Mush’ab bin umair Potret keberhasilan seorang da’i

>> Selasa, 03 Maret 2009

Keberhasilan suatu kegiatan dakwah sangat dipengaruhi oleh kualitas dari para pengemban dakwah itu sendiri. Hal ini tidak dapat dipungkiri dan sudah dibuktikan pada masa Rasulullah . Para sahabat beliau  adalah manusia pilihan yang memiliki kepribadian yang sangat menakjubkan. Mereka inilah manusia-manusia yang dengan senang hati mengorbankan apa pun yang dimiliki demi kemajuan dakwah islam.
Pada umumnya para sahabat  adalah orang-orang yang baik dan mulia. Namun masing-masing dari mereka memiliki kelebihan sendiri-sendiri yang tidak dimiliki oleh yang lain. Begitu juga dengan pemuda yang satu ini. Ia merupakan sosok yang sangat dihormati di kalangan penduduk mekkah sebelum ia masuk islam. Pakaiannya senantiasa bersih, rapi dan wangi. Rambutnya yang hitam selalu disisir rapi. Kemampuannya berbicara yang memancarkan kewibawaan. Dengan segala kelebihan yang ia miliki menjadikan para penduduk mekkah selalu merindukannya dan senantiasa menjadi bahan pembicaraan para gadis.
Maka tidak salah rasulullah  memilihnya untuk medakwahkan islam di madinah. Bahkan Ia adalah duta pertama rasulullah  yang mampu menjadikan sebagian besar penduduk madinah menerima dienul islam.
Ia adalah sosok sahabat yang sangat mulia. Islam telah mengubah total hidupnya. Dari keadaan yang penuh dengan kemewahan yang tidak dirasakan oleh anak muda pada saat itu menjadi seorang pemuda yang sangat zuhud terhadap dunia.

Nasabnya
Mush’ab bin Umair bin Hashim bin Abd Manaf bin Abdil Daar bin Qushai bin Kilab bin Murrah Al-Qurasyi Al-Abdary. Kuniahnya adalah Abu Abdillah. Dia adalah sahabat Rasulullah  yang sangat terkenal dan menjadi teladan bagi umat islam sepanjang zaman.
Mus’ab bin umair adalah salah seorang di antara sahabat Nabi Muhammad . Ia bagaikan mawar suku Quraisy, yang terpandai dan tertampan. Para ahli sejarah melukiskannya sebagai “penduduk Mekah yang sangat mempesona.”
Ia lahir dan dibesarkan dalam kemewahan serta tumbuh dalam keadaan yang serba kecukupan. Mungkin tidak ada seorang anak-anak pun di Mekah yang dimanjakan oleh kedua orang tuanya seperti yang dialami Mus’ab bin Umair. Anak muda yang periang ini, hidup mewah dan dimanjakan oleh kedua orang tuanya serta menjadi Buah bibir gadis-gadis Mekkah. Ia pun merupakan permata kaumnya yang disegani dan dihormati.

Keislaman dan kehidupannya setelah masuk islam
Suatu hari, anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar di kalangan penduduk mekkah mengenai Muhammad Al-Amin, bahwa Allah telah mengutusnya sebagai pembawa berita gembira dan peringatan untuk mengajak mereka menyembah kepada Allah . Ketika perhatian penduduk Mekkah terpusat pada berita itu, tidak ada yang menjadi pembicaraan mereka selain Nabi Muhammad  dan ajarannya. Mush’ab sendiri merupakan pendengar yang penuh perhatian.
Ia telah sering mendengar kalau Nabi  dan para pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang jauh dari gangguan para pemimpin Quraisy yaitu di Ash-Shafa di rumah Al-Arqam bin Al-Arqam (Daar Al-Arqam). Dia tidak membuang waktu dan pada suatu malam pergi ke Darul Arqam dengan perasaan rindu dan khawatir. Di sana, Nabi Muhammad  bertemu dengan para sahabat, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan shalat. Ketika Mush’ab baru duduk dan merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan oleh Nabi Muhammad , hatinya menjadi terpesona dan kagum.
Hampir saja ia terangkat dari tempat duduknya karena dipenuhi oleh perasaan gembira yang luar biasa. Tapi Rasulullah  menepuk dadanya dengan tangan kanannya, hingga hatinya menjadi tenang dan damai bagaikan kedalaman laut yang tenang. Dalam sekejap mata, pemuda yang baru saja memeluk islam itu tampak lebih bijaksana jika dibandingkan umurnya yang masih muda dan mempunyai kebulatan tekad yang mampu mengubah perjalanan sejarah.
Ibunda Mush’ab yaitu khunas binti Malik yang ditakuti oleh para penduduk Mekkah karena memiliki kepribadian yang kuat. Ketika Mush’ab memeluk islam, tidak ada satu orang pun yang ditakutinya di dunia ini selain ibunya. Bahkan penduduk mekkah beserta semua berhala-berhalanya, para bangsawan dan padang pasir menantangnya, ia akan menghadapinya. Tetapi untuk berselisih dengan ibunya merupakan sesuatu yang tidak mungkin, sehingga ia berpikir dan akhirnya memutuskan untuk menyembunyikan keislamannya sampai Allah menghendaki. Ia senantiasa pergi ke Darul Arqam dan mendapat pelajaran dari Nabi Muhammad . Ia merasa puas dan bahagia dengan keimanannya dan dapat menghindari kemarahan ibunya yang belum mengetahui keislamannya.
Bagaimanapun, kota Mekkah pada saat itu tidak dapat menyimpan rahasia. Mata dan telinga kaum Quraisy di mana-mana, bersiap dan mengikuti setiap jejak kaki di tanahnya. Pada waktu itu, Utsman bin Thalhah, melihatnya memasuku rumah Al-Arqam secara sembunyi-sembunyi, lalu pada hari yang lain ia melihatnya shalat seperti muhammad. Segera ia menyampaikan kepada ibu Mush’ab, yang merasa kaget atas berita tersebut.
Mush’ab berdiri di depan ibunya serta para penduduk dan bangsawan mekkah yang berkumpul mengelilinya, menyampaikan kepada mereka kebenaran yang tidak terbantah dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah mencucikan hatinya dan mengisinya dengan kemuliaan, kebijaksanaan, kejujuran dan ketakwaan.
Ketika ibunya bermaksud menamparnya, tangannya yang bagaikan anah panah tiba-tiba luluh pada sebuah kekuatan cahaya yang membuat wajah Mush’ab telah bersinar dengan keagungan. Bagaimanapun, ibunya yang berada di bawah tekanan tradisi turun-temurun, tidak jadi memukulnya, meskipun menjadi kekuasaannya untuk membela tuhan-tuhan yang telah ditinggalkan anaknya. Sebagai gantinya, ia membawa Mush’ab ke salah satu sudut rumah dan mengurungnya. Mush’ab dikurung di sana sampai akhirnya ia mendengar berita tentang hijrahnya beberapa orang muslim ke Habsy. Ia mencari akal dan berhasil memperdaya ibu serta para penjaganya lalu pergi ke Habsy.
Ia tinggal di sana bersama kaum muslimin yang lain, kemudian kembali ke Mekkah. Ia juga ikut hijrah yang kedua kalinya bersama para sahabat atas perintah Rasulullah . Baik di Mekkah maupun di Habsy, keimanannya makin bertambah.
Mush’ab merasa yakin bahwa hidupnya telah cukup baik untuk dipersembahkan sebagai pengorbanan kepada sang pencipta dan Penguasa alam semesta. Pada suatu hari ia tampil di hadapan kaum muslimin yang sedang duduk di sekitar Nabi Muhammad , dan ketika mereka melihatnya mereka menundukkan kepala dan meneteskan air mata, karena melihatnya mengenakan jubah yang telah usang. Mereka mengingatkan penampilannya sebelum masuk islam di mana pakaiannya bagaikan bunga-bunga taman, sangat bagus dan harum.
Nabi Muhammad  menyaksikannya dengan pandangan yang penuh arti, rasa syukur dan cinta, dan bibirnya tersungging dengan anggun seraya berkata: “saya melihat Mush’ab dahulu, tidak ada anak-anak di mekkah yang dimanja orang tuanya seperti dia. Tetapi sekarang ia menanggalkan semuanya demi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Ibunya telah menghentikan semua kesenangan yang pernah diperolehnya, karena ia tidak dapat mengembalikan Mush’ab kepada agamanya. Ia menolak siapa pun yang telah meninggalkan berhalanya untuk memakan makanannya, bahkan oleh anak kandungnya sendiri. Hubungan terakhir antara ibunya dan Mush’ab adalah ketika ibunya hendak mengurungnya yang kedua kali setelah kembali dari Habsy dan ia berjanji bahwa jika ibunya melakukan hal tersebut maka ia akan membunuh orang-orang suruhan ibunya. Ketika tahu kebulatan tekad putranya yang telah mengambil keputusan, maka ia-pun melapaskan Mush’ab dengan tetesan air mata.
Peristiwa tersebut melukiskan kegigihan ibunya yang berusaha mempertahankan kekafiran serta sebaliknya kesetiaan dan ketaatan Mush’ab mempertahankan keimanan. Ketika ibunya berkata kepada Mush’ab—pada saat mengusirnya dari rumah: “pergilah! aku bukan ibumu lagi.” Maka Mush’ab menghampiri ibunya dan berkata: “ wahai ibuku, saya telah menasihati dan mengasihanimu, mohon saksikanlah bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Ibunya menyahut kepadanya dengan sangat marah: “Demi bintang, aku tidak akan pernah memeluk agamamu, menurunkan statusku dan melemahkan pikiranku.”
Mush’ab pun meninggalkan hidup penuh kesenangan dan memilih hidup miskin dan sengsara. Ia merasa puas dengan kehidupan keras yang belum pernah dialami sebelumnya, mengenakan pakaian yang usang, makan sehari dan menderita lapar beberapa hari. Semangat ini, yang telah didasari oleh keimanan yang kuat, dihiasi oleh cahaya ilahi dan telah mengubah dirinya menjadi seorang manusia dan pribadi yang lain.

Keberhasilannya dalam berdakwah
Ketika ia berada pada keadaan ini, Rasulullah  mengangkatnya untuk sebuah misi besar dalam hidupnya, yaitu menjadi duta ke Madinah. Misinya adalah mengajar kaum Anshar yang telah beriman dan bai’at kepada Rasulullah  di Aqabah, mengajak yang lain untuk masuk islam dan mempersiapkan penyambutan hijrah Rasulullah . Pada saat itu terdapat beberapa sahabat Rasulullah  yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan rasulullah  dibanding Mush’ab. Tetapi beliau memilih Mush’ab yang baik dan mempercayakan tugas penting pada saat itu, menyerahkan ke tangannya nasib islam di Madinah, suatu kota yang ditakdirkan menjadi tempat hijrah, batu loncatan para da’i islam dan pembebas masa depan.
Mush’ab memikul tugas dan kepercayaan yang telah diberikan Allah kepadanya serta melengkapinya dengan pikiran yang cerdas berbudi luhur. Ia berhasil mengambil hati penduduk Madinah dengan sifat zuhud, jujur dan hati yang tulus. Sehingga mereka berduyun-duyun memeluk agama islam. Ketika Rasulullah  mengutusnya ke Madinah, hanya terdapat 12 orang muslim yang telah bai’at di bukit Aqabah. Tetapi beberapa bulan kemudian terjadi beberapa peningkatan orang-orang yang memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya. Selama musim haji berikutnya umat muslim Madinah mengirim perwakilan sebanyak 70 orang laki-laki dan perempuan ke Mekkah untuk bertemu dengan Rasulullah .
Mereka datang disertai dengan guru mereka dan duta Rasulullah  yaitu Mush’ab bin umair. Mush’ab telah membuktikan dengan keutamaan dan pikiran cerdasnya bahwa Rasulullah  mengetahui dengan pasti bagaimana memilih duta dan guru-gurunya.
Mush’ab memahami tugasnya dengan baik. Ia mengetahui bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah dan rasul-Nya, ia menyeru orang-orang kepada jalan yang lurus. Sebagaimana Rasulullah  yang dipercayainya, ia tidak lebih sebagai penyampai pesan. Di madinah, mus’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin zurarah, dan keduanya sering mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat pertemuan, membacakan ayat-ayat al-qur’an dari Allah serta menanamkan pengertian bahwa Allah adalah Rabb Yang Maha Esa.
Ia pernah menghadapi beberapa kejadian yang hampir merenggut juwa dan sahabat-sahabatnya, tetapi terselamatkan oleh kecerdasan akal dan kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang mengajarkan islam kepada orang-orang, dikejutkan oleh kehadiran pemimpin kabilah ‘abd al-ashal yaitu usaid bin hudair, yang menantangnya dengan menghunuskan panahnya.
Usaid sangat marah dan benci terhadap mus’ab yang berusaha memalingkan agama orang-orangnya dengan mengajarkan kepada mereka meninggalkan berhala-berhala dan mengatakan ide tentang hanya ada satu ilah yang berhak diibadahi yaitu Allah. Tuhan-tuhan mereka merupakan pusat penyembahan, di mana pun mereka memerlukannya meka mereka mengetahui dan melihat tempatnya dan memohon pertolongan kepadanya. Begitulah yang ada dipikiran dan dibayangkan oleh mereka.
Tetapi tuhan Muhammad, yang diserukan oleh mus’ab tidak ada yang mengetahui tempatnya dan tidak ada yang dapat melihatnya. Ketika kaum muslimin yang duduk di sekeliling mus’ab menjadi takut menyaksikan usaid bin hudair yang murka, mus’ab tetap tenang. Usaid berdiri di depan mus’ab dan as’ad bin zurarah sambil membentak, “apa yang membuat kalian datang kemari? Apakah kalian hendak mengubah kepercayaan kami? Pergilah dari sini jika ingin selamat!”
Bagaikan tenangnya lautan, mus’ab mengatakan dengan halus: “kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dahulu? Jika anda menyukainya anda dapat menerimanya; dan jika anda tidak menyukainya, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai!”
Allahu akbar! Bagaimana sebuah awal atau pembukaan yang baik akan berakhir dengan menyenangkan! Usaid sebenarnya seorang yang cerdas dan sekarang ia diajak mus’ab hanya untuk mendengar dan tidak yang lainnya. Jika ia berhasil meyakinkannya, maka ia akan menerimanya dan jika tidak maka mus’ab akan meninggalkan lingkungan dan kelompoknya untuk mencari lingkungan lain yang tidak merugikan atau tidak dirugikan kemudian usaid menjawabnya dengan mengatakan, “baik, cukup adil.” Dan ia menurunkan panahnya serta duduk mendengarkan.
Mus’ab lalu membacakan ayat-ayat al-qur’an, menjelaskan dakwah yang dibawa Muhammad bin abdullah, sedangkan kesadaran usaid bin hudair menjadi jelas dan bercahaya serta berubah seiring dengan untaian kata-kata yang diucapkan. Ia diliputi oleh keindahan. Ketika mus’ab selesai bicara, usaid bin hudasir menyeru keopadanya dan orang-orang di sekelilingya: “alangkah indah dan benarnya ucapan itu! Bagaimana ornag yang hendak masuk agama ini?” mus’ab mengatakan, dengan mensucikan diri dan pakaiannya serta mengucapkan: “saya bersaksi tiada ilah yang haq kecuali Allah.”
Usaid kemudian pergi dan kembali dengan menuangkan air di kepalanya serta berdiri sambil menyatakan, “saya bersaksi tiada ilah yang haq selain Allah.”
Usaid kemudian pergi dan kembali dengan menuangkan air di kepalanya serta berdiri sambil menyatakan: “seya bersaksi tiada ilah yang haq selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.”
Berita tersebut langsung tersebar dan sa’ad bin mu’ad datang untuk mendengarkan mus’ab sehingga ia merasa yakin lalu memeluk islam. Kemudian disusul oleh sa’ad bin ubadah.
Dengan masuknya mereka berdua ke dalam islam, penduduk madinah kemudian bertanya-tanya di antara mereka: “jika usaid bin hudair, sa’ad bin muadz dan sa’ad bin ubadah telah memeluk islam, apalagi yang kita tunggu? Ayo kita pergi ke mus’ab dan beriman bersamanya. Demi Allah, ia telah menyeru kepada kita kebenaran dan jalan yang lurus!”
Duta pertama nabi Muhammad  sukses tanpa tandingan. Keberhasilan yang wajar dsan layak diperolehnya.

Menjemput kesyahidan
Hari-hari dan tahun-tahun pun berlalu. Rasulullah dan para sahabat hijrah ke madinah dan orang-orang Quraisy merasa iri serta menyiapkan pengejaran terhadap hamba-hamba Allah yang saleh. Sehingga terjadilah perang badr dan mereka memperoleh pelajaran pahit seta kehilangan benteng. Setelah itu mereka mempersiapkan untuk melakukan balas dendam dan terjadilah perang uhud. Kaum muslim memobilisasi diri dan nabi Muhammad  berdiri di tengah-tengah umatnya untuk memilih siapoa yang sebaiknya membawa panji islam. Beliau lalu memanggil mus’ab dasn terpilihlah ia sebagai pembawa panji pasukan muslimin.
Peperangan terjadi dengan dahsyatnya. Pasukan panah tidak mematuhi perintah Rasulullah dengan meinggalkan posisinya di bukut setelah melihat seolah-olah orang musyrik telah dikalahkan dan menyerah. Tetapi tindakan mereka ini ternyata mengalihkan kemenangan kaum muslim menjadi kekalahan. Karena tanpa disadari pasukan berkuda Quraisy menyerbu dari puncak bukit sehingga menyebabkan banyak orang muslim terbunuh.
Ketika melihat pasukan umat muslim porak-poranda, kaum musyrik mengerahkan serangan kepada Rasulullah dengan maksud membunuhnya. Mus’ab menyaksikan ancaman tersebut, maka diacungkan bendera tinggi-tinggi dan berteriak: “Allahu akbar! Allahu akbar!” bagaikan raungan singa, ia berputar sambail melompat ke kiri dan ke kanan, bertempur dan membunuh para musuhnya. Maksudnya adalah untuk menarik perhatian musuh kepadanya sehingga mengalihkannya dari Rasulullah. Ia seolah-olah menjadi keseluruhan pasukan pada dirinya. Sungguh, mus’ab bertempur seorang diri bagaikan poasukan besar yang mengacungkan bendera dengan satu tangan, sedang tangan lainnya menebaskan pedang. Tetapi musuh semakin banyak jumlahnya yang ingin melewati jenazahnya sehingga dapat mencapai Rasulullah .
Marilah kita simak situasi yang melukiskan saat-saat terakhir mus’ab bin umair yang agung. Ibn sa’ad berkata: ibrahim bin Muhammad bin sharhabil al-abdari dari bapaknya, ia berkata: “mus’ab bin umair pembawa panji di perang uhud. Ketika pasukan muslim terpencar, mus’ab tetap bereda di tempatnya sehingga datanglah seorang musuh berkuda yang bernama ibnu quma’ah. Ia menebas tangan kanannya tetapi mus’ab berkata, “Muhammad tiada lain hanyalah seorang rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa rasul.” (3:144). Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya dan menyandarinya. Ia menebas tangan kirinya hingga putus sehingga ia menyandar ke bendera dan melekatkan ke dada dengan kedua pangkal tangannya sambil berkata, “Muhammad tiada lain hanyalah seorang rasul dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa rasul.” Lalu ia menyerangnya yang ketiga kali dengan tombak, sehingga mus’ab gugur dan panji pun jatuh.
Sungguh, ia telah gugur dalam keadaan syahid di usianya yang ke empat puluh . Ia gugur setelah berjuang dalam pertempuran hebat yang menuntut pengorbanan dan keimanan demi Allah . Ia khawatir jika ia terbunuh akan menyebabkan kematian Nabi . Karena tidak ada yang melindungi dan membela beliau. Tetapi ia menempatkan dirinya pada posisi seperti itu demi Nabi Muhammad . Dilandasi oleh perasaan takut dan cinta terhadap nabi, setiap tebasan pedang dari musuh dilanjutkan dengan ucapan, “dan Muhammad tiada lain hanyalah seorang rasul dan telah didahului sebelumnya oleh beberapa rasul.” (3:144). Kalimat yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu setelah ia mengucapkannya berulang kali.
Setelah pertempuran sengit tersebut selesai, mereka menemukan jasadnya yang syahid terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah, seolah-olah takut melihat jika bencana menimpa Nabi Muhammad . Sehingga ia menyembunyikan wajahnya agar tidak melihat peristiwa yang ditakutinya tersebut. Atau mungkun ia malu, karena ia mati sebagai syuhada sebelum memastikan keselamatan Rasulullah dan sebelum selesai menunaikan tugas dalam memebela dan melindungi Rasulullah.
Rasulullah dan para sahabat datang meninjau medan poertempuran untuk mengucapkan perpisahan kepada para syuhada’nya. Ketika berhenti di tempat terbaringnya jasad mus’ab, nabi Muhammad meneteskan air mata.
Khabab bin al-arat melukiskan: “kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah dengan mengharapkan pahala dan keridhaannya. Di antara kami ada yang telah wafat sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikit pun dan salah satu di antaranya ialah mus’ab bin umair, yang telah syahid pada perang uhud. Ia pun tidak meninggalkan sesuatu salain sehelai kain yang telah sobek. Jika kami menutupi kepalanya dengan kain tersebut, maka kakinya tidak tertutup dan jika kami menutup kakinya maka kepalanya yang tidak tertutup. Rasulullah memerintahkan kepada kami: “tutuplah kepalanya dengan kain tersebut dan tutuplah kakinya dengan rumput jeruk (idzkhir).”
Betapa pun sedih dan dukanya Rasulullah atas kehilangan pamannya hamzah dan tubuhnya dirusak oleh orang musyrik hingga bercucuran air matanya; walaupun kenyataan medan perang dipenuhi oleh jasad para sahabatnya di mana semuanya melambangkan puncak kebenaran, kesucian dan cahaya; walaupun semua itu, tapi ia berdiri di hadapan jasad duta pertamanya, mengucapkan perpisahan dan meneteskan air mata. Sungguh Rasulullah berdiri di depan mus’ab dan matanya diselubungi oleh tetesan air mata, cinta dan kesetiaan sambil berkata: di antara orang-orang mukmin terdapat orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (33:23)
Kemudian beliau melihat dengan sedih kain yang ia selubungi lalu berkata: “ketika saya melihatmu di mekkah, tidak ada seorang pun yang berperhiasan mahal dan menandingi dirimu, dan sekarang kamu dengan rambut yang kusut hanya dibalut sehelai kain.” Kemudian Rasulullah melihat semua syuhada di medan perang dan bersabda: “Rasulullah akan menjadi saksi di hari kiamat bahwa kalian semua adalah syuhada di sisi Allah.” Lalu ia mengumpulkan para sahabat yang masih hidup dan berkata: “hai manusia, ziarahilah mereka, datangilah mereka dan ucapkanlah salam. Demi Allah, tidak seorang muslim pun sampai hari kaimat yang memberi salam kepada mereka kecuali mereka akan membalasnya.”


0 komentar:

Arrahmah.Com - Technology

Arrahmah.Com - International

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP