi sesuatu yang membawa kenikmatan.
Untuk itu, perlu trik-trik khusus untuk bisa mewujudkan hal itu. Dan semua itu telah ada dalam ayat al Quran dan wasita Nabi SAW:

Adab faqir dalam kefaqirannya
1.Ridha terhadap ketetapan Allah
Hendaklah setiap mukmin yang diuji Allah tidak berkeluh kesah atas ujian yang menjadi ‘jatahnya’. Selayaknya menerimanya dengan ridha. Karena hakekat ujian adalah bahwa Allah mencintai hamba-Nya. Sabda Rasulullah :
إن عظم الجزاء مع عظم البلاء. و إن الله إذا أحب قوما ابتلاهم, فمن رضي فله الرضا و من سخط فله السخط. (رواه الترمذي: 2396)
"Besarnya pahala sesungguhnya berbanding dengan besarnya cobaan. Sungguh apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia menguji mereka. Maka barangsiapa ridha maka dia mendapatkan keridhaan (Allah) dan apabila dia murka (benci) maka dia mendapatkan kemurkaan Allah. (H.R. Tirmidzi 2396)
Implementasi ridha di sini bukan lempar handuk, berhenti berusaha dan menunggu nasib yang bakal menimpa. Tapi ridha tersebut adalah lapisan pertama dalam hati yang berujud kesadaran bahwa semua yang menimpa dirinya adalah atas kehendak-Nya. Sedang Allah menyatakan bahwa Allah akan mengikuti prasangka bahwa. Jika hamba berbaik sangka atas kehendak-Nya, maka ia akan diperlakukan dengan baik dan sebaliknya.

2.Tidak berputus asa
Bagi seorang mukmin, berputus asa dari rahmat Allah adalah pantangan, haram hukumnya. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Kemiskinan yang menimpa bukanlah akhir segalanya. Dari sisi ukhrawi, peluangnya untuk meraih Jannah sama dengan orang kaya. Sedang untuk maslahat dunia, ia selalu yakin bahwa usaha keras tidak akan pernah sia-sia.
3.Tidak larut dalam kefakiran
Jangan sampai kefaqiran membuat muslim lupa dari dzikir kepada Allah, meninggalkan perintah dan kewajiban agama. Hendaklah selalu diingat bahwa kefakiran adalah ujian dari Allah. Sehingga tidak sibuk untuk mencari dunia dan melupakan target hidup paling utama yaitu akhirat.
Sedangkan Allah telah berjanji melalui lisan Rasul-Nya, bahwa barangsiapa menjadikan akhirat tujuannya maka Allah akan mencukupkan hajat hidupnya. Rasulullah saw bersabda yang artinya:
"Barangsiapa akhirat merupakan tujuannya, maka Allah menjadikan kekayaan di hatinya. Dan Allah akan mengumpulkan dunianya, dan dunia datang kepadanya dalam dengan tunduk. Dan barangsiapa dunia tujuannya maka Allah akan menjadikan kefaqiran di depan matanya, mencerai-beraikan dunianya, dan dunia tidak datang kecuali apa yang telah ditetapkan baginya.”
Abu Hurairah  meriwayatkan bahwa Rasulullah  bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: Wahai anak Adam! Kerahkan tenaga dan pikiranmu untuk beribadah kepadaku, niscaya aku akan memenuhi hatimu dengan kekayaan dan aku tutupi kemiskinanmu. Dan apabila, engkau tidak melakukannya aku akan memenuhi kehidupanmu dengan kesibukan dan aku tidak akan menghilangkan kemiskinanmu.”
4.Menjaga diri dari meminta-minta
Seorang mukmin berkomitmen menjaga sifat iffah (menjaga diri dari meminta-minta). Meskipun kefakiran menghimpit hidupnya, itu tidak menyebabkannya untuk mudah meinta-minta. Sebab Rasulullah  bersabda sabda:
و لا فتح عبد باب مسألة إلا فتح الله عليه باب فقر
"Tidaklah seorang hamba meminta-minta kecuali Allah akan membukakan baginya pintu kefaqiran.”
Dari Ibnu Umar  Rasulullah  bersabda:
ما زال الرجل يسأل الناس حتى يأتي يوم القيامة ليس في وجهه مزعة لحم (رواه البخاري)
“Tidaklah salah seorang meminta-minta kepada manusia kecuali dia datang pada hari kiamat, sedangkan di wajahnya tidak ada lagi secuil daging.

5.Sabar dan Bertawakal
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang sabar.” (Al Baqarah: 155)
Ujian merupakan keniscayaan. Namun sabar merupakan pilihan. Karenanya, tetaplah berusaha untuk istiqamah dalam sabar, berusaha dan berdoa dengan tetap melazimi sunnatullah. Adapun hasil merupakan ketetapan Allah. Itulah hakekat tawakal. Allah tidak akan merubah suatu kaum hingga kaum itulah yang merubahnya. Ini adalah sunnatullah.
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Ar Ra’d: 11)
Jika kita bisa mengamalkan semua ini, meski kemiskinan menghimpit kita, kita sangat berharap bisa menjadi seperti seorang shahabat yang miskin yang ada dalam hadits berikut:
Dari Abu Abbas Ibn Sa’ad As Sa’idi , dia berkata: “Ada seseorang berjalan melewati Nabi , maka beliau bertanya kepada orang yang duduk di sampingnya: “Apa pendapatmu tentang orang (yang lewat) ini? Dia menjawab: “Seorang dari manusia yang mulia (terpandang, aristocrat) dia demi Allah, apabila meminang pantas untuk dinikahkan, dan kalau memberi syafaat pantas untuk diterima syafaatnya.” Maka Rasulullah  diam kemudian lewatlah seorang yang lain, maka Rasulullah  bertanya (lagi) kepadanya: “Apa pendapatmu tentang orang ini?” Dia menjawab: “Wahai Rasulullah ini adalah seorang dari fakirnya kaum muslimin, orang ini kalau meminang pantas untuk tidak dinikahkan dan kalau memberi syafaat pantas tidak diterima syafaatnya dan kalau berbicara pantas untuk tidak didengar perkataannya.” Maka Rasulullah  bersabda: “Orang ini lebih baik daripada seluruh penduduk dunia dari jenis yang tadi.” (H.R. Bukhori-Muslim)

Tetap Memohon Perlindungan

Bagaimanapun, kemiskinan adalah ujian atau musibah yang kita disyariatkan beroda agar terhindar darinya. Rasulullah saw mengajarkan sebuah doa yang hendaknya dibaca pagi dan sore,
اللهم إني أعوذ بك من الكفر و الققر (رواه أبو داود)
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kekurufan dan kefakiran.” (H.R. Abu Daud)
Hal ini karena kefakiran dapat menjerumuskan seseorang kepada kekufuran. Sebagaimana nasehat Lukman Al Hakim kepada anaknya:
“Wahai anakku, carilah rizki yang halal. Sesungguhnya tidaklah salah seorang itu menjadi faqir kecuali tertimpa salah satu dari 3 perkara: lemah agamanya, lemah akalnya, dan hilangnya kewibawaannya. Dan yang paling berbahaya dari itu semua adalah manusia meremehkannya.”
Korelasi anara kefaqiran dan kekufuran adalah sangat jelas. Berapa banyak umat Islam menjadi kufur –baik kufur akbar ataupun kufur ashghor- disebabkan kefakiran. Kufur ashghor dengan berkeluh kesah, benci terhadap taqdir Allah, dan juga tidak mensyukuri nikmat yang telah Allah limpahkan kepadanya. Kufur Akbar dengan menyekutukannya dan me menjual agamanya serta keimanannya dengan kenikmatan dunia yang sesaat ini.
(diterbitkan majalah Ar Risalah Edisi 88/November 2008

Referensi
Al Qur’anul Karim
Shohih Bukhori, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhori al Ju’fi
Shohih Muslim, Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al Qusyairi an Nisabury, cetakan Darus Salam, Riyadh
Jami’u Tirmidzy, Imam Al Hafidz Abi ‘Isa Muhammad bin Suroh bin Musa At Tirmidzy, cetakan Darus Salam Riyadh
Riyadhus Sholihin, Imam Nawawi
Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh ‘Utsaimin
Madarijus Salikin, Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah
Minhajul Qoshidin, Ibnu Qudamah
Lisanul ‘Arab, Al ‘Alamah Abi Fadhl Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibnul Mandzur Al Afriqi Al Mishri
Tahdzib Mau’idhotil Mu’minin, Al ‘Alamah Jamaluddin Al Qosi


0 komentar:

Arrahmah.Com - Technology

Arrahmah.Com - International

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP