AKHLAK JUGA PENTING

>> Selasa, 29 Juli 2008

Yang penting khan aqidahnya! Yang penting khan menguasai fiqh ibadah sesuai syaritat! Yang penting khan hafal alquran!

Mungkin kita sering mendengar ungkapan-ungkapan semisal di atas. Aqidah memang penting karena merupakan tiket masuk jannah. Fiqh juga penting karena dengannya seorang muslim dapat membedakan antara amalan yang disyariatkan dan yang tidak. Dan Al quran juga tak kalah penting karena merupakan pedoman seorang muslim.


Namun banyak sekali di antara kita melupakan akhlak islamiyah. Padahal akhlak yang dibangun di atas keimanan tak kalah pentingnya. Akhlak tak dapat dipisahkan dari hal yang tersebut di atas karena merupakan satu kesatuan dengan dien Islam.

Namun sekali lagi, sungguh sangat disayangkan, kita sering berbuat tidak adil. Perhatian kita terhadap akhlak islami sangat kurang sekali. Sehingga sedikit demi sedikit generasi Islam kurang dan bahkan tidak mengerti akhlak islami.

Padahal akhlak berbanding lurus dengan keimanan. Ketika musuh-musuh Islam tidak dapat keimanan menghancurkan umat Islam, mereka menempuh cara lain yakni dengan merusak akhlak mereka. Alhasil yang mereka peroleh bahkan lebih memuaskan. Karena hakekat kerusakan umat berasal dari rusaknya akhlak. Dan sejarah mencatat, bani Israil hancur karena rusaknya akhlak para wanitanya.

Apabila untuk menghancurkan keimanan dibutuhkan pertempuran dan pertumpahan darah. Sedangkan untuk menghancurkan akhlak tidak dibutuhkan itu semua. Cara yang lebih halus dan ringan dengan hasil yang optimal. Oleh karena itu musuh umat Islam lebih memilih cara kedua ini.

Akhlak memiliki kaitan yang sangat erat dengan agama. Karena pendorong akhlak selalu berasal dari kesadaran beragama. Oleh karena itu ketika agama menjadi satu-satunya sumber akhlak islami maka hasil yang didapatkan akan sangat mencengangkan. Sebagaimana sejarah mencatat para shahabat yang mana mereka langsung dididik dengan wahyu ilahi. Begitu juga dengan tangan Rasulullah yang mengajari mereka al kitab dan hikmah yang mengeluarkan dari kegelapan kepada cahaya Islam.

Atas dasar inilah penulis meresa terpanggil untuk membahasanya. Adapun pembahasan ini mencakup definisi akhlak, apakah akhlak sifat bawaan ataukah dapat dirubah, hakekat akhlak, kaitan akhlak dan din, serta korelasi akhlak dan keimanan seseorang.
Definisi akhlak

Ada dua pendekatan untuk mendefenisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan).

Akhlak berasal dari bahasa arab yakni khuluqun yang menurut loghat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian denga perkataan khalakun yang berarti kejadian, serta erat hubungan dengan khaliq yang berarti pencipta dan makhluk yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.

Sedangkan secara terminologi akhlak suatu keinginan yang ada di dalam jiwa yang akan dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi akal/pikiran. Menurut Al Ghazali akhlak adalah sifat yang melekat dalam jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan mudah tanpa banyak pertimbangan lagi. Sedangkan sebagaian ulama yang lain mengatakan akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam didalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul disetiap ia bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah) karena sudah menjadi budaya sehari-hari

Defenisi akhlak secara substansi tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu :

1. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.

2. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini berarti bahwa saat melakuakan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur dan gila.

3. Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk.

4. Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara

5. Sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena keikhlasan semata-mata karena Allah, bukan karena dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.

Disini kita harus bisa membedakan antara ilmu akhlak dangan akhlak itu sendiri. Ilmu akhlak adalah ilmunya yang hanya bersifat teoritis, sedangkan akhlak lebih kepada yang bersifat praktis.

Sedangkan menurut Abdurrahman Hasan Al maidani akhlak adalah sifat yang ada dalam diri manusia -baik bawaan ataupun hasil usahanya- yang mempengaruhi tindak tanduknya baik terpuji maupun tercela.

Beliau menjelaskan bahwa apabila dalam diri seseorang terpatri akhlak mahmudah maka akan lahir tindak tanduk yang terpuji. Begitu pula sebaliknya, apabila dalam diri seseorang tertanam akhlak madzmumah maka akan lahir tindak tanduk yang tercela.

Namun tidaklah setiap yang tertanam dalam diri seseorang itu termasuk dalam akhlak. Ada juga hal-hal yang tertanam pada diri seseorang tetapi tidak ada hubungannya dengan akhlak seperti insting dan motivasi. Insting dan motivasi merupakan hal yang fitroh dan tidak tercela apalagi masih dalam batas kewajaran.

Contohnya adalah makan. Seseorang akan makan karena dorongan rasa lapar. Apabila dia makan masih dalam batas kewajaran maka tidak termasuk hal yang tercela. Akan tetapi apabila dia melahap makanan melebihi kewajaran maka hal itu disebabkan kejelekan akhlaknya.

Jadi sudah jelas bahwa insting dan motivasi seseorang masih dikatakan bukan akhlak ketika masih dalam batasan kewajaran. Namun ketika insting dan motivasi seseorang melebihi kewajaran maka itu sudah pasti lahir dari jeleknya akhlaknya.
Masyru’iyyah

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ ( القلم: 4 )

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al Qolam: 4)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :n اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ , وَأَتْبِعِ السَّيَّئَةَ اْلحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ " رواه الترمذي , وقال : حديث حسن وفي بعض النسخ : حسن صحيح

“Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan iringilah perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan bergaullah sesama manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi, ia berkata: Hadits ini hasan, pada lafazh lain derajatnya hasan shahih)

قيل : يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَيُّ اْلمُؤْمِنِيْنَ أَفْضَلُهُمْ إِيمْاَنًا؟ قَالَ : أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ( رواه أحمد و أبو داود و ابن حبان و الحاكم و سنده صحيح)

Suatu ketika ada yang bertanya kepada Rasulullah : Wahai Rasulullah orang mukmin manakah yang paling baik imannya? Rasulullah menjawab: Yang paling baik akhlaknya. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibn Hibban, dan Hakim dengan sanad shahih)

رَوَى التِّرْمِذِيْ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ n قَالَ: أَكْمَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا, وَ خِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ

Imam Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad shohih dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.”

رَوَى التِّرْمِذِيْ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ أَنَّ النَّبِيَّ n قَالَ: مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ اْلخُلُقِ وَ إِنَّ اللهَ يَبْغَضُ اْلفَاحِشَ اْلبَذِيْءَ.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad shohih dari Abu Darda’ bahwasanya Nabi bersabda: "Tidak ada sesuatu yang lebih memberatkan timbangan seorang mukmin pada hari kiamat dari akhlak baik. Dan sesungguhnya Allah membenci orang yang suka berkata kotor dan keji.”

وَ قَالَ وَهَب : مَثَلُ السَّيِّءُ الْخَلْقِ كَمَثَلِ اْلفَخَارَةِ الْمَكْسُوْرَةِ, لاَ تُرْقَعُ وَ لاَ تُعَادُ طِيْنًا.

Wahb berkata: "Permisalan akhlak yang buruk seperti tembikar yang pecah, tidak dapat ditambal dan tidak dapat dikembalikan lagi ke tanah."

وَ قَالَ اْلفُضَيْلُ: لِأَنْ يَصْحَبَنِيْ فَاجِرٌ حُسْنَ اْلخَلْقِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يَصْحَبَنِيْ عَابِدٌ سَيِّءُ اْلخَلْقِ.

Fudhail berkata: "Aku lebih suka bershahabat dengan seorang fajir (pelaku dosa) yang berakhlak baik dari pada dengan seorang abid (ahli ibadah) yang berakhlak buruk."
Pendorong perilaku seseorang

Sesungguhnya perilaku seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor.

1. Dari akhlaknya. Seperti memberi karena kedermawanannya, menahan karena bakhil, maju karena keberanian, lari karena kepengecutannya, menjaga diri, sabar, dan yang lainnya.

2. Insting seperti makan ketika lapar, minum karena haus, tidur ketika mengantuk, bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, bersenang-senang dengan permainan yang diperbolehkan, dan yang lainnya.

3. Hasil pikirannya. Apabila seseorang melihat suatu maslahat atau manfaat, maka dia akan mengerjakannya. Baik hasil pikirannya tersebut betul-betul bermanfaat ataukah tidak.

4. Karena adab. Seperti adab makan, minum, berpakaian, berjalan, menjaga kebersihan dan sebagainya. Apabila seseorang melazimi adab tersebut maka boleh jadi itu pengaruh dari akhlaknya yang terpuji. Begitu pula apabila adab tersebut diabaikan maka boleh jadi itu pengaruh dari akhlaknya yang buruk.

5. Karena menjalankan ketaatan kepada Allah dan melaksanakan kewajibannya sebagai hambaNya. Ini semua bisa jadi karena pengejawantahan akhlak dalam dirinya dan bisa jadi hanya sebatas pengguguran kewajibannya sebagai hamba atau hanya untuk mengambil manfaat dari amalan tersebut.

Jadi dari penjelasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa tidak setiap amalan itu berasal dari akhlak yang mengakar pada diri seseorang. Bisa jadi itu sebatas adab atau kebiasaan. Dan adab ataupun kebiasaan itu bisa jadi dari akhlaknya atau instingnya atau pengaruh sosial. Hanya sebatas ikut-ikutan. Dan semua ini karena kuatnya pengaruh lingkungan.
Hakekat akhlak

Penampilan seseorang tidak dapat merepresentasikan apa yang ada dalam diri seseorang. Semua amalannya bukanlah 100% cerminanan dari akhlaknya. Apa yang nampak hanyalah prasangka yang tidak pasti. Semua tindak tanduknhya tidaklah lahir dari apa yang mencokol dalam dirinya yaitu akhlak. Bisa jadi amalannya itu dibuat-buat, hanya sebatas basa-basi, karena takut, karena berhasrat, karena riya’, nifak sehingga melahirkan perilaku baik walaupun itu bukan tabiatnya.

Hakekat akhlak adalah tertanam dalam diri seseorang baik itu fitrie (bawaan) atau muktasab (hasil usahanya), yang terlihat dari tindak tanduk dhahirnya. Jadi bukan berarti setiap tindak-tanduk dhahir merupakan cerminan akhlak.

Karena seseorang dapat membiasakan dengan amalan-amalan baik yang sebenarnya bukanlah merupakan sifatnya. Dia bisa basa-basi walaupun dirinya tidak suka. Ataupun amalannya dibuat-buat untuk tujuan tertentu. Bisa jadi orang yang bakhil menjadi dermawan karena tujuan tertentu. Dengan memberi, dia tidak dapat disifati dengan pemilik akhlak judd (dermawan). Karena pada hakekatnya dia pemilik akhlak bukhl (bakhil).

Namun apabila dia terus melatih dirinya dengan kedermawanan dan menjadikannya sebagai kebiasaannya maka dia menjadi orang dermawan dan memiliki akhlak tersebut. Dengan sendirinya kedermawannya itu menggeser kebakhilannya yang ada dalam dirinya.
Akhlak, Fitriyah ataukah Muktasabah?

Para ulama berbeda pendapat apakah akhlak merupakan sifat fitriyah (bawaan) ataukah merupakan sifat muktasabah (hasil usaha). Dan dalam hal ini mereka terbagi menjadi dua kelompok.

1. Akhlak merupakan sifat fitriyah (bawaan)

Manusia diciptakan dengan tabiat berbeda-beda. Hakekat penciptaan ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun yang memperhatikannya dan banyak bergaul dengan manusia. Sebagaimana manusia berbeda kecerdasannya, berbeda dhahir fisiknya. Ada yang lemah, tinggi, pendek, sehat, sakit, ada yang tampan, cantik, dan sebagainya. Begitu pula seseorang dilahirkan dalam keadaan tabiat yang berbeda-beda.

Contohnya kita dapati orang-orang yang memiliki rasa takut melebihi yang lainnya. Ada juga yang ambisius sekali, ada yang cepat marah, yang lebih lembut, dan juga lambat marahnya. Begitu juga ada yang memiliki sifat ingin menang sendiri melebihi yang lainnya. Perbedaan ini sudah ada pada anak kecil yang belum banyak terpengaruh oleh dunia luar.

Begitu juga dalam sekelompok manusia yang belum dididik atau sekelompok masyarakat pedalaman kita dapati bahwa mereka berbeda satu sama lain. Ada yang paling baik akhlaknya dan juga ada yang buruk akhlaknya.

Rasulullah pun mengakui tentang perbedaan tabiat manusia ini. Sebagaimana sabda beliau:

إِنَّ بَنِيْ آدَمَ خُلِقَ عَلَى طَبَقَاتٍ شَتَّى, أَلاَ وَ إِنَّ مِنْهُمُ اْلبَطِيْءُ الْغَضَبُ سَرِيْعُ اْلفَيْءِ وَ السَّرِيْعُ اْلغَضَب سَرِيْعُ اْلفَيْءِ وَ اْلبَطِيْءُ اْلغَضَب بَطِيْءُ اْلفَيْء فَتِلْكَ بِتِلْكَ. أَلاَ وَ إِنَّ مِنْهُمْ بَطِيْءٌ اْلفَيْءِ سَرِيْعُ اْلغَضَبِ أَلاَ وَ خَيْرُهُمْ بَطِيْءُ اْلغَضَبِ سَرِيْعُ اْلفَيْءِ وَ شَرُّهُمْ سَرِيْعُ اْلغَضَبِ بَطِيْءُ اْلفَيْءِ.

"Sesungguhnya anak adam itu diciptakan dengan keadaan yang bermacam-macam. Ketahuilah bahwa di antara mereka ada yang sulit marah dan (apabila marah) cepat reda, ada yang cepat marah dan cepat reda, ada juga yang sulit marah dan susah reda dan ada yang susah reda marahnya tetapi cepat marah. Sebaik-baik mereka adalah yang susah marah dan (apabila marah) cepat reda. Dan yang paling jelek adalah yang cepat marah dan susah reda." (HR. Tirmidzi)

إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَخْلاَقَكُمْ كَمَا قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَرْزَاقَكُمْ ( رواه أحمد و البيهقي في شعب الإيمان)

“Sesungguhnya Allah membagi akhlak kalian sebaimana Dia membagi rejeki. (HR. Ahmad dan Al Baihaqi)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ n لِأَشَج عَبْدِ الْقَيْس: إِنَّ فِيْكَ خُلُقَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ, الْحِلْمُ وَ اْلأَنَاةُُ قَالَ: خُلُقَيْنِ تَخَلَقْتُ بِهِمَا أَمْ جُبِلْتُ عَلَيْهِمَا؟ قَالَ : بَلْ جُبِلْتَ عَلَيْهِمَا. فَقَالَ : اْلحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَبَلَنِيْ عَلَى مَا تُحِبُّ. (انظر صحيح جامع الصغير و زيادته محمد ناصر الدين الألباني رقم الحديث: 2132)

Rasulullah r bersabda kepada Asaj Abdul Qois: “Sesungguhnya dalam dirimu ada 2 akhlak yang dicintai oleh Allah, yakni al hilm (kemurahan hati) dan al anah (kesabaran). Kemudian dia bertanya: dua akhlak yang aku berakhlak dengannya ataukah aku diciptakan atas keduanya? Rasulullah pun menjawab: “engkau diciptakan atasnya.” Kemudian Asaj Abdul Qois berkata: Segala puji bagi Allah yang telah menciptakanku dengan apa yang engkau cintai. (Lihat Shohih jami’ shoghir Muhammad Nashiruddin Albani hadits no. 2132)

Atas dasar itulah ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa akhlak merupakan sifat fitriyah (bawaan).

2. Akhlak merupakan sifat muktasabah (hasil usaha)

Di atas telah dipaparkan bahwa akhlak merupakan sifat fitriyah. Namun muncul pertanyaan : apabila akhlak merupakan ciptaan Allah, mengapa harus ada pembinaan akhlak? Apakah manusia bisa berubah dari tabiat penciptaannya? Apakah akhlak dapat diperoleh dengan usaha?

Jawabnya adalah sesungguhnya Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya. Manusia dimintai tanggung jawab atau apa yang mampu dia kerjakan. Apabila hal itu di luar kemampuannya maka tidak dimintai tanggung jawab.

Seorang yang kuat maka akan diuji sesuai kadar kekuatannya. Begitu juga seorang yang lemah akan diuji oleh Allah sesuai kadar yang dia mampu. Seorang yang cerdas akan diuji sesuai dengan kecerdasannya dna ujian orang bodoh adalah sesuai dengan kadar kebodohannya.

Sedangkan bentuk ujian Allah bermacam-macam. Ada yang diuji dengan kekayaan, kemiskinan, diuji dengan tampu kepemimpinan, menjadi prajurit, diuji dengan banyaknya anak laki-laki, banyaknya anak perempuan atau diuji dengan kedua-duanya. Diuji dengan kemandulan, dan bentuk-bentuk ujian yang lain yang ada di dunia ini.

Begitu juga akhlak merupakan ujian Allah kepada hambaNya. Manusia diuji dengannya. Dan manusia diberi kemampuan oleh Allah untuk meneladani akhlak karimah Rasulullah n. Maka barangsiapa yang tidak merubah akhlak yang mampu ia rubah namun tidak dilakukan, maka Allah akan memintainya pertanggung jawaban karena peremehannya.

Karena beberapa akhlak dapat dirubah dan dapat diperoleh dengan latihan, pembiasaan, dan pembinaan. Seorang anak tumbuh sesuai dengan apa yang dibiasakan oleh pendidiknya pada waktu kecil. Oleh karena itu Ibnu Qoyying mewasiatkan kepada para orang tua dan pendidik anak agar menjauhkan mereka dari akhlak tercela. Dan juga menjauhkan mereka agar tidak membiasakan hal tersebut. Sehingga akhlak tercela tidak tertanam pada dirinya. Karena akhlak tercela dapat menyebabkan haramnya kebaikan dunia dan akhirat.

Beliau berkata: Hendaknya orang tua menjauhkan anak dari bohong dan khianat. Karena apabila anak mudah melakukannya maka rusaklah kebahagiannya di dunia dan di akhirat dan dia diharamkan dari kebaikan.

Imam Al ghozali menambahkan bahwa akhlak yang baik itu dapat diperoleh dengan 2 cara:

1. Dengan karunia/ kemurahan Allah. Yakni seseorang dilahirkan dalam keadaan sempurna akalnya dan baik akhlaknya. Sifat dalam dirinya diciptakan dengan keadaan berimbang.
2. Dengan membiasakan dan berusaha keras dalam menerapkan/ melaksanakan akhlak tersebut. Sebagai contoh orang yang ingin memiliki sifat dermawan hendaknya dia membiasakan diri untuk memberi. Sehingga lama kelamaan dapat menjadi tabiatnya. Begitu pula apabila ingin memiliki akhlak tawadhu’ maka hendaklah melatih dan membiasakan dirinya untuk melazimi sifat tawadhu’ dalam jangka yang lama.

Tak sekedar syariat tanpa makna

Rasulullah n menjelaskan bahwa tujuan diutusnya beliau dan manhaj dakwah beliau dalam salah satu sabdanya:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ (رواه مالك)

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak karimah.” (HR. Malik)

Ibadah yang disyariatkan Islam dan dijadikan sebagai pondasi keimanan, tak hanya sekedar jalan yang tak jelas yang menghubungkannya dengan alam ghoib. Tidak pula hanya untuk membebani hambanya dengan amalan-amalan dan gerakan-gerakan tanpa makna.

Lebih dari itu, semua faraidh (kewajiban) yang dibebankan kepada umatnya, merupakan suatu latihan yang berkesinambungan untuk membiasakan hidup dengan akhlak yang baik. Supaya tetap berpegang teguh dengan akhlak tersebut kapanpun dan di manapun, walaupun keadaan di hadapannya berubah. Seperti layaknya latihan olah raga. Latihan yang terus menerus akan menjadikan badan sehat dan menjaga keselamatan hidupnya.

Dalam hal ini Al Quran dan hadits Rasulullah mengungkap hakekat ini dengan jelas.

Shalat wajib bukan hanya sebatas kewajiban tanpa arti tetapi Allah U menjelaskan juga hikmah di balik perintah tersebut. Allah berfirman:

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ )العنكبوت: 45 )

“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Al Ankabut: 45)

Jadi, menjauhkan diri dari perbuatan hina dan menjaga diri dari ucapan dan perkataan keji merupakan hakekat dari sholat.

Begitu juga perintah shoum (puasa), tidak sebatas meninggalkan makanan dan minuman dalam waktu yang telah ditentukan. Akan tetapi shoum merupakan salah satu cara untuk menghilangkan syahwat yang tak terkendali dan juga kebiasaan yang menyimpang.

Jadi amalan dalam Islam, berupa sholat, shoum, zakat, haji, dan amalan yang lainnya tidak sebatas amalan tanpa makna. Lebih dari itu amalan tersebut merupakan tahapan untuk pembinaan akhlak, sebgaimana tujuan diutusnya rasul yakni untuk menyempurnakna akhlak mulia.

Maka barangsiapa yang telah mengerjakan amalan-amalan tersebut, namun tidak bisa membersihkan hatinya maka dia telah rugi. Dan barangsiapa dapat mensucikan hatinya dengan amalan-amalan tersebut maka Allah memberikan janji kepadanya jannah. Sebagaimana firmannya:

إِنَّهُ مَن يَأْتِ رَبَّهُ مُجْرِماً فَإِنَّ لَهُ جَهَنَّمَ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيى وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِناً قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُوْلَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاء مَن تَزَكَّى

"Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia), (yaitu) syurga 'Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan). (Thoha : 74-76)
Iman berbanding lurus dengan akhlak

Iman yang kuat akan menjaga pemiliknya dari hal-hal yang hina dan mendorong kepada hal-hal yang mulia. Oleh karena itu, ketika Allah menyeru umatnya, kepada kebaikan, dan mencegah dari kejelekan, maka imanlah sebagai patokannya. Sebagaimana dalam banyak perintahnya, Allah pasti menyeru umatnya dengan iman “Wahai orang-orang yang beriman” setelah itu Allah baru memberikan perintah “dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”

Begitu juga Rasulullah r menjelaskan, kuatnya iman itu akan melahirkan akhlak mulia, dan akhlak buruk itu berasal dari lemahnya iman atau karena tidak adanya iman, semua itu tergantung besar kecilnya kerusakan yang ditimbulkan.

Rasulullah menjelaskan bahwa iman dan akhlak merupakan satu kesatuan dalam salah satu sabdanya:

الْحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قَرَنَا جَمِيْعًا فَإَذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَرُ (رواه الحاكم و الطبراني)

“Malu dan iman selalu berdampingan. Maka apabila salah satunya diangkat maka yang lainpun pasti terangkat.” (HR. Hakim dan Thobroni)

Begitu juga orang yang berbuat buruk kepada tetangganya, maka agama ini memberikan peringatan yang keras. Sebagaimana sabdanya:

وَ اللهِ لاَ يُؤْمِنُ وَ اللهِ لاَ يُؤْمِنُ وَ اللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ : مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ (رواه البخاري)

“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Maka para shahabat bertanya: Siapakah wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Yaitu yang tetangganya merasa tidak aman dari kejahatannya.” (HR. Al Bukhori)

Dalam hadits yang lain: “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: Sesungguhnya Fulanah terkenal banyak melaksanakan shalat, shoum, dan juga shadaqoh. Tetapi dia juga sering menyakiti tetangganya dengan lisannya. Maka Rasulullah bersabda: dia di neraka. Kemudian lelaki itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah: Fulanah terkenal dengan sedikit shalat, shoum dan dia bersedekah dengan sepotong keju, tetapi dia tidak menyakiti tetangganya. Rasulullah pun bersabda: “Dia di jannah.” (HR. Ahmad)

Dari hadits di atas sangat jelas bahwa akhlak memiliki kedudukan yang tinggi. Begitu pentingnya masalah akhlak ini maka diperlukan pengarahan yang berkesinambungan, dan nasihat yang berkelanjutan. Semua itu agar akhlak tersebut mengakar di dalam hati dan juga akal. Akhlak dan iman merupakan dua unsur pembentuk jati diri seorang muslim yang tidak dapat dipisahkan.

Maka barang siapa yang dalam dirinya tumbuh sifat yang hina dan kejahatannya menyebar, maka agamanya telah lepas dari dirinya sebagaimana tanggalnya baju dari orang yang telanjang. Pengakuan imannya merupakan kedustaan. Maka apalah arti agama tanpa akhlak. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah r :

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ فَهُوَ مُنَافِقٌ وَ إِنْ صَامَ وَ صَلَّى وَ حَجَّ وَ اعْتَمَرَ وَ قَالَ إِنِّيْ مُسْلِمٌ: إِذَا حَدَثَ كَذَبَ وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ. (رواه مسلم)

"Tiga sifat yang apabila ada pada seorang muslim maka dia termasuk munafik, walaupun berpuasa, shalat, haji, umrah, dan juga mengatakan sesungguhnya aku muslim. Yaitu apabila berkata dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya berkhianat.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat yang lain: “Tanda-tanda orang munafiq yaitu apabila berbicara dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila membuat kesepakatan menyelisihi walaupun shalat, puasa, dan mengaku bahwa dirinya muslim.”

Referensi :

1. Al adab Asy Syar’iyyah, Al Imam Faqih Al Muhaddits Abi Abdillah Muhammad bin Muflih Al Maqdisy.

2. Al Akhlak Al Islamiyah, Abdurrahman Hasan Hanbakah Al Maidani

3. Minhajut Tarbiyah Al Islamiyah, Muhammad Qutb

4. Al Fikr At Tarbawi, Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah

5. Tahdzib Maudzatil Mu’minin min Ihya’ ‘Ulumuddin, Imam Abi Hamid Al Ghozaly

6. Mukhtashor Minhajul Qoshidin, Imam Syaikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al Maqdisy

7. Khuluqul Islam, Muhammad Al Ghozaly

8. http://grms.multiply.com/journal/item/26.htm

Diajukan oleh Firmansyah

Read More..

SYAFAAT

>> Senin, 28 Juli 2008


Syafaat berasal dari kata asy-syafa'(ganda) yang merupakan lawan kata dari Al-witru (tunggal), yaitu menjadikan sesuatu yang tunggal menjadi ganda, seperti membagi satu menjadi dua, tiga menjadi empat, dan sebagainya. Ini pengertian secara bahasa.

Sedangkan secara istilah, syafaat berarti menjadi penengah bagi orang lain dengan memberikan manfaat kepadanya atau menolak mudharat, yakni pemberi syafaat itu memberikan manfaat kepada orang itu atau menolak mudharatnya.

Syafaat terdiri dari dua macam:

1. Macam pertama, syafaat yang didasarkan pada dalil yang kuat dan shahih, yaitu yang ditegaskan Allah Swt dalam Kitab-Nya, atau dijelaskan Rasulullah r. Syafaat tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang bertauhid dan ikhlas; karena Abu Hurairah t berkata, "Wahai Rasulullah, siapa yang paling bahagia mendapatkan syafaatmu?" Beliau menjawab, "Orang yang mengatakan,'Laa ilaaha illallah' dengan ikhlas dalam hatinya."Diriwayatkan oleh Al-Bukhori, kitab Al-Ilm, bab "Al-Hirsh 'ala Al-Hadits."

Syafaat mempunyai tiga syarat:

Pertama, Allah meridhai orang yang memberi syafaat.

Kedua, Allah meridhai orang yang diberi syafaat.

Ketiga, Allah mengizinkan pemberi syafaat untuk memberi syafaat.

Syarat-syarat di atas secara global dijelaskan Allah dalam firman-Nya,

وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى

"Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya)." (An-Najm:26)

Kemudian firman Allah,"Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya." (Al-Baqarah:255)

Lalu firman Allah,

يَوْمَئِذٍ لَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلًا

"Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya." (Thahaa: 109)

Kemudian firman Allah,

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى وَهُمْ مِنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ

"Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya." (Al-Anbiya: 28)

Agar syafaat seseorang diterima, maka harus memenuhi ketiga syarat di atas.

Menurut penjelasan para ulama, syafaat yang diterima, dibagi menjadi dua macam:

Pertama, syafaat umum. Makna umum, Allah mengizinkan kepada salah seorang dari hamba-hamba-Nya yang shalih untuk memberikan syafaat kepada orang-orang yang diperkenankan untuk diberi syafaat. Syaaat ini diberikan kepada Nabi Muhammad saw, nabi-nabi lainnya, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang shalih. Mereka memberikan syafaat kepada penghuni neraka dari kalangan orang-orang beriman yang berbuat maksiat agar mereka keluar dari neraka.

Kedua, syafaat khusus, yaitu syafaat yang khusus diberikan kepada Nabi Muhammad r dan merupakan syafaat terbesar yang terjadi pada hari Kiamat. Tatkala manusia dirundung kesedihan dan bencana yang tidak kuat mereka tahan, mereka meminta kepada orang-orang tertentu yang diberi wewenang oleh Allah untuk memberi syafaat. Mereka pergi kepada Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa. Tetapi mereka semua tidak bias memberikan syafaat hingga mereka dating kepada Nabi saw, lalu beliau berdiri dan memintakan syafaat kepada Allah, agar menyelamatkan hamba-hamba-Nya dari adzab yang besar ini. Allah pun memenuhi permohonan itu dan menerima syafaatnya. Ini termasuk kedudukan terpuji yang dijanjikan Allah di dalam firman-Nya, "Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." (Al-Israa':79)

Di antara syafaat khusus yang diberikan kepada Rasulullah r adalah syafaatnya kepada penghuni syurga agar mereka segera masuk surga, karena penghuni surga ketika melewati jembatan, mereka diberhentikan di tengah jembatan yang ada di antara surga dan neraka. Hati sebagian mereka bertanya-tanya kepada sebagian lain, hingga akhirnya mereka bersih dari dosa. Kemudian mereka baru diizinkan masuk surga. Pintu surga itu bisa terbuka karena syafaat Nabi r.

2. Macam kedua, syafaat batil yang tidak berguna bagi pemiliknya, yaitu anggapan orang-orang musyrik bahwa tuhan-tuhan mereka dapat memintakan syafaat kepada Allah. Syafaat semacam ini tidak bermanfaat bagi mereka seperti yang difirmankan-Nya, "Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat." (Al-Mudatstsir:48)

Demikian itu karena Allah tidak rela kepada kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik itu dan tidak mungkin Allah memberi izin kepada para pemberi syafaat itu, untuk memberikan syafaat kepada mereka; karena tidak ada syafaat kecuali bagi orang yang diridhai Allah. Allah tidak meridhai hamba-hamba-Nya yang kafir dan Allah tidak senang kepada kerusakan.

Ketergantungan orang-orang musyrik kepada tuhan-tuhan mereka dengan menyembahnya dan mengatakan, "Mereka adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah", (Yunus: 18) adalah ketergantungan batil yang tidak bermanfaat. Bahkan demikian itu tidak menambah mereka kecuali semakin jauh, karena orang-orang musyrik itu meminta syafaat kepada berhala-berhala itu dengan cara yang batil, yaitu menyembahnya. Itulah kebodohan mereka yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah, tetapi sebenarnya tidak lain hanya menjadikan mereka semakin jauh.

Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 116 – 119.

Read More..

Arrahmah.Com - Technology

Arrahmah.Com - International

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP