Syarat Hadits Shahih

>> Rabu, 29 April 2009

Menurut Ibnu Sholah: Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya kepada nabi Muhammad , disampaikan oleh rowi adil, dhobit, dari awal hingga akhir, dan tidak termasuk hadits syadz dan tidak terdapat illah di dalamnya.
Imam Nawawi: Imam nawawi meringkas definisi Ibnu Sholah dan berkata: hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rowi adil dan dhobit tanpa terdapat syadz dan illah di dalamnya.


Dari dua definisi tersebut maka ada beberapa syarat sehingga hadits dikatakan shahih:
1. Sanadnya bersambung
Oleh karenanya tidak termasuk di dalamnya hadits Munqoti', Mu'dhol, Mu'allaq, Mudallas, dan hadits lainnya yang tidak memenuhi syarat ittisol (bersambung sanadnya).
2. Perowinya Adil
Adil yaitu yang lurus agamanya, baik akhlaknya, tidak cacat karena kefasikan, dan muruahnya terjaga.
3. Perowinya Dhobit
Dhobt adalah kesadaran seorang rowi ketika dia menerima hadits dan memahaminya ketika mendengarnya serta hafal semenjak menerima hadits tersebut hingga menyampaikannya. Yakni, dia hafal serta mengetahui apa yang dia sampaikan apabila menyampaikannya dari hafalannya, paham apabila menyampaikannya secara makna, hafal tulisannya apabila terjadi kesalahan serta penggantian atau kekurangan apabila dia menyampaikan dari kitabnya. Oleh karenanya tidak termasuk di dalamnya orang yang banyak lalai dan banyak salahnya.
4. Apa yang diriwayatkan tidak Syadz
Syudzudz adalah hadits yang diriwayatkan menyelesihi hadits yang lebih kuat dan lebih rojih.
5. Selamat dari Illah
Illah adalah sesuatu yang tidak nampak secara kasat mata tapi dapat merusak hadits. Seperti pemursalan hadits mausul, menyambung hadits munqothi' (yang putus), memarfu'kan hadits mauquf, dan yang semisalnya.

Read More..

Tingkatan Hadits Shohih

Tingkatan Hadits Shohih Dinisbatkan Kepada Shohihain (Bukhori Muslim)

1. Hadits shohih yang diriwayatkan Bukhori Muslim, atau yang biasa disebut dengan muttafaq 'alaihi.
2. Hadits yang diriwayatkan Bukhori tanpa Muslim
3. Hadits yang diriwayatkan Muslim tanpa Bukhori
4. Hadits yang diriwayatkan dengan syarat dari keduanya tanpa keduanya meriyatkannya.
5. Hadits yang diriwayatkan dengan syarat Bukhori tanpa dia meriwayatkannya
6. Hadits yang diriwayatkan dengan syarat Muslim tanpa dia meriwayakannya
7. Hadits shohih selain dari keduanya dan tidak sesuai dengan syarat dari salah satunya.

Read More..

Shahabat Yang Banyak Meriwayatkan Hadits

1. Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu (5374)
Nama lengkapnya Abdurrahman bin Shokhr ad Dausi al Yamani radhiyallahu 'anhu. Lahir pada tahun 19 sebelum hijrah dan meninggal pada tahun 59 Hijriyah. Umur 78 tahun.
2. Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma (2630)
Abdullah bin Umar bin al Khattab radhiyallahu 'anhuma. Lahir tahun 10 sebelum hijrah dan meninggal tahun 73 Hijriyah. Umur 83 tahun.
3. Anas bin Malik radhiyallhu 'anhu (2286)
Lahir tahun 10 sebelum hijrah dan meninggal tahun 93 hijriyah. Umur 103 tahun.
4. 'Aisyah binti Abu Bakar as Shiddiq radhiyallahu 'anhuma (2286)
Lahir tahun 9 sebelum hijrah dan meninggal 58 Hijriyah ada yang mengatakan 57 Hijriyah. Umur 66 tahun.
5. Abdullah bin Abbas radhiyallhu 'anhuma (1660)
Lahir tahun 3 sebelum hijrah dan meninggal tahun 68 Hijriyah. Umur 71 tahun.
6. Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma (1540)
Lahir tahun 6 sebelum hijrah dan meninggal tahun 78 Hijriyah. Umur 84 tahun.
7. Abu Sa'id al Khudry radhiyallahu 'anhu (1170)
Nama lengkapnya Sa'ad bin Malik bin sinan al Anshory. Lahir tahun 12 sebelum hijriyah dan meninggal tahun 74 Hijriyah. Umur 86 tahun.

Read More..

Hukum Mengamalkan Hadits Dhoif

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
1. Tidak boleh mengamalkannya secara mutlak
Madzhab pertama tidak memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhoif secara mutlak baik hadits tentang fadhoil (keutamaan) ataupun tentang hukum. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Sayyidin Nas dari Yahya bin Mu'in, dan Abu Bakar bin al 'Araby mengambil pendapat ini. Sedangkan yang dhohir ini merupakan pendapat al Bukhori dan Muslim sebagaimana yang mereka syaratkan. Ini pula pendapat Ibnu Hazm.

2. Boleh mengamalkan hadits dhoif secara mutlak
Hal ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam Ahmad radhiyallahu 'anhuma. Mereka berdua berpendapat bahwa hadits dhoif lebih kuat daripada pendapat seseorang oleh karennya mereka memperbolehkannya.
3. Boleh mengamalkannya dalam hal keutamaan, nasehat dan yang semisalnya apabila memenuhi syarat. Syaikh Islam Ibnu Hajar mensyaratkan beberapa hal:
a. Dhoifnya tidak terlalu. Tidak termasuk di dalamnya Kadzab (pendusta), yang tertuduh sebagai pendusta, dan yang terlalu banyak salahnya. Al 'Alay menukil kesepatakan dalam syarat yang pertama ini.
b. Kedudukan hadits tersebut di bawah hadits yang dapat diamalkan.
c. Ketika mengamalkannya tidak berkeyakinan terhadap kuatnya hadits tersebut, tetapi berkeyakinan hati-hati dalam mengamalkannya.

Komparasi hukum:
Tentang pendapat pertama: Tidak diragukan bahwa pendapat pertama merupakan pendapat yang paling selamat, sebab apa yang shohih dari fadhoil (keutamaan), targhib (motivasi), dan tarhib (ancaman) dari Rasulullah  cukuplah bagi kita dari riwayat hadits dhoif. Terlebih lagi hadits tentang keutamaan amal dan akhlak termasuk pondasi agama. Tidak ada bedanya antara hadits dan hadits tentang hukum dilihat dari penetapannya. Semuanya wajib dijadikan sumber apabila khabar tersebut dapat diterima.
Tentang pendapat kedua, Ibnu Qoyyim al Jauziyah dalam Ushul Fatwa Imam Ahmad, mengatakan Imam Ahmad mengambil hadits mursal dan dhoif apabila dalam bab tersebut tidak ada hadits yang dapat dijadikan hujjah. Beliau juga merojihkan hadits dhoif daripada berhujjah dengan qiyas. Ibnu Qoyyim berkata: "Maksud hadits dhoif tersebut bukanlah hadits bathil ataupun mungkar, bukanpula yang di dalamnya perowi yang tertuduh pendusta yangmana tidak diperbolehkan untuk menjadikannya hujjah dan juga beramal dengannya. Akan tetapi hadits dhoif merupakan bagian dari shohih dan bagian dari hasan. Beliau tidak membagi hadits menjadi shohih, hasan, dan dhoif, tetapi menjadi shohih dan dhoif. Dan hadits dhoif memiliki beberapa tingkatan. Apabila dalam suatu permasalahan beliau tidak mendapatkan atsar, perkataan shahabat, serta ijma' yang menyelisihinya, maka beramal dengannya lebih diutamakan daripada beramal dengan qiyas. Secara global, tidak ada seorang imampun pasti dia sependapat dengannya dalam hal ini. Tidak ada di antara mereka pasti lebih mengutamakan hadits dhoif daripada qiyas). A'lam Muwaqi'in Juz I hal: 31. Bersamaan dengan ini beliau tidak mengamalkan hadits dhoif kecuali apabila tidak terdapat hadits lain dalam bab ini.
Diriwayatkan dari beliau, Ibnu Mahdi, dan Ibnul Mubarok: (Apabila kita meriwayatkan halal dan haram maka kami sangat ketat, dan apabila meriwayatkan tentang fadhoil dan semisalnya kami lebih longgar).
Kami melihat sebagian manusia memahami apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad, Ibnu Mahdi, dan Ibnul Mubarok dengan pemahaman yang jauh dari apa yang mereka maksud. Sehingga mereka menyebarkan statement "boleh mengamalkan hadits dhoif" untuk fadhoil amal (keutamaan amal), berdasarkan mudahnya mereka meriwayatkan hadits dhoif tanpa menjelaskan kedhoifannya. Mereka memasukkan beberapa perkara agama yang tidak berdasarkan kepada dalil yang dapat diterima, atau kepada suatu perkara berdasarkan pada hadits dhoif tanpa membedakan antara definisi yang dimaksud oleh para ulama qudama (dahulu) dan ulama mutaakhirin (kontemporer).
Tentang pendapat ketiga, syarat yang ditentukan oleh ulama mutaakhirin dalam mengamalkan hadits dhoif –apabila terpenuhi- tidak menjadikannya sebagai sumber dalam menetapkan hukum syar'I. Cukuplah bagi kita untuk menyandarkan segala sesuatu kepada hadits shohih dan hadits hasan, setelah kita mengetahui perbedaan maksud hadits dhoif dari ulama qudama dan ulama mutaakhirin. Sebab seseorang lebih tenang dalam mengamalkan hadits shohih melebihi hadits yang telah jelas kedhoifannya.

Read More..

Mensikapi Perpecahan

Perpecahan merupakan sunnatullah yang terjadi dalam setiap umat, tak terkecuali umat islam. Hal ini sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah  bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Tujuh puluh dua masuk neraka dan satu masuk surga.
Namun bukan berarti hal ini menjadi justifikasi (pembenar) atas terjadinya perpecahan ini. Tidak pula membiarkannya dan tidak ikut andil dalam mencegah terjadinya perpecahan.
Sebagai seorang muslim maka sudah menjadi kewajiban dengan tidak membiarkan kesesatan menyebar serta merajalela. Oleh karenanya berikut ini beberapa cara yang dapat ditempuh dalam mensikapi perpecahan ini:
1. Memulai dengan ilmu
Hal ini sebagaiman yang dilakukan oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah. Pada masa beliau hidup banyak sekali firqoh sesat yang menyebar di tengah masyarakat. Seperti Syi'ah, Shufi, Quburiyah, Jahmiyah, Mu'tazilah, Qodariyah, Bathiiyah, serta firqoh lainnya. Ketika beliau menyadari bahwa kerusakan ini tidak dapat diperbaiki kecuali dengan ilmu. Maka mulailah beliau mendalami dunia ilmu, terutama adalah Al Qur'an dan As Sunnah.
Walaupun beliau tumbuh berkembang di keluarga berilmu, hal tersebut tidak membuat beliau merasa cukup. Inilah yang menunjukkan hikmah beliau. Karena tidak ada hakim (orang berhikmah) kecuali memiliki ilmu bermanfaat. Orang yang tidak memiliki tak dapat memberi.
2. Menyebarkan ilmu
Setelah menguasai berbabagai cabang ilmu terutama kitab dan sunnah, maka beliau mulai menyebarkannya. Beliau bentuk halaqoh-halaqoh ilmu serta majelis ilmu. Lewat majelis dan halaqoh tersebut beliau sebarkan manhaj salaf. Beliau juga mengajak umat ini untuk berpegang teguh terhadap manhaj salaf.
Mengapa manhaj salaf? Sebab merekalah yang paling mengerti terhadap maksud dari al qur'an dan as sunnah, karena kedekatan mereka terhadap rasulullah  dan mereka paham terhadap sebab turunnya al qur'an. Selain itu keimanan terbatas dengan apa yang telah ada pada nabi dan para shahabatnya. Maka tidak ada iman kecuali iman mereka, dan tidak ada kebenaran kecuali kebenaran yang terdapat pada mereka.
3. Jidal (Diskusi/ dialog)
Inilah cara yang perlu ditempuh yakni dengan mengadakan debat / diskusi. Ini pula yang dilakukan oleh Ali ketika mengajak Khawarij kembali ke jalan yang benar. Beliau mengutus Abdullah bin Abbas ke perkampungan Khawarij untuk mengadakan diskusi serta bertanya kepada mereka sebab dendam mereka kepada Ali. Mereka mengemukakan 3 alasan. maka Ibnu Abbas pun menjawab dengan argumentasi yang sangat jelas, layaknya cahaya matahari menembus ke dalam kalbu menghidupkan cahaya iman. Diskusi tersebut tidak saja membuat mereka terdiam namun juga mengerti serta menerima alas an yang dikemukakannya. Sehingga belum lagi debat itu selesai, 2000 orang Khawarij bangkit serentak mengatakan kepuasan mereka terhadap keterangan Ibnu Abbas. Mereka memaklumkan penarikan diri mereka dari memusuhi Ali dan kembali ke pangkuan ahlus sunnah wal jamaah.
Ibnu Taimiyah pun pernah menempuh cara yang sama. Ketika para pengikut madzhab sesat menentang kitab Aqidah Wasithiyah karangan beliau maka diadakan debat terbuka. Semua ulama madzhab tersebut hadir dihadapan sulthon serta disaksikan kerumuman manusia. Mereka mendebat syaikh islam dengan argumentasi yang banyak. Namun semua itu dapat beliau patahkan. Beliau juga menjelaskan bahwa aqidah karangan beliau tidaklah dari dirinya sendiri namun berdasarkan al qur'an dan as sunnah, serta ijma' salafush sholih. Sehingga selepas majelis banyak dari mereka memuji Ibnu Taimiyah serta kembali berpegang teguh dengan madzhab salaf.
4. Menulis buku
Cara lain yang dapat ditempuh yakni dengan menulis buku. Buku tersebut berisi penjelasan tentang firqoh / golongan sesat tersebut. Mulai dari pendiri, masa kemunculan, tokohnya, inti ajaran, serta sebab kesesatannya. Cara ini pernah ditempuh oleh Ibnu Taimiyah dengan menulis Minhajus Sunnah.
Buku tersebut memuat firqoh sesat yang merebak pada masa beliau hidup. Beliau paparkan dengan rinci semua hal yang berkaitan dengan firqoh tersebut. Bahkan beliau lebih mengetahui madzhab mereka dari pada mereka sendiri.
Contoh lain dari buku yang memuat tentang firqoh sesat pada saat ini adalah Mausu'ah Muyassaroh. Buku tersebut mengungkap berbagai firqoh sesat yang berkembang kontemporer ini.

Read More..

Tidur Yang Membatalkan Wudhu

>> Sabtu, 18 April 2009

Pendahuluan
Segala puji bagi Allah  yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kehadirat nabi Muhammad  dan seluruh sahabat beliau.
Salah satu ajaran yang paling pokok dalam Islam adalah masalah shalat. Ia merupakan salah satu dari rukun Islam, tiangnya agama. Bahkan shalat menjadi tolok ukur bagus tidaknya amalan seorang muslim. Dan merupakan amalan manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat kelak.
Oleh karena itu, mengingat pentingnya masalah shalat ini, hendaknya seorang muslim mengetahui hal-hal yang berkaitan denganya. Baik hal-hal yang menjadikan shalat itu baik dan benar atau pun hal-hal yang bisa merusak shalat itu sendiri.
Satu hal yang paling urgen dalam masalah ini adalah keadaan seseorang yang menentukan sah tidaknya shalat itu sendiri. Di antaranya adalah masalah thaharah. Karena orang yang tidak suci ketika shalat maka shalatnya tidak sah. Untuk itu perlu kita ketahui sesuatu yang bisa membatalkan thaharah itu sendiri.
Ada banyak hal yang bisa membatalkan thaharah. namun dalam makalah ini kami hanya akan membahas tidur, apakah membatalkan thaharah atau tidak. Mengingat banyaknya perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqih, maka kami perlu membahas masalah ini.
Dalam tulisan ini akan kami paparkan dalil-dalil yang berhubungan dengan tidur, baik yang menunjukkan batalnya wudhu dan juga yang menunjukkan tidak batalnya wudhu karena tidur itu sendiri. Juga kami paparkan perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih dalam masalah ini, dan kami akhiri dengan kesimpulan.
Kami menyadari banyaknya kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini. Untuk itu kami meminta ustadz yang terkait untuk bisa mengoreksi dan memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Dan kami senantiasa memohon ampun kepada Allah  atas kesalahan, baik disengaja ataupun tidak.

Pengertian
Tidur adalah keadaan dimana seseorang hilang kesadarannya.
Sedangkan orang yang batal wudhunya berarti ia tidak dalam keadaan suci lagi atau terkena hadats, maka ia harus berwudhu agar kembali suci.

Dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah ini
Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa tidur tidak membatalkan wudhu.
1. Hadits anas bin malik , ia berkata, “saat itu sudah dikumandangkan iqamat untuk shalat, tetapi Nabi  memanggil seseorang dan beliau terus memanggilnya sampai para sahabat yang lain tertidur, kemudian nabi  datang dan shalat bersama mereka.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُاكَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِي وَاللَّهِ

Dari qatadah dia berkata, “aku mendengar anas berkata, “dahulu shahabat-shahabat Rasulullah  tidur kemudian shalat dengan tidak berwudhu lagi’, ada yang berkata, “aku bertanya, ‘engkau mendengarnya dari anas?”, dia menjawab, “ya, demi Allah.”
3. Hadits ibnu abbas , ia berkata, “aku bermalam di rumah bibiku maimunah, Rasulullah  bangun dan aku berdiri di samping kirinya, maka beliau memegang tanganku dan menjadikanku di sebelah kanannya, maka apabila aku tertidur, beliau memegang daun telingaku.” Ibnu abbas mengatakan beliau shalat sebelas rekaat.
4. Hadits yang diriwayatkan dari ibnu abbas  ia berkata:
بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ قَالَ خَطِيطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

“Aku bermalam di rumah bibiku Maimunah, maka Rasulullah  shalat isya’, kemudian beliau  datang dan shalat empat rekaat kemudian tidur kemudian bangun, maka aku berdiri di samping kiri beliau , maka rasulullah  menjadikanku di sebelah kanannya kemudian shalat lima rekaat dan dua rekaat kemudian beliau tidur sampai aku mendengar dengkuran beliau kemudian beliau keluar untuk shalat.
Secara dhahir dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa tidur tidak membatalkan wudhu. dan semua hadits-hadits di atas shahih.
Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa tidur membatalkan wudhu.
1. Hadits safwan bin assal, dia berkata, “Rasulullah  memerintahkan kami mengusap sepatu-sepatu kami tatkala kami bepergian jauh dan tidak dilepas selama tiga hari, baik karena buang air besar, kencing, atau tidur, kecuali mengalami janabat.” . hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah  menyamakan semua jenis tidur, tidak mengkhususkan lama atau sebentar, satu keadaan dengan keadaan yang lain, dan disamakan antara tidur dengan perkara buang air besar atau kecil.
2. Dari Ali bin Abi Thalib , dari nabi ,
“kedua mata adalah tali (penutup) dubur, barang siapa yang tidur, hendaklah dia berwudhu.”
3. Ulama yang menyatakan bahwa tidur membatalkan wudhu mengatakan para ulama bersepakat mewajibkan wudhu bagi seorang yang hilang akalnya karena gila atau pingsan, bagaimana pun kondisinya, demikian juga halnya dengan tidur.

Perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqih
dalam hal ini para ulama terbagi menjadi tiga kelompok pendapat:
Pertama: tidur itu membatalkan wudhu (hadats). Karenanya orang yang berpendapat demikian mewajibkan wudhu bagi orang yang tidur, baik sedikit atau banyak.
Kedua: tidur bukan merupakan hadats. Karenanya, tidak wajib wudju lantaran tidur. Kecuali jika ketika tidur itu yakin mengeluarkan hadats. Ini menurut fuqaha’ yang tidak menganggap pengaruh ragu-ragu, kecuali jika orang yang tidur itu merasa ragu. Menurut fuqaha’ yang berpendapat bahwa syak itu terdapat pengaruh, maka sebagian ulama salaf—jika tidur—mereka minta kepada orang lain untuk menilai keadaannya, apakah mengeluarkan hadats atau tidak.
Ketiga: membedakan antara tidur sedikit dengan tidur banyak. Mereka mewajibkan wudhu untuk tidur banyak, sedang tidur sedikit tidak mewajibkan wudhu.

Pendapat dari empat Mazhab:
Hanafiah: Pada hakekatnya tidur itu sendiri tidak membatalkan wudhu, kecuali dalam tiga keadaan. Pertama: tidur dengan posisi miring, kedua: tidur denga posisi berbaring atau terlentang. Ketiga: tidur bertumpu pada salah satu pangkal paha.
Tidur dengan tiga posisi di atas menyebabkan longgarnya persendian, sehingga seseorang tidak tahu keadaan dirinya. Sedangkan posisi tidur dengan duduk tenang di atas tanah atau yang lainnya maka tidak membatalkan wudhu, sesuai dengan pendapat yang paling benar.
Syafi’iyyah: Orang yang tidur batal wudhunya kecuali antara pantat dan tempat duduknya rapat dan tidak ada celah, seperti dengan duduk atau menunggang kendaraan. Sedangkan kalau ada celah antara keduanya maka wudhunya batal. Sedangkan ngantuk tidak membatalkan wudhu, walaupun keadaannya sangat ngantuk, karena ia masih bisa mendengar suara orang yang berbicara di dekatnya walaupun tidak memahaminya.
Hanabilah: Tidur membatalkan wudhu bagaimana pun keadaanya. Kecuali tidur yang ringan dalam posisi duduk atau berdiri.
Dalam kitab Al-Mugni disebutkan, tidur terbagi menjadi tiga: pertama, tidur terlentang. Tidur yang seperti ini membatalkan wudhu, baik sebentar atau lama (menurut pendapat yang mengatakan tidur membatalkan wudhu). Kedua, tidur dengan duduk. Jika tidurnya sebentar tidak membatalkan wudhu, namun jika lama maka membatalkan wudhu. Ketiga, selain dua keadaan di atas. Yaitu tidur dengan posisi berdiri, ruku atau sujud. Ada yang mengatakan batal wudhunya, namun ada yang mengatakan tidak batal wudhunya dengan catatan tidurnya tidak lama.
Malikiyah: Tidur yang nyenyak membatalkan wudhu baik sedikit atau banyak, dengan posisi berdiri, duduk ataupun sujud. Sedangkan tidur yang ringan tidak membatalkan wudhu, baik sebentar maupun lama dengan posisi apa pun.

Munaqasah
Karena dalil-dalil yang ada saling bertentangan, maka dalam mensikapi hal ini para ulama menggunakan dua metode, tarjih dan thoriqotul jam’i.
Ulama yang mengikuti cara tarjih, kadang berpendapat ingin menghapuskan kewajiban wudhu lantaran tidur sama sekali, berdasarkan hadits-hadits yang menghapuskannya. Kadang, mereka mewajibkan wudhu karena tidur—sedikit atau banyak—berdasarkan hadits-hadits yang mewajibkan wudhu. Jadi hadits yang terkuat tidak tampak jelas, apakah hadits yang mewajibkan wudhu atau yang menghapuskannya.
Kelompok yang berpendapat dengan metode thoriqotul jam’i menginterpretasikan hadits-hadits yang mewajibkan wudhu karena tidur dengan pengertian tidur yang banyak. Sedang hadits yang tidak mewajibkan wudhu karena tidur diartikan sebagai tidur yang sedikit. Penjamakan ini, adalah pendapat jumhur ulama’.
Sedangkan menurut ulama ushul, cara thoriqotul jam’i lebih bisa dipandang lebih baik dibandingkan cara tarjih, selama masih bisa dilakukan penjamakan.
Imam syafi’i, ketika mengecualikan tidur dengan duduk dari kewajiban wudhu mengajukan argumentasi bahwa masalah itu sudah diriwayatkan secara shahih dari para sahabat. Bahwa mereka tidur sambil duduk, lalu mengerjakan shalat tanpa wudhu terlebih dahulu.
Imam Abu Hanifah menyatakan wajibnya wudhu dikarenakan tidur dengan berbaring. Beliau menyandarkan pendapatnya ini dengan hadits marfu’ yang diriwayatkan dari ibnu umar  :
إنما الوضوء على من نام مضطجعا
“Sesungguhnya wudhu itu hanya (wajib) atas siapa saja yang tidur berbaring.”
Sedangkan imam malik berpendapat bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang pada dasarnya mendatangkan hadats. Sehingga dalam hal ini, imam malik dalam hal ini mempertimbangkan tiga segi: kenyenyakan, lamanya dan cara tidur. Namun imam malik tidak mengemukakan syarat lamanya atau cara tidurnya disamping segi nyenyaknya yang pada dasarnya hadats itu keluar. Sedang cara tidur yang pada prinsipnya tidak mendatangkan hadats, beliu mensyaratkan lama dan nyenyaknya tidur.

Pendapat yang rajih.
Dari semua dalil dan perbedaan pendapat di antara ulama fiqih yang ada bisa ditarik kesimpulan bahwa tidur yang pulas yang menyebabkan hilangnya kesadaran, tidak mampu mendengar suara, tidak merasakan jika sesuatu jatuh dari tangannya atau jika ada air liur keluar dari mulutnya dan lain-lain, adalah tidur yang membatalkan wudhu. Sebab tidur semacam ini menandai terjadinya hadats, sama saja apakah dalam posisi berdiri, duduk, berbaring, ruku’, sujud, tidak ada bedanya semua posisi itu.
Tetapi jika tidur ringan berupa rasa kantuk yang sangat sehingga orang tersebut masih merasakan hal-hal yang kami sebutkan di atas, maka bagaimana pun kondisinya, tidur seperti itu tidak membatalkan wudhu. Sesuai dengan hadits yang menyebutkan tertidurnya para shahabat sampai kepala mereka tertunduk, dan hadits Ibnu Abbas ketika shalat bersama nabi . Dengan demikian terkumpullah seluruh dalil-dalil yang tersebut di dalam bab ini. Wallahu a’lam bish-shawab

Referensi
1. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul-Maqashid, Ibnu Rusyd, Darul-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon
2. “Shahih Fiqih Sunnah Lengkap Berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan para imam yang termasyhur“, Abdul Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, pustaka azzam, jakarta, cetakan ke I tahun 2006.
3. Al-Mugni, Ibnu Qudamah, hajar, kairo, cetakan ke II tahun 1412 H/1992 M.
4. Al-Fiqhul Al-Islamy Wa Adillatihi, Dr. Wahbah Az-Zahily, Darul-Fikri, Damsyiq, cetakan ke III tahun 1409 H/1989 M.
5. Maktabah Syamilah

Read More..

Arrahmah.Com - Technology

Arrahmah.Com - International

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP